MAHASISWA BERSUARA: Perjuangan untuk Rakyat atau Sekadar Eksistensi?
Idealisme mahasiswa semestinya tidak hanya terjebak dalam simbol-simbol perlawanan terhadap isu nasional saja.
Nur Cholis Al Qodri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya
6 November 2024
BandungBergerak.id – Beberapa hari lalu, tepatnya pada 26 Oktober 2024, kita disuguhkan dengan pemberangusan kebebasan berekspresi di lingkungan kampus. Tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Airlangga (Unair). Pembungkaman tersebut, tak lain dilakukan sendiri oleh Dekanat FISIP UNAIR terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Unair. Berdasarkan konferensi pers yang dikeluarkan oleh BEM FISIP Unair, pemberangusan tersebut di latar belakangi oleh ucapan selamat atas pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia melalui karangan bunga yang dinilai oleh pihak Dekanat FISIP UNAIR memiliki unsur hate speech karena penggunaan diksi yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan koridor akademik. Atas tindakan tersebut, BEM FISIP Unair dibekukan oleh Dekanat FISIP UNAIR.
Dalam beberapa waktu pascapembekuan tersebut, berbagai kalangan media mencoba mengangkat isu tersebut ke publik, dikarenakan isu tersebut cukup menarik untuk diberitakan. Mengingat Presiden terpilih pada pemilihan umum 2024, merupakan salah satu orang yang terduga pelaku pelanggaran HAM pada rezim Orde Baru, serta wakilnya yang merupakan anak dari Presiden Indonesia ketujuh memberikan pertanyaan, “Apakah pembredelan ruang kritis pada rezim Orde Baru akan terjadi lagi?”
Bagaimana Aktivis Mahasiswa memandang isu Nasional dan Lokal?
Dalam hal ini, penulis mengapresiasi sikap kritis yang dilakukan oleh BEM FISIP UNAIR. Namun, apakah wacana perlawanan BEM FISIP UNAIR saat ini benar-benar mewakili kepentingan masyarakat? Secara khusus Kota Surabaya, ataupun wilayah Provinsi Jawa Timur? Atau justru BEM FISIP Unair menjadi salah satu bagian dari golongan mahasiswa di Indonesia yang sekedar terjebak pada isu-isu yang bersifat eksis di kalangan masyarakat dan melupakan isu lokal yang secara langsung berdampak terhadap lingkungan lokal mereka sendiri?
Sebagai penulis yang saat ini juga berdomisili di Kota Surabaya, saya ingin mempertanyakan, perihal seberapa sering BEM FISIP Unair melibatkan diri dalam permasalahan lokal di wilayah Jawa Timur? Seperti contoh, wacana reklamasi yang mengancam pesisir timur Kota Surabaya, kriminalisasi petani Pakel Banyuwangi yang mencoba mempertahankan tanahnya, kriminalisasi aktivis Lingkungan Budi Pego, ataupun Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135+ orang dua tahun lalu? Berdasarkan kacamata penulis, kasus lokal tersebut sering kali diabaikan oleh organisasi-organisasi di dalam kampus dan justru rawan tertutup oleh isu-isu besar. Padahal, kasus-kasus tersebut juga tidak kalah pentingnya dengan isu populer di negeri ini, sekaligus membutuhkan solusi agar cepat terselesaikan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menakar Tren Bahasa Gen Z dalam Komunikasi Sehari-hari
MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi di Negeri Tirani
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Kelas Menengah Penting Bagi Demokrasi?
Kerawanan Pergeseran Keberpihakan
Sebagai elemen yang dilabeli agen perubahan mahasiswa seharusnya memiliki kepekaan untuk membedakan mana yang perlu diutamakan. Idealisme mahasiswa semestinya tidak hanya terjebak dalam simbol-simbol perlawanan terhadap isu nasional saja. Menyuarakan isu nasional memang penting, tetapi membiarkan persoalan lokal terbengkalai adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip mahasiswa. Jangan sampai masyarakat menilai bahwa mahasiswa menjadikan kasus dalam masyarakat sebagai batu loncatan untuk eksistensi individu maupun organisasinya.
Seiring perjalanan waktu, mahasiswa akan meninggalkan kampus dan masuk ke dalam masyarakat, bahkan mungkin menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan atau lembaga lainnya. Di sini, mereka akan diuji oleh kekuasaan dan tanggung jawab yang besar. Kekuasaan memiliki cara untuk mengubah siapa saja, termasuk mantan mahasiswa yang dulunya kritis.
Pengaruh kekuasaan dapat melunturkan idealisme dan menggantinya dengan ambisi pribadi, rasa aman dalam posisi berkuasa, atau bahkan keinginan untuk mempertahankan status quo demi kepentingan sendiri, seperti Gielbran Muhammad Noor, eks Presiden BEM Universitas Gadjah Mada yang sebelumnya mengkritik Jokowi sebagai alumni paling memalukan. Akan tetapi saat ini dia menjadi bagian dari penindas yang ia kritik, dengan menjabat sebagai Wakil Ketua Harian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+). Pergeseran keberpihakan semacam ini sudah menjadi hal yang lumrah dan menjadi pola yang berulang pada kalangan gerakan mahasiswa. Akankah Presiden BEM FISIP Unair juga akan menjadi bagian dari mereka dan terjebak dalam kepercayaan, “Mengubah dari dalam?”.
Sepanjang perjalanan mahasiswa, akan tiba pada fase di mana idealisme bertabrakan dengan tantangan kehidupan. Pada fase tersebut berbagai godaan untuk bersikap praktis dalam diri setiap individu akan muncul. Namun, bagi mahasiswa yang memiliki komitmen pada perubahan akan memiliki alternatif untuk terus berjuang bersama rakyat.
Mahasiswa yang semasa dibangku perkuliahannya menjadi seorang aktivis, memiliki berbagai pilihan untuk tetap mempertahankan idealisme mereka. Misalnya, terjun langsung ke masyarakat dengan bergabung komunitas atau organisasi non pemerintah, seperti contoh; Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), atau organisasi non pemerintah lainnya. Selain itu, dengan keilmuan yang telah didapatkan selama pendidikan, mahasiswa juga dapat terlibat dalam penelitian dan advokasi masyarakat untuk terus memperjuangkan isu-isu yang selama ini diperjuangkan di bangku perkuliahan. Lain dari itu, mahasiswa juga dapat melanjutkan peran sebagai akademisi yang tetap kritis dan vokal terhadap kebijakan publik atau bahkan menjadi jurnalis untuk mengupayakan isu lokal menjadi isu nasional.
Mengelola wacana kritis pada tubuh mahasiswa dapat dilakukan dengan menjalin kolaborasi solidaritas dengan berbagai komunitas untuk mengawal permasalahan, memperluas wawasan, dan tetap fokus pada keberpihakan terhadap isu lokal atau setidaknya seimbang antara isu lokal dan nasional. Seorang mahasiswa perlu menjadikan masa kritisnya sebagai wadah untuk menjadi seorang intelektual yang bertanggung jawab terhadap apa yang ada di sekelilingnya. Dalam jangka panjang, mungkin perlu disadari bahwa sikap kritis bukanlah alat untuk meraih kekuasaan, tetapi sebuah tanggung jawab dan harus terus dihidupkan. Idealnya, sikap kritis yang telah dibangun selama masa pendidikan tidak hanya berumur beberapa semester, melainkan juga menjadi bekal untuk berkontribusi secara konstruktif bagi masyarakat.
Sebagai penutup, saya akan mengutip lirik dari musisi SEBUMI (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia), “Aktivis Bejat, mental para penjilat, penipu rakyat kini jadi pejabat, Ada Budiman, Dita Indah Sari.” Penggalan lirik tersebut mempresentasikan dan mengingatkan kita pada perilaku para politikus dan elite negeri ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara