• Narasi
  • Meruwat Air, Menghormati Kehidupan

Meruwat Air, Menghormati Kehidupan

Menjaga alam dengan ritual pengambilan air di kaki Gunung Manglayang dan Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka di Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung.

Oscar Yasunari S.S., M.M.

Dosen Koordinator Pendidikan Agama Katolik dan Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Dasar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Proses Ritual Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka, Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung (Foto: Oscar Yasunari/Dok.Pri)

7 November 2024


BandungBergerak.id – Akhir September 2024, suasana Bandung  terasa panas. Hujan   jarang  terjadi. Kekurangan sumber air di daerah Jawa Barat semakin meluas. Pemerintah Kabupaten Bandung, Jawa Barat  menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan. Berharap bahwa saat awal bulan November akan datang hujan yang dinantikan oleh semua warga Bandung khususnya dan Jawa Barat umumnya. Namun hujan yang diharapkan datang akankah ia menjadi berkat? Atau laknat?

Ketika kekeringan yang panjang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di Kota Bandung, hujan sungguh menjadi hal yang sangat dinanti-nantikan. Seakan-akan dahaga itu sirna oleh sejuknya air yang datang dari langit dan panas panjang yang memanggang bumi menjadi terhapus karena datangnya air yang menyejukkan. Sampai awal November 2024 hujan yang dinantikan tetap terlambat untuk datang. Sesekali terjadi dengan intensitas yang sedang. Namun nantinya ketika hujan datang apakah akan membawa berkat? Ditakutkan justru akan menjadi laknat karena panas yang tinggi akan menciptakan curah hujan yang sangat  ekstrem di wilayah panas tersebut. Hal tersebut terjadi karena semakin tinggi temperatur bumi, molekul air yang menguap juga akan semakin banyak dan awan yang dihasilkan akan semakin tebal.

Hal tersebut tentunya akan menghasilkan hujan dengan intensitas yang cukup tinggi. Seperti biasanya  akan terjadi banjir Kota Bandung dan longsor di daerah perbukitan ataupun pegunungan yang ada di daerah Kabupaten Bandung. Longsor secara pasti juga terjadi di daerah perbukitan hutan atau pegunungan yang sudah rusak karena alih fungsi lahan. Pohon-pohon  yang ada di hutan yang seharusnya dilindung, sebagai hutan lindung, hancur karena kepentingan manusia. Keberadaan hutan lindung sebagai penjaga ekosistem, penyedia cadangan air bersih, penahan laju erosi dan pencegah terjadinya banjir bandang menjadi tiada arti lagi.

Peristiwa-peristiwa tersebut tentunya akan terus berulang dari tahun ke tahun sejauh tidak adanya kesadaran masyarakat dalam menjaga hutan. Hutan seharusnya dilindungi, dirawat dan dijaga oleh seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Dibutuhkan kesadaran dari semua pihak bahwa hutan jangan hanya dilihat sebagai sumber produksi yang menghasilkan keuntungan karena lahannya, pohonnya dan sumber mata air yang ada dapat menjadi sumber penghasilan/ produksi.  

Wilayah hutan itu sendiri dapat dikelola kelestariannya bukan hanya oleh pemerintah namun juga oleh masyarakat adat ataupun komunitas-komunitas adat yang mempunyai perhatian penuh dan peduli terhadap kelestarian hutan serta  sumber daya yang ada di dalamnya, seperti sumber mata air. Komunitas-komunitas adat tentunya sangat berperan penting untuk tetap konsisten dalam menjaga kelestarian alam. Pemahaman yang dimiliki komunitas-komunitas adat tentang prinsip-prinsip yang selaras dengan alam dan nilai-nilai kearifan lokal yang selalu mengarahkan kegiatannya pada upaya kelestarian alam menjadi dasar dalam setiap aktivitasnya.

Perjalanan menuju sumber mata air di sekitar Gunung Manglayang  (Foto: Oscar Yasunari/Dok.Pri)
Perjalanan menuju sumber mata air di sekitar Gunung Manglayang (Foto: Oscar Yasunari/Dok.Pri)

Baca Juga: Merajut Persaudaraan Melalui Budaya Hajat Laut Desa Batukaras Pangandaran
Nasib Gereja Albanus, dari Markas Teosofi ke Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya
Jejak Luhur Batik Indonesia, dari Tradisi Hingga Warisan Budaya Bandung

Komunitas Adat yang Menjaga Sumber Air

Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung merupakan salah satu komunitas adat yang menekankan pada penghargaan terhadap alam secara khusus pada sumber mata air,  di sekitar Gunung Manglayang. Dalam setiap acara budaya yang digelar, padepokan ini selalu memulainya dengan pengambilan air dari salah satu mata air yang terdapat di kawasan Gunung Manglayang.

Air bukan hanya berfungsi sebagai penghilang dahaga saja namun juga mempunyai makna-makna lain dalam setiap aktivitas budaya. Padepokan Bumi Ageung Saketi bercita-cita dan mengajak   masyarakat  untuk hidup dengan pola alamiah yang selaras dengan alam serta melakukan tindakan pelestarian alam berdasarkan nilai-nilai tradisi.

Tanggal 14 September 2024, pukul 08.00 WIB, Abah Ndjum dari Padepokan Bumi Ageung Saketi melakukan ritual pengambilan air dari mata air di sekitar Gunung Manglayang. Proses pengambilan air dimulai dari padepokan Bumi Ageung Saketi kemudian menuju ke sumber mata air di sekitar Gunung Manglayang. Sumber mata air terlihat sungguh asri, alami dan terlihat sungguh terjaga. Air keluar dari tanah secara alami dan terlihat murni tanpa kontaminasi apa pun. Proses pengambilan dimulai dengan membersihkan daun-daun jatuh dan kering di sekitar mata air yang keluar dari tanah. Dalam ritual tersebut, air yang diambil dari mata air tersebut sungguh dihargai dengan penuh penghargaan. Air tersebut di doakan dan  disucikan dengan menggunakan dupa.

Bagi komunitas adat tersebut mata air yang ada sungguh memiliki nilai yang sangat luhur. Air bukan hanya memiliki nilai yang sifatnya fungsional saja namun juga memiliki makna yang tinggi untuk menyucikan jiwa dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi, serta menghubungkan manusia yang ada di dunia dengan alam spiritual dan kebijaksanaan-kebijaksanaan para leluhur yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan.

Malam hari pada pukul 19.00 WIB dilakukan proses memandikan pusaka,  Ritual Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka. Dalam Proses tersebut pusaka-pusaka yang ada dimandikan atau dibersihkan dari  kotoran yang berwujud dan tak berwujud. Sebelumnya Abah Ndjum, sesepuh padepokan,  bersama dengan anggota komunitas padepokan memanjatkan mantra-mantra atau doa-doa yang diiringi oleh tembang-tembang diiringi dengan alunan kecapi suling.

Ritual pengambilan air dari mata air di sekitar Gunung Manglayang dan Ritual Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka merupakan suatu kegiatan rutin yang diadakan oleh Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung. Bagi padepokan tersebut, air selain memiliki makna yang mendalam di dalam ritual budaya tersebut,  juga sarat akan makna etis bagi manusia terhadap lingkungan.

Manusia hadir ke dunia, tak terpungkiri masuk dalam komunitas ekologis. Sony Keraf dalam buku Etika Lingkungan Hidup (Keraf, 2010: 170-177) menekankan bahwa  suatu komunitas ekologis  tentu terdapat komunitas moral,  di mana semua harus saling menghargai dan menghormati agar  terjadi keselarasan antara manusia dengan alam. Manusia harus menghargai manusia yang lainnya dan alam yang didiaminya  (air, udara, tanah, dll.). Untuk hal tersebut maka harus ada prinsip-prinsip yang terkait, antara lain Prinsip  Sikap Hormat Terhadap Alam (“Respect for Nature”) dimana seluruh manusia secara moral wajib untuk  menghormati alam.

Proses ritual penyucian air dari sumber mata air di sekitar Gunung Manglayang di Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung (Foto: Oscar Yasunari/Dok.Pri)
Proses ritual penyucian air dari sumber mata air di sekitar Gunung Manglayang di Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung (Foto: Oscar Yasunari/Dok.Pri)

Merawat Alam

Dengan alasan apa pun manusia, secara moral,  tidak dapat dibenarkan merusak dan menghancurkan alam beserta seluruh isinya. Manusia mempunyai kewajiban menghargai dan menjaga alam yang ditinggalinya dengan segala   entitas yang ada di dalam alam, termasuk air. Melalui prinsip ini manusia diajak  untuk menghormati siklus alam dan bukan malah merusak siklus alam dengan menghancurkan alam sehingga terjadi pemanasan global dan perubahan suhu seperti yang dirasakan akhir-akhir ini.

Musim hujan dan musim kemarau menjadi tidak jelas. Curah hujan yang tinggi dan berpotensi menyebabkan banjir menjadi suatu hal yang besar kemungkinan bisa terjadi karena manusia menghancurkan hutan yang berfungsi menahan air. Selain itu juga manusia harus memiliki Prinsip Hidup Sederhana dan Selaras dengan Alam yang  menekankan mutu atau kualitas kehidupan yang baik. Kualitas yang bukan menekankan pada standar material (kekayaan) namun lebih menekankan pada nilai hidup, kualitas hidup, cara hidup  baik  hidup dalam kesederhanaan dengan cara  memelihara alam atau lingkungan hidup dan memanfaatkan alam sejauh dibutuhkan. Walaupun prinsip ini sulit bagi manusia yang hidup dalam dunia modern di mana paham kapitalisme dan materialisme mempengaruhi manusia yang ukurannya selalu bersifat materi, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam tidak boleh ditinggalkan agar alam memiliki makna yang selalu dihayati manusia.

Prinsip yang selaras dengan alam mengarahkan hidup manusia dan mengajarkan manusia untuk menolak ketamakan dan ambisi yang tidak sehat. Dalam dunia nyata hal ini terlihat dimana banyak sumber mata air yang ada hancur oleh ketamakan manusia. Mata air  hanya dilihat sebagai ajang komodifikasi belaka di mana mata air mengalami ketiadaan makna karena hanya dianggap suatu item yang dapat diperjualbelikan di pasar.

Dalam Ritual pengambilan air dari mata air di kaki Gunung Manglayang dan proses Ritual Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka  yang diadakan oleh Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung secara gamblang  menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kaitannya dengan alam. Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung mewujudkan suatu komitmen dan tindakan untuk memelihara dan menjaga alam serta tidak  berperilaku dengan sikap-sikap yang dapat memusnahkan spesies dan menghancurkan entitas tertentu (air, tanah maupun udara). Padepokan tersebut  mengutamakan nilai/ makna, kualitas, cara hidup yang baik dengan memperlakukan sumber mata air secara terhormat dan bermartabat.

Prinsip hidup sederhana menjadi prinsip yang mendasar di mana manusia dapat memanfaatkan alam sejauh dibutuhkan (hidup selaras dengan tuntutan alam). Sumber mata air yang ada di sekitar Gunung Manglayang dijaga dan dirawat oleh padepokan tersebut. Namun prinsip tersebut sangat tidak mudah untuk diterapkan karena berhadapan dengan berbagai penghayatan hidup dalam masyarakat yang tidak pro dengan alam. Untuk itu tentu harus ada gerakan bersama secara komunal yang mampu  mengubah pola hidup yang pro lingkungan hidup.

Pemerintah pusat dan daerah tentunya tidak mudah bergerak sendiri hanya dengan membuat peraturan-peraturan dengan segala ketegasan penegakan hukumnya. Pemerintah  harus berjalan bersama dengan aktivis-aktivis lingkungan hidup beserta komunitas-komunitas adat dalam upaya  memberi pencerahan dan pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat. Komunitas adat dengan berbagai aktivitas budayanya perlu didukung oleh pemerintah dan para aktivis yang secara simultan mencapai tujuan bersama. Dukungan dan kerja sama dari pemerintah dan para aktivis  lingkungan hidup bersama dengan  komunitas-komunitas budaya yang memiliki kearifan-kearifan lokal dalam hubungan dengan lingkungan hidup harus terus dikembangkan. Dukungan dan kerja sama tersebut tidak lain bertujuan untuk merawat alam/ lingkungan hidup  untuk keberlanjutan alam dan generasi manusia mendatang.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang budaya

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//