• Narasi
  • Jejak Luhur Batik Indonesia, dari Tradisi Hingga Warisan Budaya Bandung

Jejak Luhur Batik Indonesia, dari Tradisi Hingga Warisan Budaya Bandung

Tradisi membatik sempat lenyap dari wilayah Bandung hingga muncul kembali sebelum kemerdekaan. Beberapa motif kuno dari masa Pajajaran berhasil direkonstruksi.

Naufal Tri Hutama

Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Peserta workshop pembuatan batik tulis menjemur kain batik buatannya di Rumah Batik Komar di Bandung, 11 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

11 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Dalam Babad Sengkala (1633) dan Pandji Djaja Lengkara (1770), Soedjoko menyatakan bahwa istilah "batik" berasal dari bahasa Sunda, yang mengacu pada proses menggambar di atas kain melalui teknik pencelupan.

Batik merupakan kebudayaan adiluhung Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun sejak zaman dahulu kala. Karya seni batik sebagai manifestasi kebudayaan Nusantara, telah melintasi waktu yang sangat panjang.

Batik bukan sekadar kain yang digores lilin dan dicelup warna, melainkan cerminan estetika yang lahir dari tangan terampil dan tradisi luhur. Dari keraton hingga pelosok kampung, batik merangkai cerita tentang kebudayaan yang hidup, bernafas, dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Menurut buku “Indonesian Batik; a Cultural Beauty” (2006) yang diterbitkan Departemen Perdagangan RI, dalam sebuah manuskrip pada daun lontar yang berasal dari sekitar tahun 1520 M yang ditemukan di Galuh, Cirebon Selatan (Jawa Barat), tertulis bahwa batik juga berarti “seratan” yang dalam bahasa Jawa berarti “tulisan”.

Indonesia telah dikenal dengan Batiknya, dan konon teknik pewarnaan dan desain batik Indonesia sama banyaknya dengan jumlah kepulauannya.

Seturut Primus Supriono dalam “The Heritage of Batik: Identitas Pemersatu Kebanggaan Bangsa” (2016), UNESCO mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia pada 2 Oktober 2009, karena kekayaan teknik maupun simbol. Di samping itu, batik Indonesia unik karena landasan filosofi, akar budaya, serta sejarah yang panjang dan berliku.

Teknik pewarnaan kain menggunakan perintang warna dengan lilin (wax-resist dyeing) telah dikenal sejak zaman kuno. Bangsa Mesir sudah menggunakan teknik serupa membatik sekitar 2.500 tahun yang lalu.

Selain di Mesir, teknik pewarnaan kain dengan wax-resist dyeing juga ditemukan di berbagai negara seperti Turki, India, Tiongkok, Jepang, Nigeria, dan Senegal. Namun tak ada satu pun negara yang mengembangkan seni pewarnaan dan ragam hias dengan teknik ini sekompleks, sekaya, dan sedalam di Indonesia.

Baca Juga: Bangkitnya Popularitas Batik di Kalangan Generasi Z Indonesia
Sentuhan Anak-anak Difabel di Batik Dama Kara
FSRD Maranatha Mengibarkan Batik di Negeri K-Pop

Dari Komoditas hingga Modernitas

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya, Indonesia layak disebut bangsa yang berbudaya.” Itulah kutipan kalimat dari Nelson Mandela, seorang pejuang apartheid yang pernah menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan. Penghargaan batik sebagai warisan budaya sendiri inilah yang mengantarkan negara Indonesia mendapatkan pengakuan dunia yang diwakili oleh UNESCO bahwa Batik adalah Indonesia Cultural Heritage dan masuk dalam daftar World Heritage, tulis Kustiyah, Iskandar dalam jurnalnya  "Batik Sebagai Identitas Kultural Bangsa Indonesia Di Era Globalisasi”, (2017).

Kustiyah, Iskandar (2017), melanjutkan bahwasanya batik yang awalnya hanya dipakai di lingkungan keraton saja mulai melebarkan sayapnya ke luar keraton seiring dengan kebutuhan dan perkembangan jaman dari kebutuhan individual menjadi industrial. Industri batik dalam bentuknya yang paling sederhana, diperkirakan mulai berkembang pada abad ke-10 di saat Jawa banyak mengimpor kain putih (kain mori) dari India sebagaimana diungkapkan berbagai sumber kuno.

Dira Djaya (2019) dalam bukunya “Batik Indonesia”, menjelaskan bahwa seiring waktu, keindahan batik mulai dilirik potensinya sebagai sebuah komoditas niaga. Kata 'batick' sendiri sudah disebutkan sebagai barang yang diekspor dalam sebuah manifes pelayaran dari Batavia pada tahun 1641. Keindahan kain batik terdengar sampai ke Eropa dan berbagai usaha untuk meniru proses pewarnaan ini tidak membuahkan hasil.

Sekarang ini baraya, batik sebagai representasi dari sebuah warisan tradisi sering memiliki kesan berseberangan dari modernitas (kemajuan). Sementara kemajuan hampir selalu berdampak pada lapuknya tradisi.

Sebagai manusia modern yang peka akan budaya, kita sudah semestinya melindungi batik dari perubahan waktu dan menjaga esensi filosofisnya.

Gelap Terang Sejarah Batik di Bandung

Tradisi membatik di Bandung ternyata sudah memiliki akar yang sangat tua, bahkan konon berhubungan erat dengan masa kejayaan Kerajaan Pajajaran. Dalam naskah "Siksa Kanda Ing Karesian," yang berasal dari abad ke-12 hingga ke-13, disebutkan berbagai motif batik yang sudah dikenal di era Rakean Darma Siksa, antara tahun 1175 hingga 1297.

Motif-motif kuno seperti Ragen Penganten dan Kampuh Jayati, merupakan bukti bahwa seni membatik di Bandung sudah berkembang cukup lama. Akan tetapi, ketika Kerajaan Pakuan Pajajaran runtuh pada tahun 1579, motif-motif batik ini ikut tenggelam dalam sejarah, seolah hilang tanpa jejak.

Lebih lanjut, Supriono (2016) menjelaskan, tradisi membatik sempat lenyap dari wilayah Bandung hingga akhirnya muncul kembali sebelum kemerdekaan. Para perajin di sepanjang tepi Sungai Cikapundung mulai memproduksi batik khas Bandung, meskipun motif-motif kuno dari masa Pajajaran tidak lagi ditemukan secara utuh. Beberapa motif berhasil direkonstruksi, seperti Kembang Muncang Jayanti, Regen Penganten, dan Banyak Ngantrang. Ketiga motif ini kemudian dikenal sebagai motif Pakuan Pajajaran dan menjadi ciri khas batik Kabupaten Bandung.

Pada perkembangannya, batik Bandung semakin beragam, khususnya dengan masuknya unsur desain kontemporer. Meskipun demikian, daerah seperti Cigadung tetap mempertahankan motif tradisional yang berakar pada nilai-nilai lokal. Di sisi lain, batik dengan motif abstrak yang lebih modern juga berkembang, menonjolkan garis-garis geometris dan menggunakan warna-warna cerah, meskipun teknik pembuatannya masih mengikuti tradisi batik tulis.

Jika baraya perhatikan, batik Bandung mencerminkan keunikan setiap wilayah asalnya. Batik Kota Bandung memiliki motif seperti Patrakomala Cangkurileung dan Binari Kawung, sementara Kabupaten Bandung dikenal dengan motif Jalak Harupat.

Bahkan, Kabupaten Bandung Barat turut berkontribusi dengan motif-motif khasnya, seperti Bintang, Boscha, Papatong Pucuk Teh, dan Kenanga. Semua ini menunjukkan bahwa batik Bandung tidak hanya sekadar produk budaya, tetapi juga sebuah representasi dari identitas sejarah dan sosial setiap daerahnya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang budaya

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//