• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kaesang, Si Politically Exposed Person yang Disayangi KPK

MAHASISWA BERSUARA: Kaesang, Si Politically Exposed Person yang Disayangi KPK

Pengabaian prinsip Politically Exposed Person (PEP) dalam kasus Kaesang Pangarep berpotensi menurunkan kredibilitas KPK dan membuka celah bagi tuduhan favoritisme.

Herlambang

Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Aksi simbolis mahasiswa membuat kuburan bertuliskan Rest In Peace KPK sebagai penanda matinya KPK di bawah tiang bendera depan gedung rektorat Unpad Jatinangor, Jumat (21/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

11 November 2024


BandungBergerak.id – Kasus penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep, yang kini menjabat Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan putra dari mantan Presiden Joko Widodo, memunculkan pertanyaan terkait standar pengawasan dan transparansi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada titik ini, publik mempertanyakan keputusan KPK yang menyatakan bahwa penggunaan jet pribadi oleh Kaesang bukanlah gratifikasi. Dalam konteks politik dan posisi Kaesang saat ini, prinsip Politically Exposed Person (PEP) patut dikaji karena statusnya sebagai figur publik dengan pengaruh signifikan.

Politically Exposed Person atau biasa disingkat PEP adalah konsep internasional yang mencakup orang-orang yang memiliki jabatan publik atau afiliasi politik tinggi. Konsep ini mengacu pada posisi yang rentan terhadap risiko penyalahgunaan kekuasaan, pencucian uang, atau gratifikasi. Menurut standar yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF), seorang PEP adalah individu dengan pengaruh besar dalam politik atau bisnis yang dapat mengakses fasilitas tertentu atau mendapat keuntungan karena posisinya. Pengawasan ketat terhadap PEP bertujuan mengurangi risiko korupsi dan menjaga keadilan di lingkungan yang penuh konflik kepentingan.

Lebih jauh lagi, PEP tidak hanya terbatas pada individu yang menduduki jabatan formal, seperti menteri atau kepala negara, tetapi juga mencakup keluarga atau rekan dekat yang mungkin mendapat keuntungan dari hubungan mereka. Dengan demikian, dalam konteks Kaesang yang kini menjabat sebagai Ketua PSI, ia seharusnya dikategorikan sebagai PEP yang memerlukan pengawasan. Jabatan Ketua PSI memberikan pengaruh politik yang relevan dan akses ke jejaring yang luas, sehingga fasilitas seperti jet pribadi perlu diperiksa lebih jauh. Prinsip dasar pengawasan PEP adalah memastikan fasilitas atau keuntungan yang diterima individu tersebut benar-benar bersih dari potensi konflik kepentingan atau gratifikasi.

Dalam standar internasional yang ditetapkan FATF dan lembaga lainnya, fasilitas atau bantuan untuk PEP memerlukan verifikasi mendalam untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan. Ketika seorang PEP menerima fasilitas bernilai tinggi, negara seharusnya mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi. Misalnya, pemanfaatan jet pribadi oleh seorang tokoh politik bisa menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang menyediakan fasilitas itu dan apa kepentingannya. Jika fasilitas itu berasal dari pihak ketiga yang terkait bisnis atau politik, terdapat risiko terselubung yang harus diwaspadai.

Dalam konteks Indonesia, penerapan standar PEP yang konsisten akan menjaga transparansi dan kepercayaan publik. Hal ini menjadi tugas lembaga antikorupsi seperti KPK untuk menerapkan aturan ketat ini dengan objektivitas. Tanpa pengawasan ketat terhadap PEP, terjadi potensi konflik kepentingan yang mengikis kredibilitas lembaga tersebut. Fasilitas bernilai tinggi yang diterima oleh figur politik bisa menimbulkan kecurigaan publik, terutama jika ada kesan bahwa figur politik tersebut mendapat pengecualian atau perlakuan khusus.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi di Negeri Tirani
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Kelas Menengah Penting Bagi Demokrasi?
MAHASISWA BERSUARA: Perjuangan untuk Rakyat atau Sekadar Eksistensi?

Melacak Transparansi di Lingkaran Politisi

Pernyataan KPK bahwa penggunaan jet pribadi oleh Kaesang bukan bentuk gratifikasi memicu kontroversi. Sebagai Ketua PSI, Kaesang tidak hanya membawa pengaruh politik tetapi juga akses ke jaringan kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini, pengabaian KPK terhadap standar PEP terkesan meremehkan potensi konflik kepentingan dan menunjukkan sikap longgar dalam penerapan pengawasan. Meskipun KPK mengklaim tidak ada gratifikasi dalam kasus ini, keputusannya menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah KPK menerapkan prinsip PEP dengan benar, atau ada standar ganda dalam pengawasan terhadap individu tertentu?

KPK seharusnya meninjau asal-muasal fasilitas jet pribadi tersebut, terutama mengingat status Kaesang sebagai PEP. Jika fasilitas itu diberikan oleh pihak yang terkait dengan bisnis atau jejaring politik tertentu, KPK perlu melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tidak hanya untuk menghindari risiko konflik kepentingan, tetapi juga untuk memastikan bahwa fasilitas tersebut tidak digunakan sebagai alat untuk memengaruhi kebijakan PSI atau relasi politik lainnya. Apalagi, sebagai tokoh muda dalam dunia politik, tindakan KPK dalam menangani kasus Kaesang bisa memberikan pengaruh pada bagaimana masyarakat melihat lembaga antikorupsi tersebut.

Pengabaian prinsip PEP dalam kasus Kaesang berpotensi menurunkan kredibilitas KPK dan membuka celah bagi tuduhan favoritisme. Dalam sistem antikorupsi yang efektif, semua pihak, terutama PEP, harus mendapatkan pengawasan yang sama. Jika KPK tidak serius dalam menerapkan standar ini, publik dapat melihat adanya perlakuan khusus bagi pihak-pihak tertentu, yang akhirnya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara. Sikap permisif terhadap PEP, khususnya ketika berkaitan dengan figur politik berpengaruh, menciptakan preseden yang buruk bagi praktik antikorupsi di Indonesia. Lebih jauh, dengan menutup mata terhadap aspek PEP dalam kasus ini, KPK melemahkan esensi transparansi yang menjadi dasar upaya pemberantasan korupsi.

Ujian Bagi KPK

Transparansi adalah landasan untuk memastikan bahwa fasilitas yang diterima PEP berasal dari sumber yang sah dan bebas dari kepentingan terselubung. Publik memiliki hak untuk tahu apakah seorang pemimpin partai politik, seperti Kaesang, memperoleh keuntungan yang berpotensi mencederai integritas posisinya.

Dalam menghadapi kritik publik, KPK perlu menunjukkan bahwa mereka serius dalam menjaga standar PEP di Indonesia. Kasus Kaesang bisa dijadikan momentum untuk mempertegas pengawasan terhadap tokoh politik yang berada dalam jaringan PEP. Dengan memperlakukan Kaesang secara adil dan transparan, KPK akan menunjukkan komitmennya pada prinsip antikorupsi yang tidak memihak. KPK perlu menegaskan bahwa mereka tidak akan memperlakukan tokoh politik, termasuk ketua partai, dengan standar yang lebih longgar dibandingkan dengan warga negara lainnya.

Melalui pengawasan ketat dan penerapan prinsip PEP yang merata, KPK dapat mengembalikan kepercayaan publik serta memastikan bahwa mereka berfungsi sebagai lembaga independen. Selain itu, hal ini juga mengirimkan pesan yang kuat bahwa siapa pun yang terlibat dalam politik atau kekuasaan harus tunduk pada prinsip transparansi tanpa pengecualian. KPK harus konsisten dalam menerapkan aturan PEP, baik bagi figur politik baru seperti Kaesang maupun pejabat tinggi lainnya.

Kasus jet pribadi Kaesang menjadi contoh penting dalam menguji komitmen KPK dalam mengawasi PEP. Jika KPK bersikap lunak atau tidak menerapkan standar pengawasan yang ketat, kredibilitas lembaga ini bisa terancam, dan kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi akan menurun. Dengan memastikan bahwa standar PEP diterapkan tanpa pandang bulu, KPK dapat memperkuat kepercayaan masyarakat dan menjaga integritas dalam memerangi korupsi di lingkungan politik Indonesia.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//