KELAKUAN NETIZEN: E(x)-Commerce
Pertarungan di era digital ternyata tak bisa dimenangkan oleh penyiapan talenta digital semata. Butuh upaya lebih.
M. Fasha Rouf
Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.
22 November 2024
BandungBergerak.id – Suatu malam di kedai dengan lampu temaram di kawasan Dago, wajah kawan saya tiba-tiba menguncup. Ia terdampak pemutusan hubungan kerja. Tempatnya bekerja padahal cukup beken, salah satu perusahaan idaman buat kawula muda, start-up bidang teknologi di Bandung. Kemampuan pemasaran digital yang ia miliki pun tak kaleng-kaleng. Kata teman itu, penyebabnya sederhana: pasar semakin lesu, sistem bisnis perusahaannya tak berkelanjutan.
Sebelumnya, kesedihan soal itu juga acap kali muncul di telepon pintar saya saat membuka platform LinkedIn. Banyak sekali pengguna muda di sana menggunakan lingkaran hijau dengan tagar: #opentowork. Selain itu, ada keganjilan di subjektivitas pengamatan saya. Dengan bangga (atau terpaksa), banyak pengguna mencantumkan di profil singkatnya: ex-tokopedia, ex-bukalapak, atau ex perusahaan teknologi lainnya. Menandakan mereka mantan karyawan perusahaan digital, gitu loch.
Fenomena itu dikonfirmasi lewat berita-berita yang tersebar. Ketik saja di Google: pemecatan karyawan startup di Indonesia. Ragam data akan tersedia. Contohnya, CNBC Indonesia pada 13 Juni 2024 melaporkan adanya PHK karyawan sebesar 70% di Tokopedia pasca merger dengan ByteDance (Tiktok). Selain itu, Tempo pada 21 Juni 2024 menyiarkan terdapat 10 startup Indonesia yang melakukan PHK dengan angka signifikan: Tokopedia, TikTok Shop, Shopee, LinkAja, Zenius, TaniHub, Tokocrypto, JD.ID, Pahamify, dan Fabelio.
Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Keluar dari Fanatisme Politik yang BeracunKELAKUAN NETIZEN: Panggilan Bosmu Di-Reject Aja
Gagap Megidolakan Startup
Bekerja di perusahaan teknologi (termasuk startup) adalah idaman bagi kawan-kawan saya yang lulus sarjana tahun 2017. Gula-gula bekerja di sektor tersebut semakin manis saat diketahui perusahaan startup saling membajak talenta terbaik demi memenangkan persaingan. Walhasil, pegawai ahli di sektor itu dapat mengajukan gaji sesuai keinginan mereka jika ada perusahaan lain yang menawarinya. Belum lagi, betapa jor-jorannya perusahaan digital itu dalam melayani karyawan, mulai dari banyaknya makanan hingga tempat kerja yang kekinian.
Ternyata tanda-tanda kegagapan merespons meledaknya perusahaan digital itu tak hanya terjadi di level individu. Joko Widodo di awal periode kedua pemerintahannya menyampaikan bahwa Indonesia harus dapat menyiapkan 600.000 talenta digital setiap tahun (Kompas.com, 03 Agustus 2020). Angka itu dipertegas Jokowi pada 09 Juni 2023 yang menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital pada 2030 (Kompas.com).
Mengejar target seperti sopir angkot, pemerintah ngebut dengan berbagai programnya. Kemenko Bidang Perekonomian memperbanyak pelatihan digital melalui program Kartu Pra Kerja. Kemenkominfo juga mencentuskan Digital Talent Scholarship (DTS) dan Digital Leader Academy (DLA) sejak 2018.
Sementara itu, Kemendikbudristek, yang saat itu dipimpin oleh pendiri Go-Jek, tak kalah berbuat banyak. Terdapat program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), hingga Google Bangkit. Tujuannya ingin menciptakan sebanyak mungkin talenta digital di perguruan tinggi.
Program-program MSIB juga disambut jadi rebutan oleh perusahaan rintisan di Indonesia untuk merekrut tenaga kerja mumpuni tanpa harus mengeluarkan banyak biaya gaji. Informasi seorang dosen, terdapat perusahaan rintisan yang merekrut 130 mahasiswa untuk menggerakkan perusahaannya.
Kebijakan Pemerintah Jangan Gegabah
Sah-sah saja jika pemerintah misalnya ingin memiliki kapasitas industri teknologi sekelas Silicon Valey. Atau ikut melamunkan Bukit Algoritma bersama Budiman Sudjatmiko. Namun, tanpa perencanaan strategis, belanja negara yang ditujukan untuk pencapaian kuantitats talenta digital takutnya akan rapuh dan sia-sia.
Pertarungan di era digital ternyata tak bisa dimenangkan oleh penyiapan talenta digital semata. Butuh upaya lebih. Pertama, perlu investasi yang sangat besar dan berkepanjangan untuk menciptakan ekosistem industri teknologi, terutama untuk riset-riset dasar. Berita dari The Guardian tanggal 19 Juni 2024 menyebutkan bahwa saat ini Nvidia menjadi perusahaan paling bernilai di dunia dengan saham $135,58, meningkat 3,5%. Posisi ini pun mengalahkan perusahaan teknologi kelas berat Microsoft.
Pasalnya, Nvidia semakin menjadi pemenang di gelanggang pasar semikonduktor. Chips yang dikeluarkan oleh Nvidia memainkan peran sentral dalam pasar kecerdasan buatan (AI). Padahal sekali lagi, riset soal chips membutuhkan waktu panjang. Kadang, pemerintah kita malah tak sabaran terhadap riset dasar dan terburu-buru menanti hilirisasi.
Kedua, pemerintah tampaknya terlalu dini untuk mengabaikan industri manufaktur sambil berharap besar pada industri digital. Padahal, laporan teranyar Momentum Works berdasarkan data biro statistik Tiongkok tanggal 17 November 2024, terdapat 150 miliar jumlah paket yang dikirimkan di dan dari China. Angka ini menjadi sejarah baru yang dicatat. Jumlah tersebut hampir tujuh kali lipat dari proyeksi volume paket di Amerika Serikat. Kapasitas dan kualitas produksi dari pabrik-pabrik di Tiongkok yang canggih pun berkali-kali terasa mengancam pasar Indonesia, seperti respons pemerintah saat ada Tiktok Shop, dan baru-baru ini lewat aplikasi Temu.
Jika pemerintah Prabowo-Gibran tetap hanya menginginkan adanya talenta digital tanpa memiliki peta strategis yang holistik, tampaknya saya tetap memandang digitalisasi ini dengan sangat pesimistis. Takutnya, di era digital, rakyat kita tersisih lagi, lagi, dan lagi.
Paling banter, kita merayakannya dengan meraup uang lewat joged-jogedan sambil live di media sosial. Atau, akhirnya rakyat kecil tetap bertarung dengan caranya sendiri seperti selama ini. Kerja keras tanpa henti sambil menahan tangis. Seperti tulisan di gerobak penjual pempek keliling di Cianjur yang saya temukan di Facebook: “Jualan hampir setiap hari. Hari kiamat libur.”
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain M. Fasha Rouf atau artikel-artikel lain tentang Kelakuan Netizen