• Berita
  • PILKADA JABAR 2024: Jawa Barat Membutuhkan Pemimpin Beretika dan Mau Mendengar Suara Kelompok Minoritas

PILKADA JABAR 2024: Jawa Barat Membutuhkan Pemimpin Beretika dan Mau Mendengar Suara Kelompok Minoritas

Kriteria memilih pemimpin di Pilkada Jabar 2024 pertama-tama adalah etika dan intelektualitasnya, baru elektabilitas. Etika mesti yang utama.

Sosialisasi Pilkada Jabar 2024 kepada penghayat kepercayaan yang diselenggarakan di gedung FISIP 3 Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Kamis, 21 November 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam22 November 2024


BandungBergerak.id - Menghitung hari ke depan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) semakin dekat. Banyak orang disibukan menentukan calon pemimpin yang ideal untuk menunjang daerahnya lima tahun ke depan. Demikian pula bagi kelompok minoritas, penghayat kepercayaan. Sosok pemimpin yang moderat dan populis sangat dibutuhkan bagi kelompok rentan ini.

Hal tersebut diungkapkan oleh Rela Susanti, Ketua Puanhayati Jawa Barat. Ia mengatakan, suara minoritas sangat penting untuk menentukan calon pemimpin daerah lima tahun ke depan. Rela menyadari selama ini banyak kelompok penghayat kepercayaan yang masih sulit mengakses bantuan dari pemerintah.

Rela menyebut kelompoknya termasuk yang termarjinalkan dan mendapatkan diskriminasi karena kepercayaan yang dianut. Dia mencontohkan, bantuan sosial seharusnya diterima kelompok penghayat. Akan tetapi, bantuan tersebut urung diberikan karena melihat kolom agama mereka ialah kepercayaan.

“Tetapi karena di KTP-nya penghayat kepercayaan lalu kemudian di-cancel sama pemerintahnya,” ujar anggota penghayat Budi Daya itu, dalam sosialisasi pilkada yang diselenggarakan di gedung FISIP 3 Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Kamis, 21 November 2024.

Dengan kondisi tersebut, Rela menyatakan kelompok penghayat harus betul-betul cakap dalam menentukan nasib selama lima tahun ke depan di Pilkada Jabar ini. Ia menekankan kepada para audiens yang terdiri dari para Puanhayati dari berbagai komunitas kepercayaan di Jawa Barat untuk mempergunakan hak pilih sebaik-baiknya. Memilih pemimpin yang peduli terhadap kelompok penghayat kepercayaan menjadi yang utama. Hal tersebut juga diamini oleh para peserta yang hadir.

Salah satu penghayat perempuan, Aris mengungkapkan hal senada, bahwa penting memilih pemimpin yang mempunyai jiwa keberpihakan pada kelompok minoritas. Aris bercerita, tetangga di kampungnya sudah memiliki stigma bahwa Aris pasti memilih calon pemimpin yang terlihat memihak terhadap kelompok penghayat kepercayaan ini.

“Pedahal mah kan gimana kita aja mau memilih pemimpin dari agama apa, ras apa juga. Yang penting bisa dipertanggungjawabkan,” ungkap Aris yang diiringi tepuk tangan peserta.

Ungkapan Aris didukung Rela. Dia menuturkan bahwa partisipasi memilih pemimpin sangat beridampak pada kelompoknya. “Kandidat pemilih itu harus mewakili suara kita,” ungkapnya seraya menegaskan bahwa kelompok kepercayaan mempunyai hak yang sama dalam kontestasi Pilkada Jabar 2024.

“Karena pilkada ini serentak di Indonesia, sehingga kita juga memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk memilih pemimpin kita,” terang Rela. Tidak hanya itu, suara perempuan dalam pilkada ini menurut Rela sangat penting. Karena menurut Rela acap kali peran perempuan tidak diprioritaskan dalam hal kebijakan.

“Lalu kemudian ketika kita memilih pemimpin yang salah, ketika dia membuat kebijakan yang tidak mengakomodir hak-hak kita sebagai kelompok penghayat kepercayaan, tentu kita yang akan rugi,” kata Rela.

Tidak hanya itu, keberadaan kelompok penghayat kepercayaan ini sering kali dikesampingkan. Bahkan dianggap tidak ada. Ia sering geram jika mendapat kabar kelompok penghayat kepercayaan yang sering didiskriminasi. Untuk itu pihaknya selalu mendorong pemerintah menyikapi hal ini dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para penghayat.

“Karena kami membayar pajak sama seperti yang lain. Sehingga kami pun mempunyai hak yang sama untuk dilayani seperti agama-agama yang lain,” tegasnya.

Sosialisasi Pilkada Jabar 2024 kepada penghayat kepercayaan yang diselenggarakan di gedung FISIP 3 Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Kamis, 21 November 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Sosialisasi Pilkada Jabar 2024 kepada penghayat kepercayaan yang diselenggarakan di gedung FISIP 3 Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Kamis, 21 November 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Pentingnya Memilih Pemimpin Moderat

Memilih pemimpin yang tepat bagi kelompok minoritas seperti penghayat kepercayaan sangat penting. Rela bercerita saat ini pendidikan anak-anak penghayat sedang di ujung tanduk. Dia mencontohkan, Undang Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) akan direvisi. Di khawatir revisi ini tidak menyebutkan nomenklatur tentang agama dan kepercayaan yang imbasnya anak-anak penghayat kepercayaan tidak dapat memperoleh hak-hak pembelajaran di sekolah.

“Anak-anak tidak bisa sekolah. Anak-anak tidak bisa menerima pendidikan kepercayaan di sekolah,” ungkapnya.

Maka dari itu, berkali-kali Rela menekankan untuk memilih pemimpin yang berpihak pada kelompok minoritas, terutama kelompok penghayat kepercayaan. “Kalau dengan penghayat saja mereka tidak mau kenal, tidak mau dekat, bagaimana dia akan menjabat sebagai pemimpin kita. Mana mau memperjuangkan kita kalau tidak kenal,” terangnya.

Di sisi lain, Gunawan Mantutu, seorang akademisi, juga menekankan agar memilih pemimpin yang sesuai dengan kriteria kelompok penghayat kepercayaan. Sebab setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpin akan berdampak besar pada nasib kelompok penghayat kepercayaan.

Wawan, begitu ia akrab disapa, menerangkan bahwa pemilih memiliki kedaulatan yang tinggi. Sebab kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemangku kebijakan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

“Kitalah yang memberikan kuasa dan kedaulatan kita kepada mereka,” ujar Wawan. “Sehingga apa yang mereka lahirkan melalui kebijakan-kebijakan di pemerintahan Kota Bandung maupun Jawa Barat itu terakomodir apa yang menjadi aspirasi kita,” lanjutnya.

Hal yang paling dikhawatirkan Wawan ketika masyarakat tidak acuh dalam kontestasi pilkada ini ialah para pemimpin akan mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Imsnya malah merugikan kelompok penghayat kepercayaan sendiri.

Wawan menjelaskan ada tiga cara dalam memilih pemimpin yang ideal. Pertama, harus melihat dari etikabilitasnya. Ketika pemimpin tidak mempunyai etika, maka akan berdampak bagi keberlangsungan kepemimpinannya dalam menentukan kebijakannya.

“Dalam hidup ini etika itu rating tertinggi,” tegas Wawan. Sebab setinggi apapun elektabilitasnya jika tidak mempunyai etika, percuma. “Orang ini enggak diktator. Pokonya mah enak kalau bicara dengan warganya, dekat dengan warganya,” lanjutnya.

Kedua, harus dinilai dari intelektualitasnya. Jika pemimpin mempunyai intelektualitas di dalam dirinya akan berpengaruh juga pada masyarakatnya.

Terkahir, elektabilitasnya. Wawan menuturkan fenomena akhir-akhir ini sering kebalik. Banyak masyarakat malah melihat elektabilitasnya terlebih dahulu. Etika dan intelektualitasnya diakhirkan. Menurutnya ini keliru. “Kalau bagi kita orang yang cerdas dan bijaksana akan berpikir keras dalam menentukan pilihan kita selain hak pilih bernilai tinggi,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan oleh Rela. Menurutnya jangan sampai memilih pemimpin karena orangnya ganteng atau terkenal, tetapi dalam segi etikabilitas dan intelektualitasnya minim. Tanpa dua kriteria tersebut ditakutkan akan membuat kelompok penghayat semakin terdiskriminasi.

“Jangan memilih karena wajah, karena artis, atau bahkan karena elektabilitasnya yang tinggi. Tapi pilih yang mau berpihak pada penghayat kepercayaan kalau untuk kita,” terangnya.

Baca Juga:

PILKADA JABAR 2024: AJI Merilis Data Ujaran Kebencian, Jawa Barat Menduduki Peringkat Pertama

Pilkada yang Memenangkan Masa Depan Bandung Barat

Hati-hati dengan Hoax

Tantangan dari era digital dalam menghadapi pilkada ini sangat beragam. Salah satu yang paling menonjol dan sering dijumpai adalah informasi bohong atau hoax. Rela mengingatkan pentingnya melakukan kroscek kebenaran suatu informasi. Dia menyadari banyaknya buzzer dari para calon pemimpin saling menjatuhkan karakter antara satu sama lainnya.

Hal ini menurutnya harus sangat diwaspadai agar tidak terjerumus terhadap informasi bohong. Lagi-lagi menurut Rela yang akan dirugikan bukan hanya calon pemimpin lain, tetapi masyarakat juga.

“Karena kalau informasi itu tidak betul lalu kita sebarkan ke yang lain, itu akan juga membahayakan untuk nasib kita lima tahun ke depan,” ujarnya. “Dan kita harus hati-hati, jangan-jangan kita itu termakan oleh hoax yang dibuat oleh buzzer-buzzer salah satu tim kampanye calon pemimpin,” lanjutnya.

Mengutip dari laman Diskominfo (sekarang Komdigi) penyebaran hoax paling tinggi berada di media sosial sebanyak 92,4 persen. Kedua ada di aplikasi chat  sebesar 62,8 persen. Disusul di situs web sebanyak 34,9 persen. Informasi yang salah atau tidak akurat ini dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu politik, bahkan memanipulasi pilihan mereka di kotak suara.

Sementara itu pemilih di Jawa Barat menjadi yang tertinggi di Indonesia.  Daftar pemilih tetap di provinsi ini mencapai 35.714.901 orang, terdiri dari Gen Z (7.407.490), milenial (11.603.822), Generasi X (10.658.794), baby boomer (5.509.677), dan lansia (>76 tahun) sebanyak 535.118 orang.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharamatau tulisan-tulisan menarik lain Pilkada atau Pilwalkot Bandung 2024

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//