Manifesto Aspirasi Wargi Bandung 2029: Jalan Mengubah Kota Autopilot
Kota Bandung mendapat julukan miring sebagai kota autopilot, mencerminkan banyaknya permasalahan akut yang tak kunjung tuntas: kemacetan, sampah, korupsi.
Penulis Bagas Charli Manuel Purba23 November 2024
BandungBergerak.id - Kota Bandung dengan julukan sebagai “kota autopilot,” mencerminkan kondisi macet, jalan berlubang, pengelolaan sampah buruk, serta korupsi yang mencoreng tata kelola pemerintah. Aspirasi Wargi Bandung 2029 hadir sebagai manifestasi perjuangan kolektif untuk mengatasi permasalahan ini dengan pendekatan partisipatif.
Sejak lama, permasalahan seperti kemacetan, korupsi, hingga tingginya biaya hidup menjadi keluhan utama warga. Survei aspirasi terhadap 415 responden menunjukkan rendahnya tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah, dengan sentimen negatif mendominasi persepsi wargi Bandung.
Krisis ini diperparah dengan minimnya akses terhadap kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pemilu sebagai medium perubahan sering kali gagal menghasilkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas.
Dari hasil diskusi, survei, dan kolaborasi yang dikoordinasi oleh Demokrasi Kita, sebuah forum gotong royong lintas organisasi, komunitas, institusi, individu atau warga Kota Bandung yang melahirkan Dokumen Aspirasi Wargi Bandung 2029. Forum ini merumuskan lima isu prioritas untuk Kota Bandung, yaitu transportasi publik dan mobilitas aman, infrastruktur layak dan terawat, pengelolaan sampah yang terintegrasi, pemerintahan transparan dan berintegritas, dan kerja layak dan biaya hidup terjangkau.
Isu Prioritas 1: Macet dan Kebutuhan Transportasi Publik
Kemacetan di Kota Bandung menjadi masalah serius karena jumlah kendaraan pribadi hampir setara dengan jumlah penduduk sebanyak 2,5 juta jiwa. Tingkat kepadatan lalu lintas saat ini telah mencapai 40 persen dari kapasitas jalan, dan diperkirakan akan mencapai 100 persen pada tahun 2035 jika tidak dilakukan tindakan yang signifikan.
Masalah ini disebabkan oleh kebijakan yang lebih mengutamakan pergerakan kendaraan daripada pergerakan manusia, perluasan wilayah perkotaan yang tidak terkendali, serta minimnya transportasi umum yang layak, terjangkau, dan mudah diakses. Kondisi ini diperparah dengan semakin maraknya penggunaan kendaraan pribadi dan ojek online.
Kemacetan tidak hanya menghambat mobilitas, tetapi juga menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan biaya hidup warga. Survei menunjukkan bahwa 80 persen responden menganggap kemacetan sebagai salah satu dari lima masalah utama, dan 78 persen di antaranya menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah kota dalam mengatasinya, khususnya di wilayah Bandung Selatan dan Bandung Tengah.
Baca Juga:Pembangunan Sistem Sanitasi Berbasis Gender
Data Jumlah Kelurahan di Kota Bandung yang Menerapkan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), Tuntas 100 Persen per 2020
Sudah Pantaskah Kota Bandung Meraih Penghargaan ODF 100 Persen?
Isu Prioritas 2: Infrastruktur Mobilitas yang Terbengkalai dan Tidak Layak
Survei Demokrasi Kita mengungkap bahwa 58 persen responden menganggap infrastruktur mobilitas sebagai satu dari lima isu prioritas di Kota Bandung, dengan 71 persen di antaranya tidak puas dengan kinerja pemerintah. Masalah utama tersebut meliputi jalan berlubang, minimnya penerangan, dan kondisi trotoar yang buruk. Banyak warga menduga bahwa anggaran infrastruktur mobilitas yang besar tersebut tidak dikelola secara efektif, karena tidak ada kemajuan yang signifikan dari tahun ke tahun.
Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) yang menangani jalan dan trotoar memiliki anggaran sebesar 375 miliar (4,8 persen dari APBD 2024), sedangkan Dinas Perhubungan (Dishub) yang bertanggung jawab di bidang penerangan memiliki anggaran sebesar 251 miliar (3,2 persen dari APBD). Meskipun perbaikan jalan dan trotoar disebut-sebut menjadi prioritas, sebagian besar warga belum merasakan dampaknya.
Saat ini, hanya 19,35 persen jalan yang memiliki trotoar inklusif, yang sangat penting mengingat terdapat 880.000 lansia di Bandung. Kondisi trotoar yang rusak, terhalang parkir liar, PKL, dan rintangan lainnya menjadi hambatan bagi kelompok rentan seperti lansia dan penyandang disabilitas, terutama bagi warga usia 44-59 tahun yang paling banyak menyuarakan pentingnya isu ini.
Isu Prioritas 3: Reformasi Pengelolaan Sampah
Kota Bandung tengah menghadapi krisis sampah serius akibat terbatasnya kapasitas TPA Sarimukti, satu-satunya tempat pembuangan sampah di Bandung Raya. Meski telah dilakukan perluasan lahan, kapasitas TPA belum mampu menampung sampah yang terus bertambah, sehingga diperlukan reformasi pengelolaan sampah secara menyeluruh.
Sebanyak 59 persen responden survei menilai pengelolaan sampah menjadi masalah utama yang perlu diperhatikan, terutama bagi kaum perempuan dan lansia. Tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menangani masalah ini mencapai 71 persen.
Salah satu akar permasalahannya adalah tingginya volume sampah organik yang seharusnya dapat diolah secara mandiri, tetapi masih saja dibuang ke TPA. Dengan produksi sampah harian sekitar 1.279 ton, hanya mampu menampung 190 trip truk, sedangkan 50 trip lainnya (200 ton) menumpuk di TPS atau area publik, sehingga mencemari lingkungan dan meningkatkan risiko ledakan gas metana serta longsor di TPA Sarimukti.
Buruknya pengelolaan sampah menjadi isu peringkat ketiga yang paling meresahkan warga Bandung, menuntut perhatian dan tindakan serius untuk reformasi sistem persampahan.
Isu Prioritas 4: Maraknya Korupsi
Korupsi dan buruknya tata kelola pemerintahan menjadi salah satu dari lima isu prioritas utama di Kota Bandung, dengan 52 persen responden survei menyorotinya sebagai masalah utama. Tingkat ketidakpuasan warga sangat tinggi, mencapai 80 persen, akibat buruknya pelayanan publik dan maraknya praktik pungli.
Kasus korupsi di kalangan pimpinan kota, seperti suap bantuan sosial oleh mantan Wali Kota Dada Rosada dan korupsi program smart city oleh Wali Kota Yana Mulyana, telah merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Hal itu semakin dipertegas dengan penilaian Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK 2023 yang menempatkan Kota Bandung pada peringkat kedua terendah di Jawa Barat, dengan skor integritas 65,48—turun 9,8 persen dari tahun sebelumnya.
Rendahnya integritas pemerintah Kota Bandung menunjukkan perlunya tindakan tegas untuk mengatasi korupsi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan guna memulihkan kepercayaan publik.
Isu Prioritas 5: Upah Murah, Kerja Tidak Layak, dan Tingginya Biaya Hidup
Kondisi perekonomian warga Bandung diwarnai dengan upah yang rendah, biaya hidup yang tinggi, dan minimnya lapangan pekerjaan yang layak. Sebanyak 70 persen pekerja sektor formal menerima gaji di bawah upah minimum dengan pendapatan rata-rata 3,6 juta rupiah per bulan. Kondisi sektor informal lebih memprihatinkan, karena mencakup 40 persen angkatan kerja, meliputi pekerja lepas, pedagang kecil, dan pekerja keluarga yang tidak dibayar.
Angka pengangguran di Bandung mencapai 8,8 persen, tertinggi di antara kota metropolitan lain di Indonesia. Tingginya biaya hidup semakin memberatkan, dengan 40 persen pendapatan warga dihabiskan hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Situasi ini membuat menabung atau menyiapkan dana darurat menjadi kemewahan yang sulit dicapai.
Kesulitan ekonomi ini memicu banyak warga Bandung beralih ke pinjaman online (pinjol) sebagai solusi, menjadikan Jawa Barat, khususnya Bandung, sebagai wilayah dengan tingkat pengguna pinjol tertinggi di Indonesia. Survei menunjukkan bahwa 64 persen warga tidak puas dengan kinerja pemerintah kota dalam menangani isu upah rendah, biaya hidup, dan pekerjaan layak, menegaskan bahwa warga merasa harus berjuang sendiri di tengah absennya peran pemerintah.
Tulisan di atas adalah hasil penelitian dan penyusunan dokumen yang diprakarsai oleh Demokrasi Kita, sebuah koalisi komunitas non-partisan yang berdedikasi menghidupkan kembali partisipasi warga dalam demokrasi. Proses yang melibatkan diskusi dengan pakar, komunitas, dan perwakilan warga untuk memastikan setiap aspirasi berakar dari kebutuhan nyata. Pendekatan partisipatif ini dirancang untuk memperkuat pengawasan warga terhadap pemerintah yang sering kali tidak responsif.
Mengawal Aspirasi
Mewujudkan Aspirasi Wargi Bandung 2029 memerlukan kolaborasi jangka panjang. Warga diajak untuk terus mengawal implementasi kebijakan, menyebarluaskan dokumen aspirasi, dan mendukung petisi demi memastikan suara mereka menjadi visi pemimpin terpilih.
Ini adalah langkah awal dalam menjadikan Bandung kota demokratis yang berkeadilan dan inklusif. Mari bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik untuk Kota Bandung dan warganya.
Untuk informasi lebih lanjut dan upaya memberi dukungan, dapat kunjungi bit.ly/PetisiDukunganAWB2029.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Bagas Charli Manuel Purba, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Transportasi Publik