MAHASISWA BERSUARA: Tidak Ada Istilah FOMO Buat Para Mahasiswa yang Baru Mulai Membaca
Media sosial membatasi ruang gerak manusia. Maka, membaca buku adalah cara manusia untuk mendobrak batasan yang lahir karena digitalisasi.
Fara Fauzan
Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung
24 November 2024
BandungBergerak.id – Kita semua sudah mulai sadar bahwa minat baca masyarakat Indonesia khususnya para mahasiswa sudah menyentuh angka yang memprihatinkan. Data dari UNESCO mencatat bahwa minat baca masyarakat Indonesia ada di angka 0,001%. Ini artinya, hanya ada 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca yang tinggi.
Dari berbagai macam faktor yang membuat mahasiswa jadi jarang membaca, ada satu faktor yang sangat menarik perhatian saya yakni ketergantungan terhadap hiburan digital. Sebagai Gen Z, tentunya saya adalah mahasiswa yang aktif berdigital. Bukan lagi sandang, pangan, papan. Bagi sebagian orang, frasa itu sudah bertambah menjadi sandang, pangan, papan, dan media sosial.
Di tengah gempuran media sosial, seminggu sudah bisa menamatkan satu buku saja sudah menjadi hal yang patut disyukuri. Data WeAreBrain menyebut, di awal tahun 2024 ini ada 68% waktu seseorang dihabiskan untuk hiburan di platform seperti TikTok.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pendekatan Model Inkola Terhadap Anak Diabetes Melitus Tipe 1MAHASISWA BERSUARA: Indonesia (Cemas) 2045, Menghadapi Tantangan Lingkungan Demi Keberlanjutan Bangsa
FOMO?
Rekan-rekan mahasiswa saat ini, umumnya dipenuhi oleh Gen Z. Angkatan tertua setidaknya adalah anak kelahiran tahun 2003-an. Sementara mahasiswa baru umumnya adalah remaja yang lahir di tahun 2006-an.
Media sosial bagi mereka sudah mendarah daging. Tidak sedikit dari mereka yang mencantumkan prinsip hidupnya dari postingan seseorang. Hal tersebut juga yang membuat Gen Z ini banyak mengalami stres atau anxiety karena kebanyakan baca postingan seseorang. WeAreBrain juga menyebut bahwa media sosial berfungsi sebagai platform bagi Gen Z untuk mengekspresikan diri dan terhubung dengan orang lain yang memiliki minat serupa.
Bagi mereka, relatable quotes adalah sumber kebahagiaan. Sementara opini jujur seseorang dianggap toxic. Postingan seseorang sudah dianggap menjadi panutan hidup. Akun Instagram pun harus terbagi menjadi dua bahkan tiga sisi kepribadian. Akun pertama untuk pencitraan; akun kedua untuk curhat dan memaki seseorang; akun ketiga untuk foto-foto terlarang yang hanya diunggah untuk sekedar mengenang.
Pernah saya melihat postingan di second account Instagram rekan saya yang cukup Gen Z. Dia memaki seseorang yang hanya memposting buku yang sedang ia baca di sosial medianya. Mungkin, bagi beliau buku bacaannya sama dengan apa yang telah ia baca dari beberapa waktu lalu. Atau penulis dari bukunya adalah penulis yang ia gemari. Ia merasa lebih superior karena ia telah lebih dulu membaca karya-karyanya. Kurang lebih begini kalimatnya: “Haha, lu mah baru nyebur gue mah udah basah.”
Tidak asing dengan ungkapan seperti itu? Pasti tidak, kan? Ungkapan seperti itulah yang membuat para mahasiswa yang baru mau memulai kehidupan barunya menjadi tidak percaya diri dan akhirnya menyerah karena kalimat negatif dari seseorang yang bahkan tidak berkontribusi di kehidupannya. Bila diteruskan dan dibaca oleh beberapa mahasiswa lain, dampaknya bisa menjadi sebab utama mahasiswa tidak lagi gemar membaca. Mahasiswa tidak berani memulai untuk mulai mencintai buku karena takut dicap “FOMO” (fear of missing out) atau orang yang “baru nyebur”.
Coba bayangkan, ada seorang mahasiswa yang tengah mengalami beratnya kehidupan, buruknya mental, dan juga masa depan yang belum terbayangkan. Lalu, ia bertemu dengan satu buku yang akan berpotensi mengubah dirinya agar menjadi lebih baik. Seketika ia berpikir: “inilah jalanku, inilah yang akan mengubah hidupku, aku akan terus membaca agar hidupku lebih baik.”
Tiba-tiba dari pelosok sana ada satu mahasiswa yang entah betul-betul sudah lama menjadi pembaca atau malah baru mulai membaca hanya saja ia lebih dahulu mengunggahnya ke Instagram–berkata pada si pembaca baru ini dengan nada kalimat seakan senior: “Eh elu tuh fomo doang tau begini-begini, gue mah udah menjadi pembaca yang kuat sejak dulu.”
Ya, umuran Gen Z ini memang sedang lucu-lucunya. Yang satu merasa lebih ahli, yang lainnya merasa ‘kalah’ karena dibilang “baru nyebur”.
Mendekatkan pada Buku
Bagi saya, keduanya hampir tidak ada bedanya. Yang satu terlalu termakan omongan orang yang tidak memberinya makan, yang satu terlalu mahasiswa (merasa mengetahui segalanya). Tapi bila saya coba lihat menggunakan sudut pandang saya sebagai mahasiswa dan juga Gen Z. Omongan “baru nyebur” seharusnya tidak terlontar bila kamu merasa benar-benar sudah menguasai bidang tersebut. Dalam hal ini yaitu membaca. Bila kamu adalah mahasiswa yang memang terlahir sebagai pembaca dan mencintai karya-karya tulis, seharusnya kamu bisa menularkan itu kepada masyarakat di sekitar kamu. Tidak usah menganggap masyarakat itu adalah sejumlah manusia yang besar secara kuantitas. Namun, cukup segelintir teman-teman dekat kamu.
Pembaca yang baik menurut saya adalah mereka yang memiliki magis menularkan kebiasaan membaca kepada teman-temannya. Karena dengan begitu, ia akan semakin termotivasi agar terus membaca dan semakin mencintai buku karena telah berhasil membuat lingkungan yang mana orang-orang di dalamnya adalah orang-orang yang juga bercinta dengan cara membaca.
Saya mencoba mengutip kalimat dari Zen R.S., seorang jurnalis dan salah satu pemilik Toko Buku Bebasari. Ia berkata bahwa tujuannya membuka toko buku yakni untuk mendekatkan buku kepada manusia. Bukan hanya manusia yang hobi membaca, tapi manusia secara keseluruhan. Baik dia tukang nasi goreng atau pekerja korporat; baik dia seorang mahasiswa atau tamatan SD; baik itu orang tua atau remaja labil; semua bisa dengan mudah mengakses buku.
“Agar kita tertarik membaca, caranya adalah dengan mendekatkan diri kita dengan buku. Buku yang bisa dan mudah diakses, buku yang bisa kita pegang. Dengan begitu, minat kita untuk membaca pun akan terangsang dengan sendirinya.”
Adakah Zen R.S. berkata kepada para pembelinya “haha kalian kan semua di sini pada baru nyebur, sementara saya sudah kering”? Tentu tidak. Mengingat dia malah merelakan beberapa koleksi bukunya terjual agar para manusia-manusia yang baru mengenal buku juga bisa mengaksesnya.
Tapi, Mahasiswa Bukanlah Zen R.S.
Ya, tidak semua mahasiswa adalah Zen R.S. Tapi semua mahasiswa memiliki kesempatan yang sama agar bisa meniru apa yang Pak Zen lakukan. Mengundang manusia untuk turut melestarikan budaya membaca yang kian memudar di masyarakat. Membuka tempat untuk manusia agar bisa istirahat dari penatnya kehidupan ibu kota hanya dengan membaca beberapa halaman yang tersaji di toko bukunya.
Bisakah mahasiswa melakukan hal yang sama? Saya rasa bisa. Dan harus bisa. Caranya? Dengan cara merendahkan ego dan dengan kerendahan hati untuk mengakui kalau di atas langit pasti masih ada langit. Menyadari bahwa kita hanya mahasiswa dan masih banyak rintangan yang harus kita lalui dan masih banyak rekan yang harus kita gapai untuk relasi dan sama-sama membangun karier setelah lulus nanti.
Merapikan dan membatasi konten-konten untuk diakses di sosial media adalah hal pertama yang bisa kita lakukan agar mudah jatuh cinta terhadap buku. Mengingat postingan seseorang juga bukan acuan kita untuk menjalani hidup juga adalah simpel yang semua orang lupa. Jangan pernah menjadikan sosial media sebagai sumber nomor wahid untuk belajar. Bacalah, resapi, lalu analisis secara kritis.
Kebetulan, saya juga Gen Z, maka saya ingin menutup tulisan ini dengan quote dari Zen R.S. yang mungkin bisa mendobrak batasan itu agar perpustakaan tidak lagi sepi atau hanya diisi oleh mereka yang tengah menyusun skripsi.
“Bisa membaca buku kadang merupakan privilese, tapi ingin membaca adalah karunia.”
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara