Timnas Jatiwangi, Musik Bukan Sembarang Musik
Timnas Jatiwangi merupakan penampilan kolektif tiga band asal Majalengka: Lair, The Talawengkar, dan Motherbank. Memainkan musik sebagai ekspresi identitas lokal.
Samuel Krisna Surya Hanggara
Alumni Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
30 November 2024
BandungBergerak.id – Musik adalah bahasa universal yang mampu menjadi medium bagi setiap individu ataupun kelompok untuk mengekspresikan sesuatu. Bahkan, musik juga sering kali menjadi medium untuk memperjuangkan nilai-nilai sosial, budaya, identitas lokal, serta mereka yang sering kali terpinggirkan. Timnas Jatiwangi merupakan salah satu kelompok yang gencar menjadikan musik sebagai medium untuk memperjuangkan identitas lokal yang mengandung nilai sosial dan budaya. Timnas Jatiwangi sendiri merupakan penampilan kolektif dari tiga band asal Majalengka –Lair, The Talawengkar, dan Motherbank– yang tampil secara perdana pada pagelaran musik nasional Synchronize Fest 2024 bertema “Together Bersama”.
Timnas Jatiwangi menghadirkan musik dengan nuansa yang unik, yakni bernuansa pantura dan kasidahan. Para penampilnya lebih unik lagi. Lair hadir dengan sosok penyanyi perempuan layaknya seorang biduan, The Talawengkar merupakan kumpulan kuli proyek yang bernyanyi sambil menampilkan badannya yang berotot, sedangkan Motherbank berisikan ibu-ibu kasidahan yang bernyanyi dengan menggunakan kostum hitam dan pink. Bagian lain yang menyita perhatian dari Timnas Jatiwangi adalah beberapa alat musik yang mereka gunakan menggunakan genteng rumah.
Baca Juga: Bandung International Dance Competition 2024, Panggung Tarian Dunia di Kota BandungTur ZUZUZAZA Bandung, Bersama Sal Priadi Merayakan Perjumpaan dan Menerima Perpisahan
Medium Ekspresi Identitas Lokal dan Perlawanan
Timnas Jatiwangi pada dasarnya menjadikan musik sebagai medium ekspresi identitas lokal, sekaligus juga perlawanan atas isu-isu sosial yang ada di sekitar mereka. Lair, dalam musiknya, menyuarakan identitas pantura yang seringkali dipandang sebelah mata dalam kehidupan sehari-hari. Mereka hendak memperlihatkan bahwa kehidupan sosial di pantura tidak seburuk yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, melainkan mengandung nilai sosial dan budaya yang begitu mendalam, khususnya terkait kebersamaan. Hal serupa juga diperlihatkan The Talawengkar yang menggambarkan nilai semangat dan totalitas dalam melakukan suatu pekerjaan, dalam hal ini pekerjaan bangunan. Mereka dengan bangga memperlihatkan identitasnya sebagai kuli proyek yang kerap kali dipandang sebelah mata dalam konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat. Sementara itu, Motherbank menjadikan musik sebagai medium untuk melakukan perlawanan terhadap praktik pinjaman berbunga tinggi yang terdapat di desa mereka.
Penggunaan bahasa Timnas Jatiwangi dalam bermusik dapat menjadi sorotan juga. Secara umum, Timnas Jatiwangi menggunakan bahasa Sunda dalam karya-karya yang dibawakannya. Hal yang menarik perhatian di sini adalah bahasa tidak menjadi kendala bagi para pendengarnya, yang berasal dari berbagai latar belakang, untuk menikmati sekaligus memaknai karya yang dibawakan oleh Timnas Jatiwangi. Hal ini tampak secara jelas dari keriuhan para pendengarnya setiap kali Timnas Jatiwangi membawakan karya-karyanya.
Selain itu, Timnas Jatiwangi juga menggunakan elemen visual dalam menyampaikan pesan-pesannya. Kostum, properti, serta alat musik yang unik menjadi bagian tak terpisahkan dari Timnas Jatiwangi dalam penampilannya. Penggunaan pakaian layaknya biduan yang digunakan oleh Lair, genteng yang dibawa oleh para kuli proyek The Talawengkar, dan aksi panggung kasidahan yang diusung oleh Motherbank ikut memperkuat pesan-pesan yang hendak disampaikan oleh Timnas Jatiwangi.
Genteng sebagai Pengingat
Timnas Jatiwangi semakin menyempurnakan aksi panggungnya dengan ikut melibatkan para penonton dalam penampilannya. Pada satu momen, para penonton dibagikan sebuah genteng lengkap beserta tongkat untuk memukul genteng tersebut agar menghasilkan suara. Suara-suara yang dihasilkan dari ketukan-ketukan genteng para penonton semakin memeriahkan penampilan Timnas Jatiwangi. Genteng-genteng ini nantinya dapat dibawa pulang oleh para penonton yang mendapatkannya. Situasi ini sebenarnya bukan hanya sekadar euforia sesaat, melainkan memiliki maksudnya tersendiri. Ada harapan bahwa genteng-genteng tersebut mampu menjadi pengingat sekaligus juga ajakan untuk ikut memperjuangkan nilai-nilai sosial dan budaya yang diwartakan oleh Timnas Jatiwangi dalam musik yang dibawakannya. Tabik!
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang konser dan pertunjukan