Merangkul yang Terluka, Peran dan Tantangan Gereja dalam Merespons KDRT
Memperingati 16 Hari anti kekerasan terhadap perempuan (16HAKTP), WWC Pasundan Durebang mengundang teolog dan aktivis perempuan dalam diskusi gereja merespons KDRT.
Penulis Bagas Charli Manuel Purba2 Desember 2024
BandungBergerak.id - Kesalahan interpretasi dan tafsir teks Alkitab menjadi salah satu persoalan dan tantangan untuk menyelesaikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini berujung korban tidak mau melapor, harus selalu tabah, dan terjebak masalah dalam kesakralan pernikahan. Hadirnya tenaga pendamping juga kerap direspons dengan ketakutan karena mengartikan solusi dari pendampingan berujung perceraian.
Komnas Perempuan, dalam laporan tahunan 2023, mencatat sebanyak 2.247 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini menegaskan pentingnya peran aktif dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Gereja, untuk mencegah dan menghapus kekerasan berbasis gender, khususnya KDRT. Merespons meningkatnya kasus KDRT, WWC Pasundan Durebang menyelenggarakan talkshow sebagai bagian dari peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Dari banyaknya korban yang didampingi Pdt. Ira Imelda selaku Badan Pengurus Daerah (BPD) Peruati Priangan, diketahui bahwa masih melekatnya stigma pada korban KDRT. Hal ini yang menjadi tantangan dalam penanganan KDRT.
“Jadi kalau dia anggota gereja yang menjadi korban kekerasan itu merasa malu untuk menyampaikan atau melapor meminta pertolongan. Atau takut dihakimi karena bicara tentang pengalaman mereka,” ucap Ira, Jumat, 29 November 2024.
Mereka tidak mudah mendapat pertolongan karena perasaan yang menjadi rahasia keluarga dan menjadi aib. Di sisi lain, pihak gereja merasa enggan untuk proaktif melakukan pendampingan. “Gereja selalu menunggu adanya laporan,” tutur Ira.
Ira memandang kasus KDRT secara teologis. Interpretasi dan tafsir yang keliru terhadap teks-teks alkitab melihat kasus ini sebagai bentuk ketundukan istri sebagai korban terhadap suami sebagai pelaku.
Pdt Agus Paulus H selaku moderator menambahkan, teks kitab suci yang memuat masalah ini termuat dalam Efesus pasal 5. “Bahkan ada yang mengatakan itu salib, karena mendengar itu dari pendeta atau kotbah, itu adalah salib yang harus dipikul sebagai pengikut kristus” jelas Ira.
Dengan melihat penderitaan kristus yang lebih berat tetapi bisa memikul salibnya, Ira menjelaskan korban juga akhirnya memikul salibnya dengan diam. Menurut dia, ini yang menjadi tantangan. Bukan hanya datang dari korban, juga datang dari gereja. Yang semestinya gereja dapat memberi pencerahan dan memberi pembebasan.
“Interpretasi atau tafsir terhadap teks agama ini perlu mendapatkan perhatian yang serius karena kita tahu persis alkitab itu dibentuk ada budaya, ada politis yang berpengaruh,” ucap Ira.
Ia menggambarkan contoh yang masih ditahan-tahankan seperti penderitaan yang harus dijalani dengan sabar. Seolah-olah sabar itu merupakan jalan mendapatkan surga kedamaian, padahal sebenarnya tidak demikian.
“Itu malah menjadi pembungkaman terhadap korban kekerasan apapun bentuknya, masuk dalam kekerasan rumah tangga itu,” tambah Ira.
Pencerahan Sejak Usia Anak
Gereja sebenarnya memiliki peran memberikan pencerahan termasuk untuk persoalan keluarga. Bahkan gereja bisa melakukan pencerahan sejak usia anak, yakni bagaimana menghormati dan mengasihi sesame, serta tidak untuk saling menyakiti.
Pdt. Margie Ririhena De Wanna, perwakilan PGIW Jawa Barat, melihat KDRT dari kacamata kultural. Menurutnya, budaya memiliki pengaruh yang kuat dalam mengembangkan karakter seseorang. “Dan saya melihat memang budaya kita di masyarakat itu cenderung bersifat submisif” ucap Margie.
Ia menyebut, kecenderungan takut menyuarakan sesuatu karena dianggap vokal menjadi kesalahan pola didik anak dari kecil. “Pola didik anak untuk terus diam dan hanya mengatakan ya itu tanpa disadari sebenarnya turut membentuk, sehingga orang ketika mengalami kasus kekerasan, orang itu tidak mau bicara, menelannya sendiri gitu,” jelas Margie.
Ditambah lagi ada klaim-klaim teologis yang harus sabar dan rendah hati itu dipahami dengan enggan berbicara dan ditelan sendiri. “Dan ini campuran anatara kultur lokal kita, budaya-budaya yang kita didik untuk anak-anak kita bahkan cucu kita itu kemudian turut membentuk bagaimana mereka akan bersuara atau tidak bersuara,” tutur Margie.
Di samping kultur, Ira Imelda memandang bahwa gereja mudah membiarkan pelaku dan meminta korban untuk mengampuni pelaku. Perlu adanya perubahan dari pelaku itu sebagai pertanggungjawaban yang jelas.
“Kita lupa bahwa pengampunan itu bisa diberikan kalau ada pertobatan, yang diawali dengan pengakuan dosa. Secara teologinya gitu ya,” ucap Ira.
Jemaat juga kerap menghadapi keraguan karena memandang pendampingan kasus KDRT dengan solusi perceraian. “Seolah-olah kita melakukan pendampingan itu kita selalu dikesempitkan, seolah-olah soal cerai aja gitu,” jelas Ira.
Padahal pendampingan yang dilakukan bukan soal cerai yang menjadi solusi utama. “Jadi batas diskusi kita itu cerai itu boleh atau tidak?”. Ira memaparkan itu sebagai bentuk menunjukan perhatian, kepedulian pendampingan terhadap korban, sehingga korban dapat sembuh dan pulih bersama dengan pelaku.
Baca Juga: Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Data Kekerasan terhadap Anak di Kota Bandung 2020, Terbanyak Berupa Kekerasan Psikis
Meningkatkan Peran Gereja
Gereka memiliki peran besar dalam mencegah terjadinya kasus KDRT. Namun, pihak gereja juga memerlukan peningkatan kapasitas khususnya dalam hal pendampingan. Aksi Perkumpulan Alumni Perempuan Berpendidikan Teologi atau Peruati mendukung peningkatan kapasitas ini dengan menyediakan pelatihan-pelatihan pendamping dan juga advokasi hukum, serta memastikan korban mendapatakan akses perlindungan.
“Jadi di daerah-daerah juga Peruati melakukan pendampingan langsung, tidak bergerak dalam teologi saja,” ucap Ira.
Dengan demikian, peran gereja tidak hanya di seputaran mimbar atau altar, justru bisa lebih luas lagi yaitu turun ke pasar dan berinteraksi dengan masyarakat luas. “Harus ke mana-mana mewartakan kasih Tuhan itu dalam bentuk konkret,” tambah Ira.
Safe guarding atau kebijakan perlindungan menurut Ira sangat penting di samping pembinaan dan pendampingan. “Melihat gereja memiliki kebijakan perlindungan, ada yang spesifik perlindungan perempuan dan anak tapi juga ada secara umum yang kebijakan perlindungan,” ucap Ira.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Bagas Charli Manuel Purba, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)