Daya Tahan Masyarakat Minoritas dalam Menghadapi Sikap Antikebhinekaan
Kebebasan Beragama Berkeyakinan menjadi tantangan serius di Indonesia. Di Jawa Barat, diskriminasi masih dialami warga minoritas Ahmadiyah dan penghayat.
Penulis Yopi Muharam3 Desember 2024
BandungBergerak.id - Sebutan Indonesia sebagai negeri bhineka sudah ditanamkan sejak bangku sekolah. Perbedaan pun adalah hikmah, demikian ditorehkan kitab suci. Namun apa daya, realitas kerap berbeda dengan yang dituliskan. Perbedaan agama masih diwarnai diskriminasi, bahkan kekerasan, seperti yang dialami warga Ahmadiyah di Sukabumi, maupun komunitas penghayat di Bandung.
Di tengah suasana yang menolak kebhinekaan itu, baik kaum ahmadi maupun penghayat kepercayaan tetap bertahan dan saling menebar kebaikan. Belum lama ini, tepatnya pada bulan Agustus 2024, jemaat Ahmadiyah Sukabumi melakukan penjualan sembako murah untuk warga di sekitar Parakansalak.
Awalnya, bazar sembako mendapat larangan karena dikhawatirkan menyulut kerusuhan, sebagaimana peristiwa kelam yang pernah menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Parakansalak. Akan tetapi, jemaat tidak kehilangan akal untuk tetap berbuat baik. Mereka membuat informasi tentang sembako murah ini melalui grup WhatsApp dan menyebarkan informasi secara daring.
Agar terlihat tidak terang-terangan, sembako disimpat di rumah mubaligh. Warga yang hendak membeli sembako murah tersebut harus datang ke rumah mubalig. “Hanya beberapa jam saja, sembako udah habis dibeli warga,” ucap ketua JAI Parakansalak, Asep Saepudin. “Tapi ya penjualannya agak sembunyi-sembunyi.”
Kendati demikian, jumlah jemaat Ahmadiyah di Indonesia terus bertambah meski jemaat Ahmadi rentan mendapat tindakan represif. Mengutip laman Tempo.co, jumlah anggota JAI sekarang sekitar 600 ribu orang yang tersebar di 192 kabupaten/kota di 38 provinsi dan memiliki 400an cabang lebih. Penganut terbanyak terdapat di Jawa Barat yang terdiri dari 27 cabang.
Berkali-kali jemaat Ahmadiyah Parakansalak mendapatkan perlakukan diskriminasi dan persekusi. Minggu malam, 27 April 2008, Masjid Al Furqon milik JAI Cabang Parakansalak dibakar massa.
Dua hari sebelum pembakaran, dihelat sebuah acara yang dinamakan istigosah yang jaraknya sekitar 250 meter dari masjid JAI yang dibakar. Istigosah ini membahas tentang pembubaran Ahmadiyah. Pihak pemerintahan dan aparat setempat tidak bisa berbuat banyak mencegah rencana pembubara Ahmadiyah yang berujung pembakaran masjid.
Dua minggu pascapembakaran masjid, 9 Juni 2008 sebuah diskriminasi menimpa jemaat Ahmadiyah cabang Sukabumi. Diskriminasi ini diawali oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang dibuat oleh: Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Keputusan bersama dengan nomor 3 Tahun 2008/KEP-033/A/JA/2006/199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat ini menetapkan tujuh poin peringatan dan perintah. Intinya, SKB ini berisi tentang larangan jemaat untuk menyebarkan pemahaman Ahmadiyah.
Tahun 2016, delapan tauhun pascapembakaran masjid, jemaat berencana akan merenovasi masjid yang sudah lama terbengkalai. Namun niatnya itu terhalang. Baru saja merenovasi bagian tembok, sudah datang surat dari Satpol PP untuk menghentikan rencana renovasi tersebut. Akhirnya renovasi pun urung.
Bertahun-tahun warga Ahmadiyah tak memiliki masjid, setelah puluhan tahun sebelumnya mereka memilikinya dan bisa beribadah dengan tenang.
Baca Juga: Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan
Membincangkan Ahmadiyah untuk Menumbuhkan Empati dan Mematahkan Bias
Deretan Kasus Penyegelan Masjid-masjid Ahmadiyah di Jawa Barat dalam 10 Tahun Terakhir
Serupa tapi Tak Sama
Tindakan diskrimnasi tidak hanya dialami oleh jemaat Ahmadiyah. Masyarakat minoritas seperti penghayat kepercayaan juga kerap menerima tindakan diskriminasi. Minimnya pemahaman terkait Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) di masyarakat menjadi salah satu faktornya.
Hal tersebut dialami oleh Wiwin Windu, seorang perempuan penghayat kepecayaan. Dia bercerita awal mula mendapat tindak disriminasi terjadi saat duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK). Pelakunya adalah guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Saat itu, tahun 1997 Wiwin sudah menginjak kelas 11. Tindakan yang terduga itu justru datang dari seorang tenaga pendidikan, bahkan yang mengajar di mata pelajaran tentang kepancasilaan. Wiwin bercerita bahwa saat itu dirinya ditanyai di dalam kelas tentang kepercayaannya.
“Kamu teh yang bener agama tuh apa? Kenapa di KTP agama kamu Islam, tapi kamu ga mengakui agama kamu?” ujar Wiwin, menirukan pembicaraan gurunya kepada BandungBergerak, Kamis, 21 November 2024. Untungnya setelah Wiwin menjelaskan tentang keyakinannya, guru itu langsung mengerti.
Bukan hanya di lingkup sekolah saja Wiwin merasakan tindakan diskriminasi. Dua tahun lalu, Wiwin yang aktif di komunitas mendongeng Sunda pernah mendapatkan tindakan diskriminasi. Kali ini datangnya dari tetangga.
Saat itu, dia dan beberapa komunitas akan melaksanakan sebuah perhelatan acara pentas. Izin dari RT/RW sudah dia kantongi. Namun justru tindakan itu datang dari warga yang menurut Wiwin adalah sesepuh kampungnya.
Saat perhelatan tersebut, diskriminasi berbentuk sabotase itu dirasakan Wiwin. Sound system dimatikan. Anak-anak dihasut untuk tidak menonton perhetalan acara tersebut.
“Sampe disabotase sound systemnya, sampe disabotase ke anak-anaknya yang bilang udah jangan nonton dongengnya si mbu dan segala macemnya,” ungkap Wiwin.
Bukan hanya sekadar pentas, saat itu juga komunitas Wiwin berokolaborasi dengan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Dalam acaranya, GKP beniat akan mengirimkan beras untuk para warga. Lagi-lagi hasutan itu terdengar ke telinga warga agar tidak menerima beras tersebut.
“Terus kata orang-orang tuh bilang jangan diterima, bisi dikristenisasi,” terang Wiwin. “Mau duduk di kursi yang asalnya mau dipinjemi jadi enggak ada,” lanjutnya.
Bagi Wiwin dirinya sudah kebal dengan tindakan tersebut. Bahkan umpatan verbal yang sering diterimanya seperti ucapan ‘kafir’ sudah terbiasa diterimanya. “Karena udah jadi makanan sehari-hari jadi udah biasa,” ungkapnya.
Merujuk pada data Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2022 ada 117.412 penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan. Jumlah tersebut setara dengan 0,04 persen dari populasi Indonesia sebanyak 227,75 juta jiwa. Hal tersebut menyusut dari tahun 2021 sebanyak 126.515 jiwa.
Sedangkan di Jawa Barat sendiri angka penurunan penghayat kepercayaan sangat besar. Pada tahun 2013 jumlah penghayat kepercayaan mencapai 9.963 orang dan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada pada tahun 2022 jumlah penghayat semakin menyusut sebanyak 3.264 orang. Sedangkan pada tahun 2023, tercatat kenaikan meski tidak signifikan, menjadi 3.275 orang.
Jumlah Pelanggaran KBB
Melansir dari laman Setara Institute, sepanjang tahun 2023 data pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan diduduki oleh Provinsi Jawa Barat dengan 47 pelanggaran. Hal tersebut menggeser Provinsi Jawa Timur yang pada tahun 2022 menduduki peringkat pertama.
Sementara itu, untuk Jawa Timur ada 29 peristiwa, DKI Jakarta 19 peristiwa, Sumatera Utara 17 peristiwa, Jawa Tengah dengan 14 peristiwa, dan Sulawesi Selatan dengan 11 peristiwa. Data pelanggaran tersebut dialami oleh enam korban dari berbagai aliran kepercayaan.
Umat Kristen dan Katolik menduduki peringkat pertama dengan (54 peristiwa), individu (26 peristiwa), warga (25 peristiwa), pengusaha (23 peristiwa), Jemaat Ahmadiyah Indonesia (6 peristiwa), dan Muhammadiyah (10 peristiwa).
Sementara itu, enam tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan oleh aktor nonnegara mencakup intoleransi (26 tindakan), penolakan tempat ibadah yang existing (18 tindakan), penyesatan (17 tindakan), penolakan pendirian tempat ibadah (14 tindakan), pelarangan ibadah (11 tindakan), dan pelaporan penodaan agama (10 tindakan).
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel lain tentang Toleransi Antarumat Beragama