• Opini
  • Badui dan Baduy, serta Narasi-narasi Lian tentang Orang-orang Kanekes

Badui dan Baduy, serta Narasi-narasi Lian tentang Orang-orang Kanekes

Kita harus siap berhadapan dengan wacana-wacana lian bahkan liar ketika mengkaji baduy. Sebuah gejala umum untuk meromantisasi sebuah kelompok yang dianggap eksotis.

Hady Prastya

Peneliti independen naskah kuna dan folklor Sunda

Ki Pantun atau Ayah Anirah yang sedang membuat ilustrasi sisir kayu yang digunakan untuk ritual di Baduy. (Foto: Hadi Prastya)

4 Desember 2024


BandungBergerak.id – Penglihatan saya agak sedikit canggung ketika melihat kata “baduy” dieja dengan “badui” di salah satu tulisan terbaru tentang orang-orang yang sebagian besar tinggal di wilayah Desa Kanekes itu. Setelah memeriksa KBBI daring ternyata dalam kamus yang otoritatif ini “badui” dianggap paling sahih. Tak kalah menarik adalah dua pemeriannya, pertama “n. suku bangsa pengembara di tanah Arab”, kedua “1. n. suku bangsa yang mendiami daerah Rangkasbitung dan Pandeglang, Banten; 2. n dialek bahasa Sunda yang dituturkan oleh suku Badui”. Dari hal ini memunculkan hasrat saya untuk melihat-lihat kata badui dalam kamus tersebut. Barangkali saja menemukan kejutan lain, yang lebih menggelitik.

Muncullah lema yang menurut saya pemeriannya cukup menarik seperti baduy luar yang diperikan “suku bangsa yang umumnya beragama Islam, lebih terbuka terhadap masyarakat di luar Badui”, Sunda Wiwitan “1. n kepercayaan suku Badui yang memuja Batara Tujuh dan roh nenek moyang serta dewi padi; 2. n ajaran atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Badui sebagai pedoman berperilaku dan pelindung diri dari pengaruh modernisasi”, Sunda buhun “bahasa yang dituturkan oleh suku Badui di Provinsi Banten”, dangka “n. suku Badui yang sudah banyak meninggalkan adat istiadat dan sering melakukan pelanggaran adat”.

Kecuali bahwa tanah ulayat orang Baduy terletak di kabupaten Pandeglang, untuk hal lain saya tidak akan menyalahkan. Barangkali saja penyusun kamus memiliki sudut pandang lain. Seperti menyebut kabupaten dengan kecamatan yang jadi ibu kotanya, saya kira hal yang lumrah dalam percakapan sehari-hari. Makanya penyebut Kabupaten Lebak dengan Rangkasbitung, tak keliru-keliru amat, karena Rangkas memang kecamatan ibu kota Lebak. Sebagai ujung paling barat dari pemberhentian kereta KRL, tentunya penyebutan Rangkasbitung lebih mudah dikenal daripada Lebak.

Begitu pula dengan ejaan “badui” tak perlu dipermasalahkan, lantaran dalam pedoman pembentukan istilah juga vokal rangkap “uy” dalam bahasa daerah harus ditulis “ui”. Hanya saja, dari jaman Belanda sampai saat ini para peneliti banyak menggunakan ejaan “baduy”.

Baca Juga: Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata
Menemukan Wahyu Wibisana
Si Paling Nyunda, Absurditas Aksara Sunda Baku dan Jejak Nahas Gerak Politik Orang Sunda

Etimologi Kata

Perkara etimologi kata baduy sebenarnya cukup menarik, salah satunya adalah pendapat Husein Djajadiningrat yang dicatat oleh Barend van Trich Levende Antiquiteiten in West-Java:

“Kendati begitu, Prof. Hoesein Djajadiningrat dengan begitu baik dan santunnya menjelaskan pada penulis bahwa tafsiran tersebut (yakni menyebut bahwa baduy berasal dari bahasa Arab: badoewi pen.) dari sudut pandang ilmu bahasa maupun sejarah tidak mungkin benar. Dari sudut pandang ilmu bahasa adalah keliru karena bahasa Sunda mengenal dan menggunakan akhiran oej, sehingga berubahnya oewi menjadi oej tidaklah masuk akal dan mungkin terjadi. Dari sudut pandang sejarah juga keliru karena para penakluk berasal dari Jawa, yang dalam bahasa mereka tidak mengenal akhiran kata oej dan juga karena istilah Badoewi semasa peperangan-penaklukan panjang itu tidak mungkin merupakan bagian dari khasanah kata bahasa Jawa.”

Baru-baru ini buku Van Trichtbter sebut diterjemahkah ke bahasa Indonesia dengan judul yang cukup menarik Kehidupan Masyarakat Tradisional di Jawa Barat. Kutipan di atas saya ambil dari versi terjemahan ini.

Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa sebutan “baduy” untuk orang Baduy itu bersifat merendahkan, mereka berpendapat sebaiknya menyebut orang Baduy dengan sebutan orang “Rawayan” saja. Tapi ketika saya menanyakan hal ini pada salah satu tetua di Baduy, tampaknya sebutan “orang Rawayan” ini yang malah membuat mereka sedikit tersinggung.

Sebutan orang Rawayan untuk orang Baduy sudah tercatat oleh Jonathan Rigg dalam A Dictionary of the Sunda Language of Java di abad ke-19. Jasinga tempat kediaman Rigg memang dekat dengan wilayah Pancer Pangawinan atau Kasepuhan Banten Kidul. Kiranya ia mendapat kata ini dari orang Pancer Pangawinan tersebut yang sampai saat ini pun kadang menyebut orang Baduy dengan orang Rawayan.

Wilayah Pancer Pangawinan cukup luas, di sebelah barat wilayah mereka ini bisa disebut bersebelahan dengan wilayah ulayat orang Baduy. Tapi, meski bertetangga saya melihat ada gelagat tidak mesra antara dua kesatuan adat ini. Mungkin lantaran itu najan sama-sama melaksanakan ritual berdasarkan siklus penanaman padi, dalam detail pelaksanaannya cukup. Orang Baduy jangankan berkunjung ke Bogor melewatinya saja terlarang, sedangkan bagi orang Pancer Pangawinan di Bogor justru terdapat tempat-teman keramat dan dalam siklus tertentu mesti diziarahi. Dalam carita pantun Baduy tidak ada penyebutan Siliwangi, meski Pajajaran masih disebut, sebagai tempat berasalnya para menak. Di sisi lain “pajajaran” juga digunakan sebagai kata serapah, karena pajajaran sama artinya dengan setan dan siluman-sileman, begitu kata Judistira Garna dalam Tantu Telu Jaro Tujuh yang ia catat secara verbatim. Malah orang Baduy lebih dekat dengan kesultanan Banten, yang menarik jaro dangka meskipun mereka muslim secara trah mereka lebih dekat dengan leluhur puun, alih-alih orang Baduy luar. (Kampung dangka tempat kediaman jaro tujuh, kecuali kampung Cihulu pada awalnya berada diluar wilayah Kanekes [enklave] sekarang yang masih di luar desa Kanekes tinggal Cibengkung, Nungkulan dan Garehong, adapun Kompol meskipun enklave tidak termasuk dangka. Kampung dangka yang berada di luar desa Kanekes pada mulanya dipangku oleh seorang muslim)

Saya jadi teringat naskah Sunda kuna Carita Parahiyangan dan Amanat Galunggung, dalam kedua naskah ini terdapat intrik-intrik orang Sunda dengan sesamanya. Jadi masa lalu Sunda itu bukan sejenis surga yang lain seperti yang diimajinasikan beberapa orang. Mungkin begitu juga kehidupan masyarakat adat.

Romantisasi Baduy

Seperti wacana ketahanan pangan, jika kita berkunjung ke Baduy kemudian disuguhi nasi yang tidak pera dan keras, kita musti curiga, karena nasi itu bukan berasal dari padi huma. Atau ketika tinggal agak lama di sana kemungkinan kita akan melihat orang Baduy yang memanggul karung beras dari wilayah luar Baduy. Jika memang terjadi swasembada pangan kenapa orang Baduy mesti membeli beras dari luar?

Begitu juga dengan kolenjer yang sering dianggap secanggih astrolabe yang cukup sakti untuk menentukan posisi benda langit. Kolenjer digunakan untuk meramal keberuntungan setiap harinya, dan tidak lebih dari hari dalam satu minggu. Sedangkan untuk menghitung siklus tahunan dan windu orang Baduy menggunakan potongan-potongan lidi. Van Trich sebenarnya sudah menyinggung tentang hal ini, agak aneh karena yang mengglorifikas konlenjer seringkali menggunakan foto kolenjer dari buku Van Tricht.

Bukan hanya pada orang Baduy, tampaknya, bisa disebut sebuah gejala umum untuk meromantisasi sebuah kelompok yang dianggap eksotis. Di Prancis sana, kata Henri Chambert-Loir dalam Bahasa Jawanya Bahasa Prancis, sampai ada bahasa sandi yang terilhami Jawa, di antaranya karena novel imajiner H. de Balzac Voyage de Paris a Jawa. Memang pada awal abad ke-19, paling tidak masyarakat terdidik Prancis, sudah sedikit banyak mempunyai gambaran tentang dunia Nusantara khususnya Jawa, yang dalam ungkapan Pak Henri “Gambaran itu sangat eksotis, dalam arti melukiskan ‘Jawa’ yang ideal itu sebagai sesuatu yang sama sekali lain, asing, dan sekaligus membujuk dan menakjubkan.” Eksotisme ini tampaknya tidak hanya menjangkit orang Prancis saja, termasuk orang-orang yang sudah atau kelak benar-benar menginjakkan kaki di Jawa. Nahasnya dengan imaji itu mereka mendikte orang Jawa supaya menjadi “Jawa yang sebenarnya”.

Hal yang sama mungkin saja terjadi pada tulisan-tulisan tentang dan orang yang meneliti di Baduy. Ini jadi catatan kita ketika mengkaji Baduy bahwa kita harus berhadapan dengan wacana-wacana lian bahkan liar, dan nasib buruk untuk memilah dan menyaring informasi ini rasanya sangat menjengkelkan. Seorang profesor di BRIN Ahmad Najib Burhani dalam tulisannya Baduy di Instagram (Kompas 29 Oktober 2022) menyebut bahwa “ tulisan tentang Baduy itu sudah sangat banyak, bahkan bisa disebut over-studied”. Mungkin ini sindiran karena tulisan dan studi yang baik tak pernah disebut terlalu banyak.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain dari Hadi Prastya, atau tulisan-tulisan lain tentang budaya Sunda

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//