Omzet Pedagang Merosot Drastis sejak Pemagaran dan Relokasi Pasar Ciparay
Kuasa hukum pedagang yang menolak relokasi sudah mengadukan permasalahan Pasar Ciparay ke Komnas HAM dan Kementerian Hukum dan HAM.
Penulis Yopi Muharam6 Desember 2024
BandungBergerak.id - Seorang pria berambut pirang duduk di atas bangku menunggu konsumen Pasar Ciparay, Kabupaten Bandung. Di hadapan juru parkir ini lima motor terparkir rapi. Sementara di antara pagar seng tampak celah yang dipakai orang untuk berlalu-lalang keluar masuk pasar.
Revitalisasi Pasar Ciparay yang dimulai dengan penutupan area pasar dengan pagar seng tidak hanya menurunkan pendapatan para pedagang yang bertahan, melainkan dikeluhkan juga oleh juru parkir. Rey, sang juru parkir (bukan nama sebenarnya), menyebut pendapatannya terjun bebas sejak pemagaran sekeliling pasar, Kamis, 28 November 2024.
Sebelum pemagaran dilakukan, Rey biasa mengantongi 200-250 ribu rupiah per hari. Sekarang untuk mencapai 100 ribu saja, Rey sudah kesusahan. Belum lagi harus setor ke pihak Dinas Perhubungan (Dishub), sebab Rey memanfaatkan bahu jalan untuk parkir motor konsumen.
Dia tidak sendiri. Ada dua kakaknya yang juga menjadi petugas parkir. Selama seminggu lebih, dirinya tetap bertahan di antara pasar Ciparay yang akan segera direvitalisasi.
“Ayeuna mah meunang 100 teh acan kapotong ku setoran. Ai kangge sapopoe artos 100 rebu mah teu karasa seepna,” ujar Rey, kepada Bandung Bergerak saat memarkirkan motor, Kamis, 5 Desember 2024.
Rey merupakan warga Ciparay. Sudah belasan tahun dia mengikuti jejak sang kakak menjadi juru parkir Pasar Ciparay. Dampak dari pemagaran ini sangat terasa bagi pemasukannya.
“Pami ngandelkeun di toko emas hungkul, da moal nutupan, a,” lanjutnya. Rey menjaga parkir dalam radius 20 meteran dari ujung jalan pasar hingga pertengahan jalan. Kiri-kanan bahu jalan menjadi wilayahnya untuk menertibkan parkir, termasuk di toko mas.
Di dalam pasar, para pedagang masih sibuk membersihkan barang dagangannya. Ada yang baru membongkar barang-barangnya. Ada juga yang sedang membongkar rolling door untuk dipindahkan ke tempat barunya di pasar sementara Cijagur (tempat relokasi).
Dari arah pintu depan, mobil maskara digunakan aparatur desa untuk membantu para pedagang memindahkan barangnya ke pasar Cijagur. Para pedagang juga dibantu linmas desa agar pemindahan ini cepat selesai.
Dua puluh meter dari mobil maskara, motor triseda tengah bersiap berangkat menuju pasar relokasi. Di atas motor roda tiga ini sudah banyak tumpukan besi yang baru dibongkar dari salah satu penjual baju. Suara bising bongkaran mengisi riuh Pasar Ciparay. Para pedagang juga sibuk memindahkan barang dagangan menggunakan roda, motor, hingga berjalan.
Di ujung koridor pasar, seorang pria berjalan terburu-buru. Peluh membasahi punggung pria itu. Air yang menetes di dahinya segera dia elap menggunakan tangannya. Pria itu adalah Jeje, 40 tahun (bukan nama sebenarnya).
Jeje merupakan penjual berbagai macam air mineral hingga minuman berasa. Sudah 10 tahun dia berjualan di Pasar Ciparay. Jualanya merupakan warisan turun-temurun keluarga. Jeje generasi ketiga setelah kakeknya berjualan sebelum Pasar Ciparay diresmikan.
Jeje salah satu pedagang yang merasa keberatan dengan pemagaran dan relokasi. Menurutnya, pemagaran yang dilakukan aparatur desa melanggar ketentuan. Seharusnya, pedagang masih bisa berjualan hingga akhir 2025.
“Jadi kami ini tidak menolak program pemerintah dalam bentuk apapun. Tapi kami ingin disesuaikan dengan aturan yang ada,” ujarnya membuka obrolan. Bagi Jeje pemagaran ini ilegal. Sebab pemagaran hanya dilakukan sepihak oleh aparatur Desa saja. Menurutnya hal yang paling legal dalam pemagaran ketika adanya keputusan dari pengadilan.
Bukan tanpa alasan Jeje menentang keras pemagaran ini. Dengan sisa waktu 10 bulanan, hal itu bisa dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mendapatkan pundi-pundi dari berjualan. Sejak pemagaran ini dilakukan, omzetnya terus menurun. Bahkan sudah dua hari dia tidak berjualan. Sebab pasar sudah resmi ditutup pada Selasa 3 Desember kemarin.
Setelah penutupan menggunakan pagar, masyarakat banyak berasumsi bahwa pasar Ciparay sudah tutup. Padahal menurut Jeje, sebagian pedagang masih berjualan di dalam. “Kan ada tulisan yang pindah ke Cijagur kan itu ga semua. Hanya sebagian orang yang pindah ke Cijagur,” keluhnya.
Jeje menegaskan dirinya tidak akan mengikuti perintah aparatur desa untuk pindah ke pasar Cijagur. Dia akan berjualan di rumah atau menyewa kios di sekitaran pasar. “Enggak. Saya mau berhenti dulu jualan,” terangnya.
Titimangsa Takdir
Tidak jauh dari kios Jeje, dua orang muda tengah sibuk merapikan barang dagangannya. Di lantai kios berukuran 2,5 x 2,5 itu, sisa kardus menumpuk berantakan. Mereka adalah kakak beradik yang berjualan di kios orang tuanya. Memang kebanyakan pedagang di sini merupakan bisnis turun-temurun dari orang tuanya.
Peluh terus mengalir di antara kening mereka. Tidak ada wajah semringah di antara mereka. Nada bicaranya sangat pelan. Sesekali mereka mengestafetkan barang berupa ciki-cikian yang baru ditata menggunakan tali rafia.
Salah satu di antara mereka menyambut Bandung Bergerak. Dia adalah Anggi Tegar (27 tahun). Sudah 7 tahun dia mengikuti jejak ibunya berjualan warung grosir. Jika ditotalkan keluarganya sudah berjualan selama 35 tahun dari sang kakek. Kini hanya dia berdua yang tengah sibuk membereskan barang dagangannya sebelum pasar itu akan direvitalisasi.
Tegar berjalan keluar. Dia berdiam di antara tiang kiosnya. Badanya dibiarkan menyender di antara tiang tersebut. Rasa kekecewaan terhadap pemerintah desa menyelimuti hatinya. “Merasa kecewa sih. Merasa dirugikan ongkoh,” keluhnya ketika ditanya terkait pemagaran pasar.
Sejak pemagaran ini dilakukan beberapa waktu lalu, omzetnya kian merosot sebesar 60 persen. Sama seperti Jeje, Tegar sudah tidak berjualan dua hari pascapenutupan pasar. Biasanya dia berjualan dari pukul 3 subuh hingga pukul 10 siang. Sebelum pemagaran, omzetnya sehari bisa tembus 8-9 juta rupiah. Pascapenutupan keuntungannya langsung terjun drastis.
Ketika ditanya mengenai pemindahan ke pasar Cijagur, dia menjawab seperti Jeje. Dia tidak akan berpindah ke pasar relokasi yang disediakan oleh pemdes. Kendati diberitakan bahwa pindah ke pasar relokasi gratis, Tegar meragukannya. “Kan digembor-gemborkan gratis. Tapi kalau udah pindah pasti tetap bayar,” ujarnya.
Untuk mengatasi merosotnya penjualan, sejak dua hari yang lalu Tegar berjualan di rumah secara online. Ketika ada pelanggan yang hendak belanja, Tegar menggunakan sistem cash in delivery (COD). “Jadi ntar pelanggan nunggu di depan (pasar) untuk mengambil barang,” terangnya.
Imbas dari pemagaran pasar membuat banyak pelanggan Tegar yang pindah belanja. Akan tetapi dia terus menghubungi para pelanggan menggunakan gawainya. “Sekarang misalnya pelanggan tetap dikasih nomor WA, kadang tos kanu sanes, kadang teu aya nu nga-WA,” jelasnya.
Baca Juga: Pedagang Pasar Ciparay Berjualan di antara Kepungan Pagar Seng
Harga Kios Hasil Revitalisasi Pasar Ciparay Mahal, Memberatkan Para Pedagang
Kesepakatan di Balik Meja
Di kawasan pasar Cijagur nampak sudah ramai pedagang. Berbeda halnya saat BandungBergerak mengunjungi pasar relokasi itu pada Senin, 2 Desember lalu. Mobil bak, motor triseda, hingga mobil kapsul memadati pelataran pasar relokasi. Mereka, para pedagang, tengah membersihkan lapaknya masing-masing.
Tidak berbeda jauh dengan yang ada di Pasar Ciparay. Suara bising mengisi seluruh bangunan. Bedanya banyak abu mengepul di tiap koridor. Di pojok kiri pasar tersebut berdiri sebuah bangunan semi permanen yang dijadikan kantor Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Di dalamnya ada lima meja kantor berjejer berseberangan.
Di tengah meja sebelah kanan, seorang pria baru saja duduk melepaskan topi fedoranya dan diletakan di atas meja. Pria setengah baya itu adalah Zaenal Mutaqin. Mutaqin dipercaya kepala desa untuk menjadi ketua tim kerja relokasi dan revitalisasi Pasar Ciparay.
Akhir-akhir ini dirinya sangat sibuk. Antara harus koordinasi dengan pemerintah desa dan menerima keluhan dari para pedagang terkait permasalahannya ketika direlokasi. Dia sangat terampil dalam berbicara dan mampu meyakinkan para pedagang yang datang mengeluh kepadanya.
“Pemagaran ini sebenarnya bukan pemagaran serta merta kami lakukan. Jadi kami lakukan sudah panjang dengan timeline yang udah direncanakan hampir 7 bulan dari rencana awal,” terang Mutaqin, menjelaskan terkait permasalahan pagar yang mengelilingi pasar.
Dia meluruskan, pemagaran ini justru datang dari pihak pedagang. Para pedagang yang diwakilkan oleh Ikatan Warga Pasar Ciparay (IWPC) dan himpunan Pedagang Lapak (Himpala) mendesak agar pemerintah desa segera melakukan relokasi pasar. Salah satunya dengan memagar seluruh pasar.
“Mereka meminta ketegasan dari pemerintahan Ciparay untuk memagar area pasar yang akan direvitalisasi, sehingga ketegasan pemerintah itu ada, bahwa revitalisasi pasar ini akan dijalankan,” ujarnya.
Hal itu dibenarkan oleh Jajang, pedagang makanan basah sekaligus pedagang yang menjadi tim pendataan relokasi. “Saya pelaku yang meminta tanda tangan dari warga pasar dalam pemagaran pasar,” ujarnya saat dihubungi kembali, Kamis 6 Desember 2024.
Bukan tanpa alasan, menurut Jajang sejak bulan September lalu, sudah banyak pedagang yang membongkar kiosnya untuk pindah ke pasar relokasi. Hal tersebut yang menjadi alasan IWPC dan Himpala mendesak pemdes untuk segera melakukan tindakan tanggap dalam revitalisasi pasar.
“Warga meminta sendiri supaya secepatnya dipagar, karena pada umumnya semua warga ingin segera pindah ke lokasi TPPS (Tempat Penampungan Pedagang Sementara) dengan alasan banyak warga pasar yang sudah membongkar kios dan lapaknya secara mandiri tanpa paksaan dari siapa pun,” lanjut Jajang.
Sementara itu, kuasa hukum pedagang yang menolak relokasi, Sachrial (54 tahun) menyayangkan dengan tindakan yang dianggap tergesa-gesa untuk memagar dan merelokasi pedagang. Baru-baru ini dirinya sudah mengadukan permasalahan relokasi dan pemagaran pasar ke Komnas HAM dan Kementerian Hukum dan HAM. Menurut Sachrial pemdes seharusnya menunggu keputusan dari dua lembaga tersebut.
“Jangan langsung bertindak karena lembaga-lembaga negara ini sedang dalam proses pengkajian,” ujarnya. “Jangan langsung bertindak hingga membuat warganya kehilangan penghidupan yang layak,” lanjutnya.
Saat ini yang menjadi pegangan pedang pasar Ciparay adalah SK Bupati Bandung tertanggal 10 Juni 1997 No. 511.2/SK.205A- Dippas/1997 tentang penetapan hak guna pakai yang dihitung setelah pasar didirikan pada tahun 2000. Menurut SK tersebut, Sachrial menerangkan berakhirnya hak guna pakai harusnya tahun 2025. “Secara perdata Pemkab dan para pedagang terikat ini,” terangnya.
Terkait hak guna pakai, Mutaqin meluruskan permasalahan tersebut. Menurutnya SK yang dijadikan landasan para pedagang bukan termasuk agunan. Tetapi lebih ke izin pemakaian kios/lapak, dan itu menurutnya adalah ketentuan yang sudah ditetapkan dari desa.
Lebih dari itu, Mutaqin menyebutnya sebagai pemutihan izin pemakaian kios/lapak dari pembangunan. “Maka dengan adanya pemanjangan itu para pedagang harus berterima kasih kepada pemdes,” tuturnya.
*Kawan-kawan yang baik, solakan tengok berita-berita yang ditulis Yopi Muharam, atau tentang Pasar Tradisional