MAHASISWA BERSUARA: No Viral No Justice, Kekuatan Moral di Era Media Sosial
Kemarahan publik mengungkap ketidakpuasan terhadap pelanggaran norma, juga menjadi alat efektif untuk mendesak keadilan melalui tekanan sosial yang masif.
Albi Abdullah M. Z.
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
6 Januari 2025
BandungBergerak.id – Kini kita hidup di era media sosial. Adanya platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X memberi tempat kepada untuk mem-posting, membagikan, dan menulis tentang apa pun yang disukai oleh pengguna.
Media sosial menyediakan berbagai macam hal yang bisa dinikmati oleh penggunanya mulai dari berita atau informasi penting sampai video lucu untuk sekedar menghibur. Salah satu informasi atau berita yang akan menjadi fokus tulisan ini adalah berita atau informasi viral. Informasi viral adalah informasi yang dibagikan, disukai, dan dibahas oleh banyak orang.
Viral yang akan dibahas di tulisan ini tidak sekadar viral. Viral yang akan dibahas berkaitan dengan ketidakpuasan masyarakat atas institusi penegak hukum. Ada hubungan yang berbanding lurus antara tingkat keviralan suatu masalah dengan semakin cepatnya aparat penegak hukum menangani masalah tersebut. Hubungan ini lebih dikenal dengan istilah No Viral No Justice
Beberapa contoh dari hubungan berbanding lurus misalnya kasus seorang karyawati toko roti di Cakung, Jakarta Timur, berinisial DAD (19) yang mengalami penghinaan verbal dan penganiayaan oleh anak pemilik toko berinisial GHS. Persoalan bermula Ketika George (GHS) meminta DAD untuk mengantarkan makanan ke kamar pribadinya.
Permintaan itu ditolak oleh DAD karena itu bukan tugasnya. Menanggapi penolakan tersebut George melakukan penghinaan verbal dengan menyebut DAD sebagai orang miskin. Dia bahkan dengan berani menyatakan bahwa dirinya kebal hukum. Tidak berhenti di situ, dia melakukan kekerasan fisik dengan melemparkan barang-barang yang mengakibatkan DAD mengalami luka. Meskipun korban telah melaporkan kejadian tersebut, penanganan kasus oleh aparat hukum berjalan lambat. Baru setelah video penganiayaan tersebut viral di media sosial, pihak berwenang mengambil tindakan tegas dengan menangkap pelaku (Tempo.co, 2024)
Kasus lainnya adalah penembakan seorang siswa SMK Negeri 4 Semarang oleh anggota polisi Bernama Robig Zaenudin. Pada awalnya polisi menyimpulkan bahwa penembakan tersebut terjadi karena korban yaitu Gamma Rizkynata Oktafandy sedang terlibat dalam tawuran. Lalu Robig melepaskan tembakan dengan tujuan melerai tawuran tersebut.
Keterangan yang diungkapkan polisi terasa janggal menurut sebagian besar warganet. Ditambah lagi mempertimbangkan fakta bahwa korban merupakan seorang siswa yang terkenal berprestasi dan berperilaku baik, jadi sangat tidak mungkin untuk terlibat dalam tawuran. Kejadian ini menarik perhatian banyak pihak. Sejumlah elemen yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Semarang pun menuntut kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut dan melalukan penyeledikan ulang secara menyeluruh agar mendapat hasil yang objektif (Kompas.id, 2024)
Dari dua kasus di atas kita bisa menemukan satu benang merah bahwa jika kasus tersebut tidak dibagikan di media sosial dan tidak mendapatkan perhatian publik secara luas, kasus tersebut kemungkinan besar tidak akan ditangani secara serius oleh pihak penegak hukum. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kedua berita atau informasi di atas menjadi viral? Kenapa seseorang cenderung membagikan kedua informasi tersebut? Apa motif psikologis dan emosinal di baliknya?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Manfaat Mengasah Pengenalan Pola Melalui Harmoni, Akor, dan Melodi
MAHASISWA BERSUARA: Bersiasat Menghadapi Otomatisasi Sektor Manufaktur
MAHASISWA BERSUARA: Kenaikan PPN 12 Persen, Bukti Apatisme Politik?
Mengapa Informasi Tertentu Viral?
Untuk menjelaskan alasan kenapa informasi atau berita tertentu bisa viral menarik untuk melihat penelitian yang dilakukan oleh Jonah Berger (2012) dengan judul “What Makes Online Content Viral?”. Penelitian ini memberikan penjelasan mendalam tentang alasan di balik viralitas konten dan bagaimana emosi memengaruhi penyebaran informasi secara online.
Penelitian Berger dan Milkman dilakukan dengan mengumpulkan data dari hampir 7.000 artikel yang dipublikasikan di situs The New York Times selama tiga bulan. Setiap artikel diamati apakah berhasil masuk dalam daftar "most emailed" di situs tersebut. Para peneliti menganalisis berbagai karakteristik artikel, termasuk apakah kontennya mengandung emosi positif atau negatif, dan seberapa kuat emosi itu dirasakan oleh pembaca (Jonah Berger, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konten yang membangkitkan emosi dengan tingkat aktivasi tinggi (seperti kekaguman, kemarahan, atau kecemasan) lebih cenderung menjadi viral dibandingkan konten yang menimbulkan emosi dengan tingkat aktivasi rendah (seperti kesedihan).
Untuk menguji temuan ini lebih lanjut, Berger dan Milkman melakukan tiga eksperimen terkontrol. Pada eksperimen pertama, mereka menguji efek kesenangan (amusement) dalam sebuah cerita tentang iklan Jimmy Dean Sausages. Versi cerita yang lebih lucu ternyata lebih sering dipilih untuk dibagikan oleh para peserta dibandingkan versi yang kurang lucu. Ini menunjukkan bahwa emosi positif yang menghibur dapat mendorong seseorang untuk berbagi konten.
Eksperimen kedua fokus pada kemarahan (anger) dengan menggunakan cerita nyata tentang pengalaman buruk pelanggan dengan maskapai United Airlines. Versi cerita yang lebih menggambarkan ketidakadilan dan kemarahan pembaca cenderung lebih sering dibagikan dibandingkan versi yang kurang memprovokasi emosi. Ini menegaskan bahwa emosi negatif dengan tingkat aktivasi tinggi, seperti kemarahan, juga memiliki kekuatan besar dalam mendorong penyebaran konten.
Eksperimen terakhir menguji kesedihan (sadness) sebagai emosi dengan tingkat aktivasi rendah. Peserta membaca dua versi cerita tentang seseorang yang terluka; versi cerita yang lebih menyedihkan ternyata kurang mungkin dibagikan dibandingkan versi yang netral. Penemuan ini menegaskan bahwa emosi dengan tingkat aktivasi rendah cenderung menghambat keinginan seseorang untuk membagikan informasi.
Analisis regresi dalam penelitian ini menguatkan bahwa tingkat aktivasi emosi merupakan faktor penting dalam viralitas. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konten yang membangkitkan emosi dengan aktivasi tinggi (amusement, anger) lebih mungkin dibagikan. Konten yang membangkitkan emosi dengan aktivasi rendah (sadness) lebih jarang dibagikan.
Jika kita menghubungkan penelitian Berger dan Milkman dengan dua kasus viral di atas, kita bisa mengetahui bahwa salah satu faktor penting yang menyebabkan berita tersebut menjadi viral adalah karena membangkitkan kemarahan publik. Kemarahan publik yang muncul melalui media sosial berhasil memaksa institusi penegak hukum untuk bertindak lebih cepat.
Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa publik marah? Salah satu faktor utamanya adalah apa yang disebut sebagai moral outrage. Moral outrage merupakan respons emosional yang melibatkan dimensi individu dan sosial terhadap pelanggaran norma sosial yang dilakukan oleh pihak tertentu. Dalam kedua kasus viral yang disebutkan di atas, pihak kepolisian dan George melanggar norma sosial yaitu membunuh serta merendahkan orang lain.
Penelitian oleh Crockett (2017) menunjukkan bahwa moral outrage lebih kuat dipicu oleh pelanggaran norma yang ditemukan secara online dibandingkan dengan pelanggaran yang disaksikan langsung atau melalui media tradisional​. Dalam eksperimen, peserta lebih sering melaporkan kemarahan moral terhadap tindakan tidak bermoral yang mereka pelajari melalui internet daripada yang mereka saksikan sendiri. Temuan ini relevan dalam kasus Gamma dan karyawati toko roti, di mana berita tentang ketidakadilan menjadi viral karena disebarkan secara online, memicu moral outrage yang massif (Crockett, 2017).
Penelitian lain juga menunjukkan dan memperkuat bahwa emosi yang melibatkan pelanggaran moral memiliki kemungkinan lebih cepat untuk viral. Kemarahan adalah emosi dengan tingkat aktivasi tinggi, artinya emosi ini mendorong seseorang untuk bertindak. Ketika seseorang merasa marah, mereka cenderung terdorong untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi yang dianggap tidak adil atau melanggar norma (Brady W. J., 2017)
Tindakan yang bisa dilakukan oleh pengguna media sosial salah satunya adalah membagikan berita tersebut. Studi yang sama menunjukan bahwa pesan yang menggunakan kata-kata moral-emosional memiliki peningkatan 20% dalam tingkat retweet. Hal ini menunjukkan bahwa kemarahan, sebagai emosi moral yang sering digunakan untuk merespons pelanggaran norma, memiliki kekuatan luar biasa dalam mendorong penyebaran pesan (Brady W. J., 2017).
Kesimpulannya adalah yang menjadi penyebab viralnya kedua konten di atas karena membangkitkan kemarahan publik. Kemarahan publik terjadi karena adanya norma yang dilanggar. Kasus seperti penembakan Gamma Rizkynata Oktafandy dan penganiayaan karyawati toko roti di Jakarta Timur menunjukkan bahwa respons institusi terhadap pelanggaran norma sosial sering kali baru terjadi setelah berita tersebut viral di media sosial. Hal ini didukung oleh temuan penelitian yang menunjukkan bahwa moral outrage dan penggunaan bahasa moral-emosional secara signifikan meningkatkan penyebaran informasi secara online. Kemarahan publik tidak hanya mengungkap ketidakpuasan terhadap pelanggaran norma, tetapi juga menjadi alat efektif untuk mendesak keadilan melalui tekanan sosial yang masif.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara