• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Penegakan HAM sebagai Kunci Peningkatan Derajat Perempuan di Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Penegakan HAM sebagai Kunci Peningkatan Derajat Perempuan di Indonesia

Perlindungan pada hak-hak perempuan masih menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari stigma sosial, akses hukum yang terbatas, hingga kurangnya kesadaran masyarakat.

Sabiya Amira Riani

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Mencegah perundungan ataupun kekerasan di sekolah belum diatur payung hukum yang tegas. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

8 Januari 2025


BandungBergerak.id – Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2023) tercatat mencapai 26.161 kasus. Angka tersebut meningkat 4,4% dibandingkan tahun 2022 yang tercatat 25.053 kasus. Riset Komnas Perempuan kekerasan terjadi pada berbagai rentang usia dapat menjadi korban pelanggaran HAM di Indonesia, namun kelompok usia 15-24 tahun cenderung paling rentan terhadap kekerasan. Peneguhan hak asasi manusia sangat penting untuk meningkatkan derajat perempuan dengan membantu perempuan terbebas dari segala kekerasan yang terjadi. 

Kekerasan terhadap perempuan, dijelaskan dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan 1993 sebagai sebuah tindakan yang berlandaskan perbedaan gender yang dapat menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, atau psikologis pada perempuan. Di Indonesia sendiri, lembaga yang bersifat independen untuk melakukan tugas melindungi hak asasi perempuan yaitu Komnas Perempuan, yang menjalankan tugasnya dengan berpedoman pada standar HAM perempuan internasional. Untuk melindungi hak asasi perempuan, Indonesia telah menetapkan banyak undang-undang, termasuk Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang- Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).   

Namun kenyataannya, penerapan undang-undang ini masih menghadapi  tantangan, termasuk banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan karena stigma sosial dan ketidakmampuan korban mengakses layanan hukum. Oleh karena itu, diperlukan langkah tambahan, termasuk pelatihan dan konseling bagi perempuan, peningkatan kesadaran masyarakat dan penegak hukum, dan program pembangunan komprehensif bagi korban dan pelaku.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Urgensi Penerapan Hukuman Pidana Berat bagi Sopir Ugal-ugalan sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Fatal
MAHASISWA BERSUARA: Kenaikan PPN 12 Persen, Bukti Apatisme Politik?
MAHASISWA BERSUARA: No Viral No Justice, Kekuatan Moral di Era Media Sosial

Penegakan Hukum sebagai Langkah Krusial

Hukum harus ditegakkan dengan tegas untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditoleransi. Peningkatan infrastruktur serta aksesibilitas layanan, seperti pusat layanan khusus, sangat penting untuk menyediakan layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan, meliputi layanan hukum, kesehatan, dan psikososial. Oleh karena itu, perlu strategi efektif untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan melalui penegakan hak asasi mereka, sehingga kesetaraan dalam hukum dan layanan dapat terwujud dengan baik.

Sebuah rekomendasi yang memfasilitasi perlindungan kepada perempuan ialah CEDAW No.19/1992. CEDAW adalah singkatan dari The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Rekomendasi ini sering digambarkan sebagai undang-undang hak asasi internasional untuk perempuan. Prinsip yang mereka pegang berupa norma-norma tentang standar kewajiban serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. 

Di Indonesia sendiri sudah meratifikasi dengan menjadi salah satu delegasi oleh Komnas Perempuan yang menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui UU. No 7 Tahun 1984 pada 24 Juli 1984. Dalam CEDAW Indonesia tersebut, Komnas Perempuan berkontribusi dengan mencatat berbagai elemen penting, yaitu:

  1. Respons negara dalam mengatasi kasus kekerasan perempuan kurang
  2. terjadinya miopisme, menyatakan bahwa konvensi ini hanya melindungi negara, bukan perempuan di negara tersebut
  3. Komnas Perempuan mengadakan pertemuan-pertemuan penting untuk memastikan pelaksanaan mandat CEDAW.

Dapat diketahui ternyata kasus kekerasan terhadap perempuan dipedulikan di seluruh dunia. Indonesia pun membentuk komite untuk memperjuangkan hak asasi perempuan melalui Komnas Perempuan. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi kesetaraan dalam penegakan hukum terhadap kasus kekerasan perempuan sangat ditegakkan. Namun, terdapat beberapa elemen yang menjadi kelemahan saat akan memberantas kasus ini, di antaranya ialah kurangnya daya tanggap negara sehingga konvensi yang dijadikan undang-undang tersebut menjadi miopisme.

Mengetahui hal tersebut, tidak semua kasus kekerasan terhadap perempuan bisa diselesaikan, sehingga menimbulkan dampak negatif jangka panjang, baik secara psikis maupun fisik. Oleh karena itu,  akses terhadap layanan kesehatan dan dukungan psikososial diperlukan untuk meminimalisir dampak tersebut.

Layanan kesehatan dan dukungan psikososial sangat penting bagi perempuan korban kekerasan untuk mengatasi dampak traumatis. Namun, banyak korban yang kesulitan mengakses bantuan karena berbagai hambatan, seperti kurangnya informasi, stigma sosial, masalah ekonomi, dan keterbatasan akses geografis. Kesetaraan akses terhadap layanan ini menjadi kunci pemberdayaan perempuan, dengan pendekatan yang komprehensif, mencakup terapi psikologis, bantuan hukum gratis untuk mencari keadilan, serta rehabilitasi ekonomi berupa bantuan keuangan. Tanpa akses yang memadai, banyak korban yang terpaksa memendam trauma, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental jangka panjang, seperti kecemasan dan ketakutan berlebihan. Oleh karena itu, kesetaraan layanan ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup korban, serta memberikan kesempatan bagi mereka untuk pulih dan menjadi sumber daya manusia yang lebih baik.

Mengurangi Kekerasan dengan Penegakan HAM

Jika hak asasi perempuan diwujudkan untuk mengurangi kekerasan, maka kesadaran terhadap hukum juga akan meningkat. Kesadaran hukum yang tinggi di kalangan masyarakat dan lembaga penegak hukum sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender tidak hanya membutuhkan kebijakan yang mendukung hak perempuan, namun juga perubahan paradigma dalam sistem hukum yang ada. Hal ini termasuk mengakui bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan harus ditanggapi secara serius oleh semua pihak yang terlibat.

Melindungi hak asasi perempuan mempunyai dampak signifikan dalam mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan secara efektif dapat mengurangi jumlah kasus kekerasan. Pengurangan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan lebih dari sekedar penegakan hukum yang kuat. Perlindungan komprehensif terhadap hak asasi perempuan, termasuk pencegahan kekerasan dan dukungan terhadap korban, merupakan kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi semua perempuan.

Perlindungan ini mencakup akses yang lebih baik terhadap layanan hukum dan dukungan psikologis. Selain itu, seiring dengan semakin sadarnya perempuan akan hak-haknya, mereka akan semakin berani  melaporkan kekerasan yang mereka alami dan menuntut keadilan. Hal ini  memberdayakan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi perempuan.

Perlindungan hak asasi perempuan penting untuk meningkatkan partisipasi sosial dan ekonomi perempuan, terutama mereka yang  secara ekonomi bergantung pada pasangannya. Ketergantungan ini sering kali menghalangi perempuan untuk menghindari kekerasan. Dukungan masyarakat seperti penyuluhan dan pelatihan pada industri kreatif,  dukungan permodalan dan menjalin aliansi bisnis dengan mitra korporasi dapat membantu mencapai kesetaraan gender dan memperluas peluang karier. Industri kreatif dengan fleksibilitas dan inovasinya merupakan sektor strategis dalam pemberdayaan perempuan dan pemenuhan kebutuhan keluarga.

Namun, masih banyak hambatan yang menghadang, seperti terbatasnya peluang pengembangan keterampilan, kurangnya keterampilan digital, kesenjangan upah, dan kesulitan mengakses pembiayaan usaha. Oleh karena itu, perlindungan hak asasi perempuan memerlukan peningkatan kesadaran hukum dan dukungan strategis untuk mengatasi hambatan tersebut. Dalam jangka panjang, perlindungan hak asasi perempuan dapat mendorong perubahan sosial dan menggantikan norma-norma patriarki dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender. Perlindungan ini dapat dicapai melalui partisipasi sosial dan ekonomi perempuan.

Penegakan hukum terhadap kekerasan pada perempuan merupakan langkah krusial untuk melindungi hak asasi perempuan di Indonesia. Meskipun Indonesia telah mengadopsi berbagai undang-undang dan konvensi internasional untuk melindungi hak-hak perempuan, tantangan dalam penerapannya masih tetap besar, terutama terkait dengan stigma sosial, akses hukum yang terbatas, serta kurangnya kesadaran di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat partisipasi aktif dari semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan. Selain itu, dukungan psikososial yang  memadai dan kesetaraan akses terhadap layanan hukum harus menjadi prioritas dalam upaya pemulihan korban kekerasan. Melalui langkah ini, diharapkan kita dapat mewujudkan masyarakat yang lebih adil serta mendorong kesetaraan gender yang sesungguhnya dalam seluruh aspek kehidupan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//