• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ketahanan Komunitas dalam Konflik Agraria, Pelajaran dari Gerakan Pancoran Bersatu dan Masyarakat Dago Melawan

MAHASISWA BERSUARA: Ketahanan Komunitas dalam Konflik Agraria, Pelajaran dari Gerakan Pancoran Bersatu dan Masyarakat Dago Melawan

Konflik agraria di Indonesia mencerminkan kompleksitas perjuangan komunitas lokal untuk mempertahankan hak atas tanah dan akses ke fasilitas dasar.

Salsabila Syaafiaturrohmah Jarlis

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI)

Warga Dago Elos dan Forum Dago Melawan kembali melakukan aksi ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Bandung, Senin, 15 Juli 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

17 Januari 2025


BandungBergerak.id – Indonesia tidak pernah lepas dari persoalan konflik agraria, sebuah isu yang terus membayangi perjalanan pembangunan bangsa ini. Tanah, lebih dari sekadar komoditas ekonomis, adalah urat nadi kehidupan komunitas lokal. Namun, di wilayah perkotaan, masalah ini menjadi lebih kompleks. Kepentingan masyarakat kecil sering kali harus berhadapan dengan kekuatan besar –korporasi, mafia tanah, hingga badan pemerintah–yang tidak jarang mengabaikan hak asasi warga (Silviana et al., 2020; Cahyono et al., 2016).

Konflik di kawasan Dago Bandung dan Pancoran Jakarta mencerminkan bagaimana perebutan ruang hidup menjadi medan pertempuran yang nyata. Di Dago, klaim tanah yang diduga melibatkan mafia dan proyek infrastruktur mengancam hak masyarakat yang telah tinggal di sana selama puluhan tahun. Sebaliknya, di Pancoran, warga menghadapi ancaman penggusuran paksa demi kepentingan komersial. Kedua komunitas ini merespons ancaman tersebut dengan cara yang unik dan relevan terhadap konteks masing-masing, menunjukkan ketahanan luar biasa yang patut dicermati (Nulhaqim et al., 2019). Dago Melawan dan Forum Pancoran Bersatu menjadi simbol perjuangan komunitas dalam mempertahankan hak atas ruang hidup dan akses terhadap fasilitas dasar.

Di Pancoran, Jakarta, konflik agraria muncul akibat rencana penggusuran yang akan membuka jalan bagi pembangunan properti komersial. Langkah ini memicu perlawanan keras dari warga yang berusaha mempertahankan ruang hidup mereka. Sementara itu, di Dago, Bandung, konflik agraria menghadirkan dimensi yang lebih rumit. Proyek pembangunan di kawasan tersebut tidak hanya mengancam hak masyarakat atas tanah, tetapi juga kelestarian lingkungan. Dua gerakan, Forum Pancoran Bersatu dan Dago Melawan, memperlihatkan bagaimana komunitas lokal bangkit untuk menantang kekuatan besar yang mendominasi.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Hukuman Mati Bagi Koruptor Bukan Solusi
MAHASISWA BERSUARA: Standardisasi Gaya Busana di Lingkungan Kampus, Memang Penting?
MAHASISWA BERSUARA: Apakah Akses Internet Seharusnya Menjadi Hak Dasar Masyarakat?

Strategi Gerakan

Pendekatan kedua gerakan ini berbeda dalam banyak hal. Dago Melawan memiliki strategi yang lebih terstruktur dan rapi. Dengan dukungan organisasi masyarakat sipil dan komunitas budaya, mereka menggunakan jalur hukum dan kegiatan berbasis budaya, seperti Festival Kampung Kota, untuk memperkuat posisi mereka. Dukungan ini memberikan daya tawar yang lebih kuat, terutama dalam menghadapi kasus-kasus seperti pemalsuan dokumen agraria (Alif, 2024). Di sisi lain, Forum Pancoran Bersatu masih berada pada fase awal konsolidasi. Warga sering kali bertindak secara mandiri tanpa dukungan struktur organisasi yang kokoh. Meski begitu, upaya seperti rembuk warga dan pengorganisasian ruang komunitas telah membantu mereka membangun kesadaran kolektif yang perlahan mengakar (Lilik, 2024).

Pancoran dan Dago juga menghadapi tantangan yang berbeda. Di Pancoran, ancaman yang dihadapi warga sering kali bersifat langsung dan fisik, termasuk intimidasi dan bentrokan dengan kelompok tertentu, seperti ormas. Sebaliknya, di Dago, perlawanan berjalan lebih simbolik dan terstruktur, dengan pengalaman advokasi yang lebih mapan. Namun, terlepas dari perbedaan ini, solidaritas lokal tetap menjadi inti kekuatan mereka. Solidaritas ini bukan hanya alat untuk bertahan, tetapi juga strategi untuk melawan.

Dukungan dari organisasi seperti LBH dan LSM juga menjadi elemen penting dalam memperkuat perjuangan komunitas lokal di kedua wilayah. Kampanye publik berperan besar dalam menarik perhatian lebih luas terhadap konflik ini, dengan seni dan budaya menjadi media penyampaian pesan yang efektif. Artikel populer ini, mengajukan analisis tentang bagaimana solidaritas komunitas menjadi motor utama dalam menghadapi tantangan agraria. Artikel ini menyoroti tidak hanya aspek perjuangan fisik, tetapi juga bagaimana akses terhadap fasilitas dasar menjadi indikator penting ketahanan komunitas di tengah konflik.

Ketahanan komunitas di Pancoran dan Dago menghadapi tantangan yang berbeda dalam mempertahankan akses terhadap fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan ruang publik (Debora, 2021). Di Pancoran, ketidakadilan akses sering digunakan oleh pihak berkuasa sebagai alat tekanan. Pemutusan akses air dan listrik menjadi bagian dari strategi untuk melemahkan posisi masyarakat dalam mempertahankan tanah mereka (Debora, 2021). Namun, komunitas Pancoran Bersatu merespons dengan membangun solidaritas internal yang kuat, di mana warga saling berbagi sumber daya. Rembuk warga menjadi forum penting untuk mendiskusikan cara bertahan, meskipun kurangnya dukungan hukum dan intimidasi langsung dari aparat menjadi hambatan signifikan (LBH Jakarta, 2023).

Di Dago, ketidakadilan akses lebih berkaitan dengan ancaman terhadap lingkungan hidup dan ruang publik yang berfungsi sebagai fasilitas dasar bagi masyarakat sekitar. Kehilangan akses terhadap sumber mata air alami dan ruang hijau akibat proyek pembangunan menunjukkan bagaimana kebijakan tata ruang lebih menguntungkan investor ketimbang masyarakat. Komunitas di Dago memanfaatkan jalur hukum dan kampanye berbasis budaya untuk mempertahankan fasilitas dasar ini. Festival Kampung Kota menjadi simbol perlawanan sekaligus alat edukasi publik yang mengkritisi kebijakan tata ruang yang tidak adil (Safitri, 2024).

Ketahanan Komunitas

Perbandingan strategi di kedua wilayah menunjukkan bahwa sementara Pancoran lebih fokus pada aksi langsung dan solidaritas kolektif, Dago memanfaatkan pendekatan advokasi hukum dan simbolisme budaya. Kedua pendekatan ini mencerminkan cara komunitas beradaptasi dengan konteks lokal masing-masing dalam menghadapi ancaman yang kompleks.

Pengalaman di Pancoran dan Dago mengajarkan bahwa ketahanan komunitas tidak hanya bergantung pada kemampuan fisik untuk bertahan, tetapi juga pada kemampuan untuk mengembangkan narasi perjuangan yang relevan dengan konteks sosial dan politik. Di Pancoran, narasi tentang kebutuhan dasar seperti air bersih dan listrik digunakan untuk menunjukkan bahwa penggusuran tidak hanya menghilangkan hak atas tanah, tetapi juga mengancam hak asasi manusia (Kompas, 2021). Komunitas berhasil memanfaatkan rasa solidaritas lokal untuk memperkuat posisi mereka dalam menghadapi tekanan dari aparat dan pemodal. Hal ini sejalan dengan pandangan Friedmann (2011) yang menekankan pentingnya narasi dalam memperkuat daya tahan komunitas terhadap ancaman eksternal.

Di Dago, pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa pendekatan berbasis budaya dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menarik perhatian publik yang lebih luas. Dengan mengaitkan isu akses terhadap fasilitas dasar dengan keberlanjutan lingkungan, komunitas Dago berhasil menjadikan konflik agraria mereka relevan tidak hanya bagi warga setempat, tetapi juga bagi masyarakat perkotaan secara umum (Safitri, 2024). Strategi ini menunjukkan bahwa ketahanan komunitas dapat diperkuat dengan menciptakan dukungan lintas batas yang melibatkan pihak eksternal seperti LSM dan media. Pada buku Tsing menyoroti pentingnya "friksi" antara kebijakan global dan perjuangan lokal, yang seringkali membuka ruang bagi solidaritas kolektif yang melampaui batas-batas lokal (Tsing, 2005).

Kedua kasus ini juga menunjukkan adanya kelemahan struktural dalam kebijakan perkotaan yang sering kali tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat kecil. Tanpa perubahan signifikan dalam kebijakan tata ruang dan urbanisasi, konflik agraria seperti ini kemungkinan besar akan terus berlangsung. Pembelajaran dari Pancoran dan Dago menunjukkan bahwa ketahanan komunitas harus didukung oleh kebijakan yang lebih adil, yang tidak hanya menghormati hak kepemilikan, tetapi juga memastikan akses terhadap fasilitas dasar sebagai hak fundamental setiap warga negara. Kebijakan yang lebih inklusif dan berfokus pada hak atas tanah serta akses terhadap sumber daya alam sangat penting untuk menciptakan ketahanan yang lebih adil dalam masyarakat (Peluso & Lund, 2011).

Konflik agraria di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan seperti Pancoran dan Dago, mencerminkan kompleksitas perjuangan komunitas lokal untuk mempertahankan hak atas tanah dan akses ke fasilitas dasar. Meskipun dihadapkan pada kekuatan besar seperti korporasi dan pemerintah, kedua komunitas ini menunjukkan ketahanan yang luar biasa melalui solidaritas lokal dan strategi perjuangan yang sesuai dengan konteks mereka. Di Pancoran, fokus perjuangan lebih pada aksi langsung dan pengorganisasian warga, sedangkan di Dago, pendekatan budaya dan jalur hukum digunakan untuk mempertahankan akses ke fasilitas dasar dan melawan kebijakan tata ruang yang tidak adil. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa ketahanan komunitas dapat diperkuat dengan dukungan eksternal dan kebijakan yang lebih adil, yang menghargai hak-hak dasar setiap warga negara.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//