• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Hukuman Mati Bagi Koruptor Bukan Solusi

MAHASISWA BERSUARA: Hukuman Mati Bagi Koruptor Bukan Solusi

Praktik manipulasi sistem peradilan akan menimbulkan akibat yang semakin destruktif apabila hukuman mati diterapkan

Audrey Angelina Ciayady

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Palu hakim sebagai simbol keadilan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

14 Januari 2025


BandungBergerak.id – Korupsi telah menjadi salah satu masalah sosial yang belum terselesaikan hingga saat ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat sebanyak 791 kasus korupsi di Indonesia dengan jumlah tersangka sebanyak 1.695 orang. Dalam upaya melawan korupsi, banyak negara yang mulai menerapkan hukuman mati sebagai sanksi bagi para koruptor. 

Penerapan hukuman mati bagi koruptor menjadi topik yang menuai pro dan kontra dari masyarakat. Terdapat masyarakat yang mengatakan bahwa tujuan dari penerapan hukuman mati ialah untuk memberikan efek jera bagi para koruptor. Namun, pada kenyataannya, penerapan hukuman mati bagi koruptor merupakan sanksi yang tidak efektif.

Penerapan hukuman mati merupakan salah satu tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya hak untuk hidup. Berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Artinya, penerapan hukuman mati ini telah bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional juga percaya bahwa dengan adanya penghapusan hukuman mati, artinya kita sudah berkontribusi dalam meningkatkan martabat manusia dan perkembangan progresif atas hak asasi manusia.

Pada saat ini, 103 negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati untuk segala bentuk tindak pidana, juga sebanyak 7 negara untuk pelaku tindak pidana umum. Tidak hanya itu, sebanyak 50 negara juga telah menjalankan moratorium eksekusi hukuman mati, yaitu menghentikan sementara pelaksanaannya. Tindakan tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk dari sikap menghargai hak masyarakat untuk hidup yang senyatanya tidak boleh dikurangi atau bahkan dirampas.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: No Viral No Justice, Kekuatan Moral di Era Media Sosial
MAHASISWA BERSUARA: Penegakan HAM sebagai Kunci Peningkatan Derajat Perempuan di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Pola Pikir yang Menekankan Konsistensi itu Penting?

Tidak Menimbulkan Efek Jera

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) adalah hasil survei yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) untuk mengukur risiko korupsi publik dan politik. Indeks Persepsi Korupsi menggunakan skala 0 yang menandakan tingkat korupsi tinggi, hingga 100 yang menandakan tingkat korupsi rendah. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi IPK, maka semakin sedikit jumlah korupsi yang terjadi di suatu negara.

Pada tahun 2023, IPK tertinggi diraih oleh Denmark dengan nilai 90, Finlandia dengan nilai 87, dan Selandia Baru dengan nilai 85. Nyatanya, ketiga negara tersebut tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Malahan, negara-negara yang menerapkan hukuman mati memiliki IPK yang lebih rendah. Beberapa darinya ialah Tiongkok dengan nilai 42, Irak dengan nilai 23, dan Korea Utara dengan nilai 17. Data-data tersebut menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati tidak menimbulkan efek jera kepada para pelaku tindak pidana korupsi.

Praktik Manipulasi Sistem Peradilan

Sistem peradilan di Indonesia dianggap masih kotor dan penuh praktik manipulasi. Tidak jarang para aparat penegak hukum bukan mengadili perkaranya, melainkan orangnya. Kesalahan penghukuman atau wrongful conviction dalam pengadilan masih kerap terjadi.

Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebutkan bahwa penyebab dari terjadinya ketimpangan penegakan hukum adalah kemampuan dan kepemilikan materi, kekuasaan, jabatan, dan politik kelas atas yang tidak dimiliki oleh masyarakat kelas bawah. Orang-orang dengan latar belakang perekonomian dan/atau politik yang kuat dapat dengan sangat mudah memanipulasi segala hal yang bersangkutan dengan perkara seperti barang bukti, alat bukti, saksi, atau bahkan hakim yang menangani perkara itu sendiri. Dengan kemampuan ini, mereka dapat menjadikan orang lain sebagai “kambing hitam” yang harus menjalankan konsekuensi atas perbuatannya.

Praktik manipulasi sistem peradilan akan menimbulkan akibat yang semakin destruktif apabila hukuman mati diterapkan. Sering kali kebenaran dari suatu perkara yang dimanipulasi baru terungkap puluhan tahun setelah hakim menjatuhkan vonis. Perlu kita sadari bahwa hukuman mati tidak dapat ditarik kembali sehingga akan sangat merugikan bagi orang yang tidak bersalah.

Penerapan hukuman mati merupakan solusi yang tidak efektif untuk menanggulangi masalah korupsi. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya tingkat korupsi di negara-negara yang menerapkan hukuman mati. Dengan menerapkan hukuman mati, artinya negara telah merebut hak asasi manusia untuk hidup. Selain itu, sistem peradilan di Indonesia yang masih dipenuhi praktik manipulasi juga akan memunculkan akibat yang fatal jika hukuman mati benar-benar diterapkan. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kembali solusi yang efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//