Polusi Batu Bara Menimbulkan Berbagai Macam Penyakit di Sekitar Pertambangan Maupun di Wilayah PLTU
Gangguan kesehatan menjadi salah satu masalah yang disebabkan polusi batu bara. Warga sekitar tambang atau PLTU paling dirugikan.
Penulis Iman Herdiana20 Januari 2025
BandungBergerak.id - Alam Indonesia memiliki kekayaan luar biasa. Batu bara, salah satunya, yang fungsinya bisa dipakai untuk pembangkit listrik di PLTU-PLTU. Sayang, penambangan dan pemanfaatan batu bara lebih banyak mudharat daripada manfaat. Gangguan kesehatan menjadi satu dari sekian dampak yang ditimbulkan batu bara.
Pihak yang paling dirugikan dari pemrosesan batu bara ini tentu masyarakat di sekitar tambang ataupun PLTU, rakyat kecil. Sejumlah warga Indramayu sudah merasakan dampak kesehatan dari polusi batu bara ini. Indramayu merupakan kabupaten di Jawa Barat yang memiliki PLTU batu bara.
Perwakilan kelompok orang muda terdampak PLTU 1 Indramayu Eri Irawan menyampaikan, banyak masyarakat, terutama pada bayi dan balita pada rentang tahun 2019-2021 terjangkit penyakit ISPA, diduga karena adanya PLTU.
Merujuk data Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, ada 145 kasus bayi dan balita yang mengidap ISPA di Kecamatan Patrol pada 2019, 301 kasus pada 2020, dan 289 kasus pada 2021. Sementara di Kecamatan Sukra, ada 181 kasus bayi dan balita yang mengidap ISPA pada 2019, 183 kasus pada 2020, dan 186 kasus pada 2021. Kecamatan Patrol dan Sukra merupakan dua kecamatan terdekat dan terdampak PLTU.
Jauh dari Indramayu, warga Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, juga merasakan dampak pertambangan batu bara pada kesehatan. Restu Juniah, Rinaldy Dalimi, M. Suparmoko, dan Setyo S Moersidik memaparkan temuan mereka terkait dampak batu bara pada kesehatan dalam jurnal penelitian berjudul “Dampak Pertambangan Batubara terhadap Kesehatan Masyarakat Sekitar Pertambangan Batu Bara (Kajian Jasa Lingkungan Sebagai Penyerap Karbon).
Para peneliti dari Universitas Indonesia tersebut menjelaskan, pertambangan batu bara menyebabkan pencemaran atau polusi udara dan merupakan eksternalitas negatif yang berdampak terhadap gangguan kesehatan masyarakat.
Penelitian ini mengutip hasil penelitian Castleden (1993) yang meneliti kegiatan pertambangan batu bara Osmington Western Australia terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Menurut Casteleden terdapat keterkaitan yang erat antara kegiatan pertambangan batu bara, lingkungan, dan kesehatan masyarakat.
“Namun masyarakat tidak pernah menyadari hal ini, dan arti dari sebuah kesehatan ataupun hidup sehat dan lingkungan yang sehat, dan cenderung baru sadar dan menyadari setelah manusia tersebut mengalami satu penyakit atau gangguan kesehatan. Utamanya apabila penyakit atau gangguan kesehatan yang dialami tersebut sudah lama (untuk kurun waktu yang lama)” terang Restu Juniah dkk, diakses Sabtu, 18 Januari 2025.
Dalam jurnal ini, Restu Juniah melakukan penelitian di masyarakat sekitar pertambangan Muara Enim. Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim tahun 2010 menunjukkan, ISPA dan diare adalah penyakit yang paling banyak dialami oleh masyarakat Muara Enim. Jumlah penderita penyakit ISPA di Kabupaten Muara Enim tahun 2010 yang terbanyak adalah pada rentang Juli-Oktober (jumlah penderita 1.119-1.450 kasus).
Demikian pula halnya dengan kejadian diare dengan jumlah penderita 889-1.148 kasus musim kemarau. Pada musim kemarau frekuensi turun hujan sangat kecil dan cenderung tidak hujan sama sekali. Udara yang panas di musim kemarau mengakibatkan jalanan menjadi berdebu, dan debu tersebar ke mana-mana, sehingga dapat dengan mudah terhirup oleh masyarakat atau penduduk.
Selain ISPA, warga di sekitar pertambangan juga mengalami gangguan kesehatan berupa gatal-gatal, mual, pusing, pilek, batuk-batuk, dan susah bernapas/sesak napas (ASMA). Rinciannya, responden terbanyak yang mengalami jenis gangguan kesehatan berupa batuk-batuk berasal dari kelompok wiraswasta (10 persen), kemudian dikuti responden karyawan nonpertambangan (9,6 persen), dan responden karyawan pertambangan (8 persen).
“Salah satu penyebab gangguan kesehatan yang dialami responden berasal dari debu yang timbul pada saat operasi penggalian dan pengangkutan batubara, di mana debu-debu tersebut terkonsentrasi di udara, utamanya di saat musim kemarau,” kata Restu Juniah dkk.
Keterangan tersebut merupakan hasil wawancara peneliti dengan warga sekitar. Peneliti juga melakukan pengamatan lapangan dengan ditemukannya pencemaran udara atau polusi udara. Udara yang tercemar menyebabkan udara menjadi kotor atau tidak bersih.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan tentang Proyek Strategis Nasional dalam tautan berikut ini