• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mengurai Benang Kusut Golput

MAHASISWA BERSUARA: Mengurai Benang Kusut Golput

Golput tetap menjadi bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Ia adalah suara bisu yang diam-diam memberikan tuntutan perbaikan mendasar pada sistem politik.

Wahyu Agil Permana

Mahasiswa Sejarah Universitas Lampung

Ilustrasi. Surat suara Pemilu.(Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

21 Januari 2025


BandungBergerak.id – Dari masa ke masa, ketika akan –atau sedang– memasuki tahun pemilu yang di dalamnya akan digelar “pesta demokrasi”, wacana golongan putih atau golput selalu menjadi sorotan yang menarik oleh kacamata publik, tak terkecuali; saya. Pada kasus kali ini, saya mencoba memandang golput dari sudut pandang yang berbeda. Bukan bermaksud untuk membela kaum golput, tetapi hanya ingin mendedah mengapa golput dicap sedemikian buruk.

Pada konsepsinya, golput merupakan keputusan untuk tidak memilih atau memberikan suara pada pemilihan umum. Idiom golput lahir dari pemahaman filosofis yang keliru serta iklim politik yang khilaf. Narasi bahwa memilih merupakan perilaku partisipatif dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik membuat konotasi negatif bahwa golput dianggap amoral, anti demokrasi, egoistik, dan serba membangkang. Fenomena ini, oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib, disebut sebagai anarki makna.

Padahal, jika dikaji secara epistemologi, memilih atau tidak memilih keduanya adalah sama-sama sebuah pilihan. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia, Bivitri Susanti, menegaskan bahwa golput bukan sesuatu yang salah. Ia merupakan bentuk hak politik dari warga negara. Ia menjelaskan bahwa, jika mengacu pada undang-undang, memilih dan tidak memilih merupakan hak politik dan tidak akan dikenai pidana.

Namun, di sisi lain, pelarangan golput sering kali dilandasi oleh kekhawatiran terhadap implikasi politiknya. Ketika tingkat golput tinggi, legitimasi dari hasil pemilu dapat dipertanyakan kredibilitasnya, sebab rendahnya partisipasi masyarakat mencerminkan kurangnya kepercayaan terhadap kandidat yang ada.

Oleh karena itu, beberapa pihak –termasuk pemerintah atau aktor politik tertentu– kerap menggiring opini bahwa golput adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Tentu retorika ini digunakan untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan bahwa pemilu tetap menjadi mekanisme utama dalam legitimasi kekuasaan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Apakah Akses Internet Seharusnya Menjadi Hak Dasar Masyarakat?
MAHASISWA BERSUARA: Ketahanan Komunitas dalam Konflik Agraria, Pelajaran dari Gerakan Pancoran Bersatu dan Masyarakat Dago Melawan
MAHASISWA BERSUARA: Penggunaan Media Sosial Dalam Gerakan Sosial Perkotaan, Studi Kasus Akun @melihat.kota dan @bandungbergerak.id

Narasi Moral dan Demokrasi

Pertanyaan yang kemudian muncul di benak saya adalah, bukankah menyuruh orang untuk memilih tanpa memerhatikan alasan mengapa ia harus memilih justru mencederai esensi demokrasi itu sendiri?

Di dalam demokrasi, berpartisipasi dalam pemilu kerap dianggap sebagai kewajiban moral. Maka tidak heran jika golput diidentikkan sebagai perilaku anti demokrasi, egoistik, dan amoral. Golput dicap buruk karena dianggap “mengganggu” kelancaran pesta demokrasi.

Pandangan ini sebenarnya menyederhanakan kompleksitas demokrasi itu sendiri. Perlu dipahami demokrasi sejatinya bukan tentang suara mayoritas, tetapi juga menghormati keragaman pandangan, termasuk hak untuk tidak memilih. Memaknai golput sebagai pelanggaran moral atau pengkhianatan demokrasi berarti mengabaikan hak individu mereka yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu.

Lebih jauh, stigmatisasi terhadap golput malah bisa menjadi alat untuk membungkam kebebasan berekspresi. Ketika masyarakat dipaksa untuk memilih di antara pilihan-pilihan buruk, demokrasi kehilangan maknanya sebagai perwujudan aspirasi rakyat. Tak hanya itu, menyalahkan golput sebagai biang keladi kegagalan demokrasi justru mengabaikan persoalan yang lebih krusial. Rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik, buruknya kualitas kandidat, hingga sistem yang tidak inklusif merupakan polemik primordial yang semestinya mendapat sorotan.

Demokrasi yang sehat bukan hanya merayakan partisipasi, tetapi juga menanggapi kritik dengan perbaikan sistemik. Maka, kita tidak bisa secara parsial anti terhadap golput tanpa melihatnya sebagai sinyal bahwa ada kejanggalan dalam sistem politik. Dalam kerangka ini, golput dapat menjadi pemicu perubahan, bukan ancaman. Golput adalah pengingat bahwa sistem demokrasi kita sedang membutuhkan perbaikan.

Krisis Kepercayaan

Tingginya angka golput bukan semata-mata mencerminkan sikap apatisme masyarakat terhadap politik, melainkan sebuah ekspresi kekecewaan yang mendalam terhadap sistem politik yang dianggap tidak mampu merepresentasikan kepentingan rakyat. Sistem politik yang korup, elite omong kosong, kampanye yang sarat janji manis adalah sebagian dari alasan kultural yang melahirkan golput.

Apa lagi di era modern ini, semakin membanjirnya informasi justru menimbulkan paradoks. Kampanye politik lebih sering terlihat seperti ajang pencitraan, penuh manipulasi visual, dan narasi kosong yang sulit diverifikasi. Alih-alih mempermudah masyarakat untuk menentukan pilihan, informasi yang tersebar malah memperkuat skeptisisme masyarakat. Mencuatnya informasi tentang visi-misi kandidat, rekam jejak, atau bahkan dosa masa lalu membuat masyarakat semakin yakin untuk memilih golput (menilai bahwa mereka adalah yang terburuk di antara yang buruk-buruk).

Pada tataran tertentu, tingginya golput merupakan bentuk figuratif dari gagalnya elite dalam menghadirkan pilihan yang relevan dan kredibel. Namun ironisnya, golput sering dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan, ketimbang pesan yang harus dipahami. Narasi seperti “suara Anda menentukan masa depan” menjadi alat untuk mengagitasi masyarakat agar mau memilih, meski para kandidat yang ditawarkan belum teruji secara intelektualitas, moralitas, maupun elektabilitas. Narasi manipulatif semacam itu juga mengaburkan pandangan masyarakat dari akar permasalahan yang lebih nyata, yakni gagalnya elite politik dalam menawarkan kandidat yang berkualitas dan berintegritas.

Ketika kandidat yang dihadirkan tidak mampu merepresentasikan kepentingan dan aspirasi rakyat, golput menjadi cara masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan dan mendorong evaluasi terhadap sistem politik yang ada. Dengan golput, mereka menyampaikan pesan bahwa legitimasi politik tidak bisa dibangun oleh kampanye utopis dan sistem yang cacat, juga sekaligus sebagai cara untuk menolak terjebak dalam ilusi perubahan yang tak kunjung nyata. Dalam konteks ini, golput adalah bentuk perlawanan masyarakat terhadap budaya politik yang minim transparansi dan akuntabilitas.

Pada akhirnya, bagaimana pun, golput tetap menjadi bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Hak untuk tidak memilih adalah ekspresi sah dari kebebasan individu dalam sebuah sistem demokrasi. Ia adalah suara bisu yang secara diam-diam memberikan tuntutan perbaikan mendasar terhadap sistem politik.

Golput mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak bisa hanya bergantung pada proses pemilu, tetapi harus dibangun di atas hubungan transaksional antara pemerintah dengan rakyat. Tanpa golput, demokrasi bisa berubah menjadi sistem yang imperatif tanpa memberikan alternatif yang lebih solutif.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//