CATATAN DARI BUKU HARIAN #26: Menyelami Jejak Risyani, Maestro Tari Tradisional dengan Jiwa Tak Pernah Padam
Setiap gerak Risyani adalah pengabdian, setiap topeng yang dia kenakan adalah cerita, dan setiap karyanya adalah doa untuk kelangsungan seni tradisi.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
28 Januari 2025
BandungBergerak - Di balik gemerlap seni modern, ada sosok-sosok yang tetap teguh menjaga warisan tradisi, mengabdikan hidupnya pada tarian yang kaya akan sejarah dan nilai budaya. Risyani salah satunya. Maestro tari asal Bandung ini telah melangkah jauh melintasi waktu di jagat kesenian. Dari panggung sederhana hingga istana, dari gerak tari hingga bait haiku.
Risyani aktif berkesenian sejak tahun 1962, ketika mulai belajar tari Sunda dan tari Topeng Priangan kepada R. Nugraha Soediredja, sebelum kemudian mendalami tari Topeng Cirebon. Namun jauh sebelum itu, ketika masih belajar di Sekolah Dasar (SD), dia sudah sering terlibat dalam pentas drama dan balet.
Lewat perjalanan panjang, Risyani dikenal sebagai penari, peneliti tari, penulis, dan pengamat masalah yang berhubungan dengan kebudayaan dan kesenian pada umumnya. Jejak berkesenian perempuan kelahiran Bandung, 24 Desember 1949, ini merentang dari seni tari, seni kliningan, ibing penca, seni wayang golek, seni tradisional Sunda, hingga sastra haiku.
Perkenalan dan persahabatan antara penulis dengan Risyani bermula dari pertemanan melalui media sosial Facebook. Kami sama-sama bergabung dalam komunitas HaikuKu Indonesia yang dipimpin oleh budayawan Bandung Diro Aritonang. Risyani adalah salah seorang haijin.
Selain saling dukung melalui media sosial, kami bertemu di berbagai kegiatan, di antaranya pada acara Halalbihalal dan peringatan ulang tahun komunitas HaikuKu Indonesia tahun 2022 di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung dan halalbihalal setahun berikutnya di Hotel PIA, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung.
Haiku adalah bentuk puisi tradisional Jepang yang terdiri dari tiga baris dengan pola 5-7-5. Inilah salah satu haiku karya Risyani:
semesta riang
bunga rumput melenggok
menyambut pagi
Lewat komunitas HaikuKu Indonesia, Risyani beberapa kali berkesempatan unjuk kebolehan menarikan Topeng Panji. Pada Maret 2016, dia memerankan sosok ibu memakai topeng Panji pada pameran tunggal karya Kanwa Adikusuma bertajuk "Cosmologi of Life" di Selasar Sunaryo, Dago, Bandung, diiringi musik tarawangsa karya Dody Satya Ekagustdiman serta pemusik tarawangsa dari Rancakalong, Sumedang. Risyani kembali menari dalam peluncuran buku Haiku "The Sound of Silence" karya Diro Aritonang di pendopo Mundinglaya ISBI Bandung tahun 2016. Peristiwa ini sangat bermakna karena pertama kali dirinya berkolaborasi dengan budayawan Yesmil Anwar dalam karya bertajuk "Rajah Haiku", disambung "Tadarus Haiku". Pentas hari itu diiringi oleh para pemusik tarawangsa ISBI Bandung dan Yesmil Anwar sendiri yang memainkan alat pukul.
Menarikan Topeng Panji pada ranah haiku sejalan dengan tujuh (7) esensi Wabi Sabi, yaitu membuang nafsu duniawi, sederhana, alami, wajar, tanpa pamrih, keindahan batin, menumbuhan konsentrasi, menciptakan suasana hening tapi cerah, serta bebas tanpa rumusan atau aturan sehingga mendorong kreativitas.
Demikianlah Risyani, akrab disapa Ris, terlibat secara aktif dan konsisten dalam berbagai kegiatan budaya, khususnya yang terkait dengan seni tari tradisi. Baginya, melestarikan seni tari tradisi merupakan kewajiban demi generasi masa sekarang dan masa mendatang.

Keluarga Besar dan Jalan Seni
Risyani, akrab disapa Ris, adalah putri dari pasangan Djoehana dan E. Soeprihat. Risyani. Penyuka sastra dan musik jazz ini lahir dan besar, hingga dinikahkan, di rumah kedua orang tuanya di wilayah Bandung utara. Beberapa kali Risyani mengikuti keluarganya berpindah tempat tinggal sementara di pusat kota Bandung, di wilayah hunian berisi beberapa rumah keluarga besar kakek nenek dari pihak ibu.
Hunian ini akrab dengan nuansa seni karena kakeknya, yang merupakan keturunan kabuyutan Lebak Wangi, Banjaran Bandung, adalah seniman pembuat alat-alat berbahan besi, seperti pisau, golok, arit, etem, dan lain-lain pada sebuah gosali miliknya di kawaasan Jalan Jenderal Sudirman Bandung. Kakak-kakak laki-laki ibu Risyani memiliki hobi seni bela diri maen po, ditunjang kebiasaan olah raga angkat beban di halaman rumah panggung yang besar. Selain maen po, seorang di antaranya menjadi drummer kelompok musik jazz, yang sering kali berlatih di rumah panggung tersebut. Sementara itu kakak-kakak perempuan ibunya, biasa berlatih menari Serimpi di Pendopo Kepatihan Bandung.
Pada wilayah hunian itu, terdapat pula rumah besar keluarga adik nenek yang memiliki seperangkat gamelan. Pada waktu-waktu senggang, nenek bersama keluarganya memainkan gamelan itu. Pesindennya, Bi Cicih, juga seorang modiste. Kebiasaan mendengar alunan gamelan tersebut, terutama bunyi pukulan kendang Mang Pardjaman, memberikan kesan tersendiri bagi Risyani yang ketika itu masih menjadi murid Sekolah Dasar Kristen. Meski belum tertarik benar belajar seni tari tradisi, di acara-acara tertentu di sekolah dia sering kali turut serta bermain drama Gereja dan menari balet. Bersama teman sekolah, beberapa kali pula Risyani pergi ke Wihara Satya Budhi di jalan Kelenteng menonton pertunjukan wayang potehi.
Ayah Risyani memiliki kesukaan melukis pada kanvas maupun kertas. Pernah pula ia melukis pada daun pintu, dinding ruang makan, dan alat rumah tangga nyiru, dan hihid (niru dan kipas). Di rumah berdinding bilik yang semarak dengan tanaman hias bunga anggrek bulan warna putih itu, ayah Risyani juga gemar menikmati lagu-lagu yang disiarkan oleh Radio Suara Amerika (Voice of America) dari Washington DC, Amerika Serikat, selain menikmati siaran Wayang Golek dari radio RRI Bandung. Pada waktu-waktu tertentu, sejumlah paman Risyani turut pula asyik mendengarkan siaran wayang golek tersebut.
Ketika Risyani mulai belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri IX Bandung , keluarga Risyani pindah kembali ke rumah lama di Bandung Utara. Ayahnya menambah koleksi benda-benda seni berupa lukisan, keramik, artefak, serta boneka wayang golek. Wayang-wayang tersebut didedikasikan untuk putra-putrinya. Ada yang menerima wayang Gatot Kaca, Bangbang Somantri, dan Arjuna. Risyani menerima wayang golek satria Dipati Karna.
Di bangku SMP itu, Risyani mengikuti mata pelajaran seni tari di bawah bimbingan tokoh tari Sunda R. Nugraha Soediredja. Tari pertama yang diberikan secara khusus yaitu tari Satria Dipati Karna, selain tari-tarian putri serta tari topeng yang diberikan bersamaan dengan murid-murid di sekolah. Pada tahun-tahun tersebut kakak laki-laki Risyani pun mulai menekuni dunia seni musik sebagai drummer dengan membentuk kelompok musik sekolah. Kesukaan bermain musiknya berlanjut dengan bergabung dengan para pemusik Bandung ternama waktu itu, seperti Harry Roesli dan Iwan Abdurachman.
Masa-masa belajar Risyani di SMP dan SMA penuh dengan pentas di panggung-panggung dengan berbagai materi tarian sesuai dengan tingkatan usia dan kematangan membawakannya menurut ukuran sang guru R. Nugraha Soediredja. Kakaknya, sang drummer, beberapa kali mengisi acara yang sama.
Rumah keluarga Risyani memiliki seperangkat gamelan degung. Pada waktu-waktu tertentu, ibu-ibu dan bapak-bapak warga seputar rumah berlatih memainkan alat musik tersebut. Ibu Risyani menjadi penabuh bonang. Maka, lengkaplah nuansa seni di rumah keluarga di Bandung utara itu dengan adanya latihan musik, tari, serta degung.
Ketika duduk di kelas dua SMAN 5 Bandung, Risyani didaftarkan oleh sang ayah untuk mengikuti ujian masuk sekolah Konservatori Tari (KORI). Diterima sebagai murid setingkat SMA, pada kenyataanya dia diikutsertakan mengikuti perkulihan setingkat mahasiswa. Namun setelah lulus SMA, Risyani memilih masuk Sekolah Tinggi Pendidikan Teknologi Negeri (STPTN) dengan mengambil Jurusan Arsitektur.
Dunia seni tari tidak bisa lepas dari sanubari Risyani. Dia kembali mendaftarkan diri ke KORI yang telah berubah status menjadi Jurusan Sunda ASTI (Akademi Seni Tari Indonsia). Di sini, Risyani mendapat bimbingan Irawati Durban untuk mempelajari dan menampilkan tarian karya R. Tjetje Somantri. Dia menarikan karyanya sendiri, Kandagan Tiga, pada peresmian Sasana Budaya Langen Sasono Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan selanjutnya beberapa kali menampilkannya di Istana Negara Jakarta. Risyani pernah pernah pula membawakan peran Dewi Supraba untuk mencari rahasia kematian Prabu Niwatakawaca yang diperankan Enoch Atadibrata, pimpinan KORI, pada dramatari Arjuna Wiwaha di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung pada tahun 1974.
Menjelang selesai perkuliahan, ketika sedang menyiapkan tugas akhir, Risyani mendapat tawaran mengikuti seleksi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Dia diangkat menjadi dosen di almamaternya, dan menyelesaikan jenjang S-2 di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Risyani mendalami secara khusus Tari Topeng Cirebon Gaya Palimanan kepada Bi Dasih dan Bi Sudji. Pendalaman Tari Topeng Cirebon terus berlanjut sejalan dengan kepentingannya sebagai pengampu mata kuliah Tari Topeng di ISBI Bandung. Risyani belajar banyak kepada dalang topeng dari Desa Slangit, yaitu Wa Jana dan Mimi Keni. Sementara itu pendalaman Tari Topeng Priangan dia peroleh langsung dari R. Nugraha Soediredja, seorang empu yang berhasil mentransformasikan Tari Topeng Cirebon menjadi Tari Topeng Priangan.
Jadi bisa dikatakan, Risyani memiliki pengalaman sebagai murid KORI, mahasiswa ASTI, serta pengajar atau dosen ASTI, STSI, ISBI, dengan tugas pengampu mata kuliah Pengetahuan Tari, Praktik Tari Topeng Tumenggung, Tari Topeng Klana Gaya Cirebon, serta Tari Topeng Tumenggung dan Tari Topeng Kencana Wungu Gaya Priangan. Pengalaman panjang ini seolah mengukuhkan Risyani sebagai penari Topeng Tumenggung berkarakter gagah berwibawa dan Topeng Klana dengan karakter gagah, beringas, dan bertenaga mengentak.
Risyani menikah dengan Nurdjaman, yang akrab dipanggil Kang Nunu, setelah lulus kuliah, juga setelah lulus CPNS pengajar atau dosen di ASTI Bandung. Tinggal di sebuah rumah di Ujungberung, kawasan Bandung timur, keluarga ini dikaruniai dua orang anak serta empat orang cucu. Di lingkungan rumahnya, Risyani secara aktif turut berkegiatan sosial kemasyarakatan sebagai Ketua Poktan (Kelompok Kegiatan) Seni, Olah Raga dan Pemuda, untuk beberapa periode kepemimpinan Rukun Warga (RW).

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #25: Berkenalan dengan Sutrisna, Musisi Gitar Klasik Asal Subang
CATATAN DARI BUKU HARIAN #24: Lebih Dekat Mengenal T. Bachtiar, Pakar Geografi dan Toponimi Indonesia
Karya dan Prestasi
Banyak karya dan prestasi ditorehkan Risyani. Selain ratusan pentas, dia juga secara konsisten menghasilkan karya tulis tentang seni tari. Beberapa yang bisa disebutkan yaitu (1) "Panakawan Dalam Topeng Cirebon Sebagai Ekspresi Karakter Khas Pemeran Rakyat Teater Tradisi Jawa Barat, Panggung Jumal Seni STSI Bandung No. XXVII, 2003, (2) "Kedudukan dan Fungsi Bodoran pada Topeng Cirebon" Panggung Jumal Seni STSI Bandung No. XXXII 2004, (3) "Model Pembelajaran Tari Topeng Cirebon" dalam Buku Hakikat dan Kiat Pembelajaran Seni Pertunjukan di Perguruan Tinggi. PAU-untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional-Universitas Terbuka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional, 2004, (4) Pengetahuan Tari Bahan Ajar Mata Kuliah Pengetahuan Tari Program S1 Seni Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, 2011, (5) "Bahan Ajar Tari Topeng Cirebon III (Klana)". Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, 2013, (6) Bahan Ajar Tari Topeng Cirebon III Klana 2014, bersama Nunung Nurasih, serta (7) Bahan Ajar Mata Kuliah Pengetahuan Tari Program Studi S-1 Seni Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Sebagai pengajar, Risyani pernah meraih penghargaan sebagai Dosen Teladan peringkat ke-2 Jurusan Tari pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 1993 dan sebagai Dosen Berprestasi peringkat ke-1 STSI pada peringatan Hardiknas 2009, serta Undangan Finalis Dosen Berprestasi Tingkat Nasional di Jakarta pada tahun 2009.
Sejak mengenal dan belajar seni sastra Haiku pada akhir tahun 2014, Risyani telah menghasilkan tiga (3) buah karya tulis mandiri, yakni Bulan di Atas Nampan (2016), 67 Haiku (2016), dan Lenggok Kepayang (2019). Namanya juga muncul dalam beberapa buku antologi haiku.
Pada 30 Januari 2024, Risyani terpilih sebagai Pupuhu Paguyuban Seni Sunda Galih Pakuan Jawa Barat. Serah terima jabatan dilaksanakan pada "Pagelaran Tari Sunda Galih Pakuan Jawa Barat" tanggal 22 Juni 2024 di Gedung Pusat Kebudayaan, Bandung, yang sekaligus menjadi produksi perdana kepemimpinannya. Saat ini Paguyuban membentuk tim penelusuran sejarah terbentuknya Galih Pakuan Jawa Barat pada masa Gubernur Aang Kunaefi. Hasilnya akan dituangkan ke dalam buku panduan. Paguyuban juga berencana mengenalkan dan melatihkan Tari Narantika Rarangganis kepada murid-murid sekolah sebagai tarian penyambutan tamu negara yang berkunjung ke Jawa Barat. Selain itu, dirumuskan strategi membuat pagelaran-pagelaran seni tari tradisi yang mampu menarik minat generasi muda agar tetap mencintai budaya tradisi miliknya.
Risyani adalah cerminan dari jiwa yang tak pernah lelah menjaga dan menghidupi tradisi. Di tengah deras arus modernisasi, dia tetap berdiri teguh, menjadikan seni tari tradisi bukan sekadar warisan, tetapi nyawa yang terus berdenyut dalam kehidupan masyarakat. Perjalanan hidupnya yang sarat dedikasi dan kecintaan pada seni adalah pengingat bahwa budaya bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, melainkan dirayakan dan diwariskan.
Seperti langkah-langkah tari yang dia pertunjukkan, setiap gerak Risyani adalah pengabdian, setiap topeng yang dia kenakan adalah cerita, dan setiap karyanya adalah doa untuk kelangsungan seni tradisi. Semoga jejak Risyani menginspirasi kita semua untuk menjaga apa yang berharga, menghargai apa yang diwariskan, dan terus menciptakan harmoni antara masa lalu, masa kini, dan masa nanti.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang Seni