• Kolom
  • CATATAN DARI BUKU HARIAN #24: Lebih Dekat Mengenal T. Bachtiar, Pakar Geografi dan Toponimi Indonesia

CATATAN DARI BUKU HARIAN #24: Lebih Dekat Mengenal T. Bachtiar, Pakar Geografi dan Toponimi Indonesia

Titi Bachtiar tidak hanya menuliskan kisah-kisah geografi, tetapi juga mengajarkan kita bahwa perjalanan hidup adalah perjalanan pencarian makna.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

T. Bachtiar berada di Kaldera Gunung Tambora. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

11 Januari 2025


BandungBergerak.id – Di dunia yang semakin berkembang, kita sering kali lupa untuk menengok kembali ke akar sejarah dan alam yang membentuk kita. Titi Bachtiar, seorang geografiwan, peneliti, dosen dan penulis, mengajarkan kita bahwa setiap nama tempat, setiap jejak di bumi ini, memiliki cerita yang patut untuk digali dan dipahami. Lewat perjalanan ilmu yang penuh makna, beliau mengajak kita untuk lebih mencintai dan menjaga bumi, serta menghargai setiap proses yang terjadi di dalamnya.

Siapa yang tak kenal dengan tokoh geografi ini?

Namanya sudah menyebar ke seantero tanah air, apalagi kalau berbicara tentang Bandung Purba. Salah satu buku tentang catatan perjalanan beliau dengan sang istri tercinta. Selain menulis, beliau juga aktif di bidang pendidikan, lingkungan dan budaya.

Sejak tahun 90-an, penulis sudah mengenal T Bachtiar melalui tulisan-tulisan beliau yang banyak dimuat di kolom opini surat kabar Pikiran Rakyat dan majalah  berbahasa Sunda, Mangle. Selanjutnya kami sering bertemu diberbagai kegiatan, di antaranya pada peringatan ulang tahun Studiklub Teater Bandung (STB) salah satu komunitas teater tertua di Bandung, dan secara intens kami saling berbagi informasi dan referensi setelah adanya sosial media, terutama melalui Facebook.

Satu hal yang menarik dari kekuatan tulisan pria yang biasa dipanggil Titi Bachtiar Geo ini  adalah fakta dan data.

Dalam membuat sebuah tulisan, beliau akan mencari data dan fakta sebanyak mungkin. Data dan fakta tersebut, beliau tulis dalam sebuah catatan kecil. Dari sanalah, beliau akan menyusun dan membuat tulisan tentang sesuatu.

Data dan fakta tersebut, beliau dapatkan dari kegiatan membaca. Kemudian terjun ke lapangan, mengadakan perjalanan.  Selama perjalanan ke berbagai tempat ini, beliau akan selalu mengobservasi, mengamati apa yang akan ditulisnya. Teori yang ada di buku akan dicari kebenarannya ataupun pengembangannya di lapangan, fakta dan data di balik itu semua. Selain membaca, fakta dan data itu beliau dapatkan dengan cara  mewawancarai masyarakat setempat. Dari pengetahuan merekalah, beliau bisa mendapatkan informasi terbaru yang nyata dan akurat.

Seperti halnya penelusuran tentang asal muasal pohon Ki Tambleg (Baobab) serta penyebarannya, setelah mendapat data, beliau akan membuktikannya secara fakta di lapangan. Dengan cara menelusuri keberadaan pohon Ki Tambleg hingga Desa Manyingsal, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.

Inilah makna dan tujuan lain dari sebuah perjalanannya. Titi mencatat dan berbagi penemuannya melalui berbagai tulisannya yang kemudian menjadi pengetahuan baru buat masyarakat.

T. Bachtiar bersama tokoh masyarakat di Kampung adat Praiijing, Sumba. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
T. Bachtiar bersama tokoh masyarakat di Kampung adat Praiijing, Sumba. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #21: Mengenal Lebih Dekat Eddy D. Iskandar, Sang Novelis Termasyhur Indonesia
CATATAN DARI BUKU HARIAN #22: Ganjar Noor, Melodi Kehidupan dari Kota Kembang
CATATAN DARI BUKU HARIAN #23: Dian Kencana, Mewarnai Dunia dengan Puisi, Lukisan, dan Harmoni

Sang Penulis, Sang Guru Bumi

T. Bachtiar dikenal sebagai penulis buku “Toponimi : Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat”. Toponimi adalah telaah mengenai asal-usul penamaan sebuah tempat. Buku ini memberikan informasi tentang nama-nama tempat di Jawa Barat.

Informasi yang diberikan dari buku ini seperti asal-usul nama  Bojongloa, Burangrang, Bugel, Buahbatu, Cicadas, Cikapayang, Cikawao, Cijawura, Kalipucang, dan lain-lain. T.Bachtiar juga memaparkan bahwa manusia menamakan daerahnya berdasarkan alam yang dilihatnya. Ada penamaan berdasarkan ronabumi, seperti kawasan Gentong di Kabupaten Tasikmalaya, misalnya. Nenek moyang kita melihat bentuk tanjakan itu seperti gentong. Lalu ada Jalan Sukajadi. Banyak orang salah sangka seolah-olah jalan itu berarti “suka dan menjadi”. Padahal, “jadi” dalam bahasa Sansakerta, juga adalah gentong. Ronabumi kawasan Sukajadi memang seperti gentong.

Nenek moyang kita dahulu menamakan sebuah kawasan berdasarkan gejala alam, nama tumbuhan, nama hewan atau peristiwa. T Bachtiar menjelaskan semuanya secara ringan dan menarik.

T. Bachtiar, bukan sebatas penulis, bukan sebatas intelektual publik. Dia seorang yang menjadikan ilmu bumi (geografi) menjadi milik publik.

T. Bachtiar lahir di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, 23 Juli 1958. Dosen, peneliti, penulis, dan ahli geografi. Lulusan Jurusan Pendidikan Geografi, IKIP Bandung (kini Universitas Pendidikan PT), dan Jurusan Manajemen, Universitas Padjadjaran (Unpad). Bekerja sebagai dosen di Universitas Islam Nusantara (Uninus).

T. Bachtiar dikaruniai 3 orang anak dan 3 orang cucu dari pernikahannya dengan Dewi Syafriani, seorang pendidik yang juga selalu menemani Titi ketika mengadakan perjalanan dan penelitian.

Aktif menjadi anggota dan merangkap sebagai ketua Masyarakat Geografi PT (MGI) dan Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Duduk dalam dewan redaksi Geomagz.

Selain menulis artikel di  surat kabar dan majalah, beliau juga menulis dan menyunting buku. Bukunya yang berupa fiksi sains kebumian untuk remaja mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama yang diketuai oleh Menteri Pendidikan Nasional yakni Menembus Belantara Ujung Kulon (1985) dan Krakatau! Krakatau! (1995).

Bersama istrinya, Dewi Syafriani menulis buku Bandung Purba (Masyarakat Geografi PT).

Selama dua dasawarsa itu, entah sudah berapa banyak tempat-tempat yang dikunjunginya. Semua itu dilakukannya dengan biaya sendiri dan ditempuh dengan susah payah menggunakan kendaraan umum atau ojek. Tidak jarang ia harus berjalan kaki menyusuri tebing atau menuruni bukit. Dari pengalaman yang dituangkannya dalam berbagai publikasi, beliau berpendapat, Dataran Tinggi Bandung selain memiliki keindahan alam, juga merupakan laboratorium alam.

T. Bachtiar bersama sang istri, Dewi Syafriani  di Gunung Anakkrakatau. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
T. Bachtiar bersama sang istri, Dewi Syafriani di Gunung Anakkrakatau. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Penulis buku Bandung Purba yang digarap bersama istrinya, Dewi Syafriani, itu menuangkan catatan perjalanannya dalam format buku saku setebal 145 halaman yang ditulis secara memikat dan populer. Penerbitan buku tersebut merupakan perwujudan impian yang disimpan selama bertahun-tahun dan baru terkabul setelah T. Bachtiar berhasil menjadi pemenang The Power of Dreams Contest 2003 untuk kategori umum.

Suami istri itu mencatat perjalanan mereka menyusuri jejak alam Bandung secara cermat. Didorong jiwa sebagai pendidik yang terus berusaha memperkenalkan bumi PT, mereka mendirikan MGI

Lembaga tersebut bertujuan menjembatani perkembangan ilmu geografi dan para peminatnya. Caranya, dengan menghimpun berbagai potensi melalui diskusi, ceramah umum, seminar, penerbitan buku, warta bumi, widyawisata, pelatihan, kursus singkat, penjelajahan, dan konservasi Langkah awal usaha tersebut dilakukannya bersama para guru geografi sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) untuk menggali metode yang paling menarik dalam pembelajaran geografi Fokus perhatian MGI terhadap Bandung Purba baru terjadi setelah berlangsung pertemuan secara kebetulan di Goa Pawon dengan Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Anggota kelompok itu terdiri dari para ahli geologi, gunung api, geoarkeologi, paleontologi, batuan, batu mulia, fisika bumi, geomorfologi, arsitek, dan geografi dari beberapa perguruan tinggi di Bandung, Jepang, Jerman, dan Perancis.

Bersama Budi Brahmantyo menyunting buku Amanat Gua Pawon (KRCB, 2004), Bersama Budi Brahmantyo, Dhian Damajani, dan Seruni Kusumawardhani, menyunting Geowisata Sejarah Bumi Bandung (Badan Geologi, 2007). Bersama Hawe Setiawan, menyunting Menyelamatkan Alam Sunda (Pusat Studi Sunda, 2007). Menjadi penyunting tamu untuk buku-buku yang diterbitkan oleh Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Bakosurtanal yakni Krakatau, Laboratorium di Selat Sunda (2006), Pulau Makalehi, Mutiara dalam Untaian Nusantara (2007), Pulau Marore – Pulau Kawio, Gerbang Utara Nusantara (2008), dan Perairan Togean, Megabiodiversity Terumbu Karang (2008).

Penyunting tamu untuk buku Partikel Mikroskopis dasar Laut Nusantara (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Balai Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral, DESDM, 2008). Banyak menyunting buku yang diterbitkan oleh Badan Geologi, KESDM. Bersama Atep Kurnia menyusun buku Tambora, Sumber Tertulis Abad XV-XIX (Masyarakat Geografi PT, 2015). Bukunya yang lain: Geotrek, Perjalanan Menafsir Bumi (Masyarakat Geografi PT, 2015). Bersama Etti RS., Anto Sumiarto, dan Tedi Permadi menulis buku Toponimi Kota Bandung (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, 2017). Selain itu pada tahun 2019 juga terbit bukunya Toponimi: Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat (diterbitkan oleh Layung).

Kemampuan menulisnya itu diapresiasi oleh berbagai pihak. Semua data yang beliau miliki dikirimkannya untuk melengkapi tulisan.

T. Bachtiar bersama keluarga. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
T. Bachtiar bersama keluarga. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

T. Bachtiar aktif sebagai inisiator kegiatan geotrek yang digagasnya menjadi berkembang. Perjalanan menimba ilmu secara nyata sambil bersenang-senang ini mulai banyak diikuti oleh berbagai kalangan. MGMP guru IPS, pelajar dan mahasiswa, maupun masyarakat umum yang tertarik untuk menyingkap alam. Mencintai perjalanan untuk menggali ilmu. Menemukan sesuatu yang bermakna. Aktivitas dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya merawat dan melestarikan lingkungan, termasuk mengkritisi kebijakan pemerintah dalam soal lingkungan dan memberi masukan, merupakan bagian dari hidupnya.

T. Bachtiar mencurahkan hidupnya secara total di bidang riset dan edukasi lingkungan. Selain itu secara intens ia melakukan riset di bidang lingkungan dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, yang tersebar di media massa, dan sebagian sudah banyak diterbitkan jadi buku.

Aktivitasnya itu diawali mulai tahun 2000, dengan melakukan penelitian secara mandiri tentang sejarah Bumi Cekungan Bandung. Hasilnya kemudian ditulis dalam media masa secara tematis. Setelah ditulis di media massa, lalu ditulis ulang bersama Dewi Syafriani, kemudian dihimpun menjadi buku “Bandung Purba” yang pertama kali diterbitkan oleh Masyarakat Geografi PT tahun 2004. Lalu dilengkapi dengan informasi baru, kemudian diterbitkan lagi oleh PT Pustaka Jaya tahun 2012. Pada tahun 2014 edisi khususnya diterbitkan oleh Badan Geologi di Bandung.

Buku terbarunya Toponimi (2019) dan Geoliterası (2019).

Menerima Anugerah Budaya dari Pemkot Bandung, tahun 2015 dari Wali Kota Ridwan Kamil. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Menerima Anugerah Budaya dari Pemkot Bandung, tahun 2015 dari Wali Kota Ridwan Kamil. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Meraih Banyak Penghargaan

Di tengah-tengah kesibukannya riset lingkungan dan menulis buku, T. Bachtar juga menjadi instruktur dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) Geowisata yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Geologi. Bahkan lebih spesifik mengajar tentang Pengembangan Geotrek. Hampir setiap minggu ia mengenalkan pentingnya lingkungan yang terawat dan terjaga kepada masyarakat.

Karena aktivitas tersebut, ia dikenal sebagai interpreter “Jelajah Geotrek” ke berbagai daerah, seperti di Cekungan Bandung, dan beberapa daerah lainnya, seperti Gunung Anakkrakatau, Dataran Tinggi Dieng, Gunung Merapi, Gunung Bromo, Pulau Bangka, Pulau Belitung, Nangroe Aceh, Danau Toba, Danau Tempe, Danau Tondano, Gunung Guntur, Gunung Gede.

Adapun beberapa prestasi dan anugerah yang pernah diterima T Bachtiar di antaranya yaitu : Penulis Buku Terbaik "Menembus Belantara Ujung Kulon" tahun 1982; Penulis Buku Terbaik "Sains dan Matematika" tahun 1987; Penulis Buku Terbaik "Krakatau, Krakatau!" tahun 1995; Anugerah Sastra LBBS tahun 1996 untuk esai "Dangdut"; Anugerah The Power of Dreams Contest,  tahun 2003; Anugerah Budaya dari Pemerintah Kota Bandung, tahun 2015; serta puluhan prestasi lainnya.

T. Bachtiar bersama Kin Sanubary, di depan Wisma Karya, Subang. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
T. Bachtiar bersama Kin Sanubary, di depan Wisma Karya, Subang. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

T. Bachtiar juga terpilih sebagai peraih Award Bhumandala Nama Rupabumi 2022 kategori pihak lain individu dan pihak lain organisasi yang diselenggarakan Badan Informasi Geospasial (BIG).

Bhumandala diambil dari bahasa Sanskerta: Bhu-mandala artinya sistem tata surya, yang menggambarkan bumi sebagai bagian dari sistem tata surya itu.

Anugerah Bhumandala ini sebagai penghargaan terhadap upaya membangun simpul jaringan informasi geospasial kepada Kementerian/Lembaga, dan Pemerintah Daerah yang dinilai terbaik dalam upayanya mempersiapkan diri dan membangun simpul jaringan. Tahun 2022 anugerah Bhumandala Nama Rupabumi 2022 ditambah kategori pihak lain individu dan pihak lain organisasi.

Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) adalah suatu sistem penyelenggaraan informasi geospasial (IG) secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi dan berkesinambungan serta berdayaguna.

Menurutnya, ia merasa senang ketika ada orang lain yang terinspirasi untuk menelusuri toponimi daerahnya.

T. Bachtiar mempunyai motto hidup, "Jelajah alam selagi Bumi masih berputar." Ia tidak hanya menuliskan kisah-kisah geografi, tetapi juga mengajarkan kita bahwa perjalanan hidup adalah perjalanan pencarian makna. Setiap langkah yang kita ambil untuk menggali pengetahuan, merawat alam, dan menghargai sejarah adalah langkah untuk mewariskan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang. Mari, teruskan perjalanan ini dengan semangat dan tekad, karena setiap jejak yang kita tinggalkan akan menjadi warisan yang berarti bagi bumi dan umat manusia.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Kin Sanubary dalam tautan berikut

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//