• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #2: Dari Rak Buku di Rumah Nenek

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #2: Dari Rak Buku di Rumah Nenek

Novel Bumi Manusia dari rak di rumah nenek ternyata membuatku bukan hanya jatuh suka, tapi jatuh cinta. Mengubah cara pandang.

Siti Nuzulia Astiti Purwanto

Pencinta alam dan sastra, Ig @nuzuliaas

Membaca novel Bumi Manusia di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

14 Februari 2025


BandungBergerak - Ingatanku melayang pada kenangan beberapa tahun silam, ketika aku melihat empat buku yang disusun berjajar di rak buku di rumah nenek. Sepertinya tidak ada buku-buku itu di sana sebelumnya. Lahirlah rasa penasaran.

Dugaan pertamaku, keempat buku itu merupakan sebuah kesatuan. Mereka memiliki karakter desain sampul yang sama. Salah satu buku berwarna hijau kekuningan dengan gambar beberapa orang menaiki bendi, dua yang lainnya berwarna jingga berlatar belakang bangunan khas Belanda era kolonial, sementara satu lagi berwarna abu-abu berlatar belakang persawahan.

Nama pengarangnya pun, yang tertera di tiap sampul depan, sama: Pramoedya Ananta Toer. Nama yang asing bagiku, setidaknya pada saat itu. Belakangan aku tahu bahwa keempat buku itu adalah Tetralogi Pulau Buru, yang kebetulan sedang ramai diperbincangkan di antara sesama mahasiswa.

Bumi Manusia adalah buku karya Pram pertama yang sampai di tanganku. Pada awalnya aku tidak menaruh ekspektasi apa pun karena membacanya tanpa mengetahui dan mencari tahu siapa itu Pram. Tuntas membaca Bumi Manusia, aku terkejut menyadari telah jatuh suka dibuatnya.

Aku sedih melihat Minke gagal memperjuangkan Annelies dan terpaksa harus berpisah dengan sang istri. Perempuan yang dia sebut sebagai Bunga Akhir Abad itu selalu selalu membuatku penasaran, akan secantik apakah ia. Aku pun dibuat sakit hati ketika Annelies bercerita tentang apa yang dilakukan oleh Robert Mellema kepadanya.

Di sisi lain, aku dibuat kagum pada sosok Nyai Ontosoroh, perempuan yang tegas dan berani, juga bijaksana. Para laki-laki bahkan bisa tunduk pada titahnya. Bagiku, Nyai Ontosoroh menggambarkan perempuan yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, perempuan yang setara dengan laki-laki. Tidak lebih rendah derajatnya. Nyai Ontosoroh mengingatkanku pada prinsip-prinsip emansipasi wanita. Siapakah perempuan yang cocok mempresentasikan sosoknya saat ini?

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #1: Memetik Makna Eksistensial Dalam Cerpen "Inem"
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Klub Buku Laswi Edisi Spesial, Menulis Adalah Melawan

Berburu Buku

Novel Bumi Manusia dari rak di rumah nenek ternyata membuatku bukan hanya jatuh suka, tapi jatuh cinta. Judul-judul karya Pramoedya Ananta Toer yang lain menggoda untuk segera dibaca. Aku yakin, semua akan membawa emosiku seperti sedang bermain roller coaster, tidak keruan. Sialnya, buku Jejak Langkah dan Rumah Kaca tak kulihat lagi di rak, tiba-tiba hilang entah ke mana.

Mulailah aku berburu buku Pram di berbagai toko buku di Kota Bandung. Berharap bakal ketemu, apa pun judulnya asalkan harga terjangkau.

Namun, mencari buku-buku Pram tidaklah mudah. Mereka semakin langka di pasaran. Kalau pun ada, harganya sungguh tidak masuk di akalku. Atau, disodori buku-buku KW (bajakan) yang tentu saja saya tolak. Membeli buku bajakan adalah sebentuk pengkhianatan untuk sastrawan dan karya-karya mereka.

Proses pencarian membawaku pada buku teranyar Pram, Gadis Remaja dalam Cengkraman Militer. Aku mendapatkannya di sebuah toko buku di Jalan Supratman. Selesai membaca, secara spontan kupeluk buku itu. Aku merasakan sakit hati yang luar biasa dan segera tersadar bahwa aku telah meneteskan air mata. Pada bagian belakang buku, aku menuliskan ini:

“Berbicara tentang sejarah Indonesia, terutama pada masa penjajahan, tentu tidak lepas dari peran perempuan (yang dipaksa menjadi) penghibur. Tidak dapat dibayangkan bagaimana kekacauan pada saat itu. Perempuan-perempuan yang dibohongi akan mendapat pendidikan yang baik, ternyata bernasib sebaliknya, diperlakukan tidak selayaknya manusia, dijadikan “penghibur” oleh penjajah. Penderitaan mereka tidak selesai setelah Jepang kalah dan menyerah. Mereka hidup sekena-kenanya di tempat asing.”

Selesai dari Gadis Remaja Dalam Cengkraman Militer, aku berpindah ke buku Pram lainnya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Buku ini aku dapatkan dari sebuah toko buku bekas di sekitar Jalan Laswi. Kebetulan aku kenal dengan pemiliknya sehingga ia langsung mengabariku ketika ada stok buku Pram. Nasib baik! Meskipun bekas, buku ini masih sangat bagus kondisinya. Tidak ada halaman yang hilang atau sobek. Tidak pula ada coretan kutemukan. Harganya pun sangat terjangkau bagiku.

Selama membaca buku ini, lagi-lagi rasa sedih menguasai diriku karena mengetahui bahwa selain Cultuurstelsel, pembangunan Jalan Raya Pos juga disebut sebagai genosida yang dilakukan Belanda pada Indonesia.

Merayakan seabad Pram tahun ini, aku berkesempatan membacakan buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels di sebuah panti sosial untuk warga lanjut usia (lansia). Sebuah pengalaman yang sangat berharga karena justru aku-lah yang memperoleh banyak kisah tentang kondisi Indonesia di masa lalu dari nenek-nenek yang ada di sana. Salah satu nenek mengamini apa yang dituliskan oleh Pram dalam bukunya, khususnya apa yang terjadi di Cadas Pangeran, salah satu penggal Jalan Raya Pos.

Buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Mengubah Cara Pandang

Pengalaman-pengalaman membaca buku Pramoedya Ananta Toer lambat laun membuatku mengenali siapa itu Pram. Maklum, nama Pram tidak pernah disinggung oleh guru di sekolah. Tidak bahkan sebagai sastrawan. Suatu hal yang cukup aneh menurutku.

Aku cukup terkejut ketika mengetahui fakta bahwa Pram sempat ditahan dan diasingkan tanpa proses peradilan. Buku-bukunya pun sempat dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung sebelum akhirnya kembali dicetak ulang dan diedarkan pada awal tahun 2000. Tahulah aku sekarang mengapa empat buku di rak di rumah nenek itu dinamai Tetralogi Pulau Buru.

Semakin mengenal Pram, semakin aku dibuat kagum. Semangatnya enggan padam untuk tetap menulis dalam segala keterbatasan. Untuk terus menyuarakan kenyataan-kenyataan yang luput dari perhatian atau sengaja dilupakan.

Dan tentu saja aku belajar banyak hal dari (buku-buku) Pramoedya. Bukan hanya tentang sejarah. Buku-buku Pram mengubah cara pandangku terhadap Indonesia (di masa lalu).

Buku-buku Pram juga mengajarkanku cara menulis. Mulai dari membentuk kalimat kemudian paragraf, menggunakan tanda baca, hingga pemilihan diksi-diksinya. Semua berhasil membawaku sebagai pembaca masuk ke dalam cerita sekaligus ikut merasakan gejolak emosi tokoh-tokoh di dalamnya. Sebagai seorang yang sedang belajar menulis, aku menjadikan Pram sebagai panutan.

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//