AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #1: Memetik Makna Eksistensial dalam “Inem”
Cerpen "Inem" mengajarkan, eksistensi bukan sekadar tentang ada atau tiada, tetapi tentang bagaimana kita diberi ruang untuk menentukan jalan hidup kita sendiri.
![](http://bandungbergerak.id/cms/uploads/penulis/9/2/6/926_300x206.jpg)
Foggy FF
Novelis dan cerpenis, aktif menulis dan bergiat kampanye tentang isu kesehatan mental serta kesetaraan gender. Ig @halamanhalimun
12 Februari 2025
BandungBergerak - Jujur saja, saya baru benar-benar nyemplung ke dunia Pramoedya Ananta Toer di zaman kuliah. Iya, mungkin buat sebagian orang, ini agak telat. Banyak orang yang sudah kenal dan ngefans karya-karya Pram sejak umur belia. Beruntunglah mereka yang memiliki keluarga pembaca karya-karya sastra mumpuni seperti ini dan lalu menularkannya ke anak-anaknya!
Buat saya, perjalanan menuju Pram itu seperti jalan memutar yang akhirnya menemukan lorongnya sendiri. Ketika masih anak sekolahan, saya lebih sering membaca buku yang ringan-ringan. Novel romansa, fiksi remaja, pokoknya yang mudah untuk dicerna sebagai wahana hiburan. Nama Pramoedya lebih sering saya dengar dari guru sejarah atau dari anak-anak ‘sastra garis keras’ yang suka membicarakan topik-topik berat. Saya pikir: "Ah, ini bacaan serius banget, pasti berat dan bikin kepala ngebul!"
Namun ketika kuliah, ada momen di mana saya akhirnya berani mengenal dan menamatkan Bumi Manusia. Lantas, Voila! Saya seperti orang yang baru menemukan band indie keren yang selama ini tidak saya sadari eksistensinya. Saya jadi paham, kenapa selama ini Pram dikenal sebagai ‘Si Penahbis Seni’. Meskipun ia telah tiada, karyanya pergi entah ke mana, atau dibakar sekalipun, proses penciptaan ruang gagasan ini akan tetap abadi. Tak lekang oleh waktu.
Pram tidak cuma menulis cerita. Dia seperti membawa saya jalan-jalan ke masa lalu, memberi hadiah tiket VIP untuk melihat ketidakadilan, perjuangan, dan betapa kuatnya manusia-manusia yang terus melawan meskipun dunia tak selalu berpihak. Karakter-karakter dalam Tetralogi Pulau Buru bukan sekadar tokoh novel biasa buat saya. Mereka seperti cerminan kegelisahan dan keingintahuan orang muda yang haus akan perubahan. Dan semakin saya membaca karya-karya Pram yang lain, semakin saya sadar pula: ini bukan sekadar cerita sejarah, ini tentang manusia dan keberanian untuk bersuara!
Sempat terbersit penyesalan kenapa tidak mengenal Pram lebih awal. Namun kemudian saya sadar, tidak ada istilah terlambat dalam urusan jatuh cinta, termasuk pada karya sastra. Mungkin kalau saya membaca Pram di usia lebih muda, saya tidak akan benar-benar menyadari betapa dalam dan relevannya tulisan sang sastrawan. Sekarang, saya bisa menikmati, memahami, bahkan merasa terinspirasi oleh banyak hal yang ditulisnya. Seolah-olah Pram sudah memberi kacamata baru untuk mengamati dunia: lebih kritis, lebih peka, dan lebih menghargai sejarah serta perlawanan.
Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Novel tentang Perempuan-perempuan yang Melawan Zaman
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Bercerita Jalan Raya Pos di Panti Wreda
Bukan Sekadar Kisah Tragis
Pramoedya Ananta Toer dikenal luas melalui karya-karya epiknya yang menggali sejarah, kemanusiaan, dan perlawanan. Namun, di balik novel-novel besarnya seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan Arus Balik, terdapat cerita pendek (cerpen) yang menyimpan pemikiran eksistensial yang mendalam tetapi jarang mendapat sorotan: “Inem”.
Entah kenapa cerpen "Inem" membuat saya begitu tertarik, sekaligus gelisah. Di balik narasinya yang sekilas sederhana, tentang seorang anak perempuan yang dinikahkan secara paksa, terselip refleksi tajam mengenai eksistensi manusia dalam sistem sosial yang menekan.
Dalam "Inem," tokoh utamanya, seorang anak perempuan yang masih terlalu muda, tidak memiliki kendali atas nasibnya ketika dipaksa menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Dan kehidupan yang seharusnya masih diisi dengan waktu-waktu bermain penuh keceriaan, segera tergantikan oleh kewajiban-kewajiban orang dewasa. Keberadaannya seolah hanya ditentukan oleh aturan-aturan sosial yang mengakar kuat.
Eksistensi sering kali dikaitkan dengan kebebasan untuk menentukan jalan hidup sendiri. Dalam pemikiran Sartre, disebut "eksistensi mendahului esensi," yang berarti bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menciptakan dirinya sendiri. Namun, dalam realitas yang dihadapi Inem, masih adakah kebebasan seperti itu?
Yang membuat saya tertarik dan mencintai cerpen ini adalah narasinya yang terasa berjarak. Pramoedya tidak sekadar mengisahkan penderitaan Inem, tetapi juga menggambarkan bagaimana struktur sosial dan budaya membentuk keberadaan seseorang. Dalam cerpen ini, eksistensi bukanlah sesuatu yang otonom. Ia selalu berkelindan dengan norma-norma yang membatasi pilihan individu. Inem tidak pernah benar-benar memiliki kuasa atas dirinya sendiri, tetapi justru terjebak dalam sebuah sistem yang mengatur kehidupannya sejak dia masih kanak-kanak. Mungkin cerpen ini pula yang mengawali minat saya masuk ke dunia feminisme.
Dengan membaca cerpen ini, saya masuk ke dalam suatu pemahaman yang lebih dalam tentang eksistensi. Jika sebelumnya saya menganggap eksistensi sebagai hak individu untuk menentukan takdirnya sendiri, cerpen ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, eksistensi adalah sesuatu yang dinegosiasikan dalam konteks sosial. Saya menjadi lebih sadar bahwa kebebasan eksistensial bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja, tetapi harus diperjuangkan. Dalam kasus Inem, dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk memperjuangkan kebebasannya sendiri.
Cerpen "Inem" bukan hanya sebuah kisah tragis mengenai pernikahan dini, tetapi juga refleksi tentang bagaimana eksistensi seseorang bisa direduksi menjadi alat bagi struktur sosial yang lebih besar. Pramoedya, dengan gaya bercerita yang khas, berhasil menyelipkan kritik sosial yang tajam, sekaligus mengajak pembaca untuk mempertanyakan kembali makna eksistensial dalam kehidupan yang penuh batasan ini.
“Inem” mengajarkan kepada saya bahwa eksistensi bukan sekadar tentang ada atau tiada, tetapi tentang bagaimana kita diberi ruang untuk menentukan jalan hidup kita sendiri. Jika eksistensi adalah perjuangan, pertanyaannya adalah: sejauh mana kita memiliki kebebasan untuk memilih, ataukah kita hanyalah Inem-Inem lain dalam sistem yang telah menentukan segalanya bagi kita?
Seabad sudah seorang maestro kehidupan lahir, dalam wujud seorang Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya tak lekang oleh waktu karena menjadi cermin getir tentang ketimpangan yang masih mengintai di sudut-sudut kehidupan kita hingga hari ini. Seperti bara yang tak padam, tulisan Pram terus menyala dalam ingatan, mengusik nurani, dan menuntut kita untuk tidak hanya mengenangnya sebagai karya sastra, tetapi sebagai panggilan untuk terus menggugat ketidakadilan.
Apakah Pram pernah membayangkan bahwa ketidakadilan yang ia suarakan lewat kata-kata di masa lalu masih berdenyut dalam nadi bangsa hari ini? Jika ia masih ada, akankah ia melihat harapan, atau justru kian kecewa pada negeri yang tak henti mengulang luka sejarahnya?
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer