• Berita
  • PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Bercerita Jalan Raya Pos di Panti Wreda

PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Bercerita Jalan Raya Pos di Panti Wreda

Membacakan buku Jalan Raya Pos karya Pramoedya Ananta Toer kepada penghuni Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi, Bandung ibarat oase di tengah kesepian.

Indri Candrawati (Alm) (di tengah) bersama nenek lainnya sedang menikmati pembacaan buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah10 Februari 2025


BandungBergerak.idSuasana pagi di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi begitu lengang, Rabu, 5 Februari 2025. Sekitar pukul 10 nenek-nenek penghuni panti tertatih-tatih keluar kamar menuju aula di tengah-tengah panti antara kebun dan deretan kamar atau wisma.

Sekelompok anak-anak Praktik Kerja Lapangan (PKL) SMK membantu mereka berjalan ke aula. Di dalam aula mereka duduk bersama di bangku-bangku yang sudah ditata. Hari Rabu memanglah jadwal bagi para nenek mendengarkan cerita. Relawan yang mengikuti kegiatan ini akan membacakan buku entah itu novel ataupun kumpulan cerpen. Nenek-nenek akan mendengarkan bagaikan seorang anak mendengarkan dongeng. Ini adalah hiburan mereka di masa tua.

Inisiator kegiatan Indra Wardhana membuka kegiatan diselingi permintaan maaf bahwa pekan kemarin tidak mengadakan kegiatan membaca. Ia menjelaskan hari itu buku yang akan dibaca adalah karya Pramoedya Ananta Toer. Terdengar celetukan salah satu nenek menganggap bahwa Pram seperti seorang pahlawan.

Ya, karena bertepatan dengan peringatan 100 Pramoedya Ananta Toer relawan yang dibentuk oleh Perpustakaan Dr Longbook itu akan membacakan buku-buku Pram selama bulan Februari. Setelah pembukaan dari Indra, giliran Nuzul membaca buku ‘Jalan Raya Pos, Jalan Daendels’. Dengan lugas ia membacakan fakta sejarah selama pembangunan jalan terpanjang di pulau Jawa.

“Daendels ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu pada tahun 1808. Sekitar dua abad yang lalu,” kata Nuzul, di hadapan para nenek penghuni panti berdiri sejak 1948 oleh Perkumpulan Budi Istri.

Sebagian ada yang mendengarkan secara serius. Adapula yang terkantuk-kantuk. Hanya dua orang nenek yang aktif menanggapi, mereka adalah nenek Indri dan eyang Sukasih.

Menanggapi pembangunan Jalan Raya Pos, nenek Indri berbagi cerita tentang pemberontakan Pangeran Kornel yang diabadikan melalui tugu peringatan di daerah Cadas Pangeran, Sumedang.

Eyang Sukasih terlihat tidak mau kalah. Ia bertanya apakah hal gaib itu ada, karena menurutnya tempat-tempat yang menelan banyak korban selalu saja angker.

“Banyak-banyak setan tuh, nah angker. Karena kebanyakan dulu yang zaman perang itu si mayat itu gak dikubur. Dibuang di situ aja. Jadi, memang ada ceritanya benar orang tiap lewat itu ada yang mengikuti dia gitu. Nanti sampai mana, dia masuk ke kuburan situ,” cerita Eyang, dalam balutan daster batik dengan kerudung warna merah terang.

Dari pembacaan karya Pram tentang Jalan Raya Pos ini lahir sebuah dialog segar antara dua generasi berbeda. Dari pihak relawan dan pihak penghuni panti saling bertukar pandangan. Tema yang diulas beragam, mulai dari peristiwa sejarah hingga peristiwa di luar nalar.

Setelah sesi diskusi, para relawan dan nenek berfoto bersama. Kegiatan pun berakhir di jam menuju makan siang. Para nenek pun bubar, sebagian bercengkerama dengan relawan dan pendampingnya. Itulah potret aktivitas para nenek di Panti Sosial Tresna Wredha “Budi Pertiwi” yang terletak di Jalan Sancang No. 2, Bandung.

Nenek yang sedang menikmati pembacaan buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Karya Pramoedya Ananta Toer.  (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)
Nenek yang sedang menikmati pembacaan buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Hiburan untuk Para Nenek

Indri Candrawati (75 tahun) adalah salah satu dari para nenek yang menetap di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi. Ia masuk panti dari tahun 2022, terhitung sudah tiga tahun ia menetap di sana. Meski dalam usia senja ingatannya masih kuat dan pendengarannya masih sangat baik.

Indri dulunya bekerja sebagai kepala produksi di perusahaan garmen hingga usia 71 tahun. Ia pensiun di tahun 2019, lalu ditarik kerja kembali dalam kondisi yang tidak memuaskan. Namun, ia tidak bertahan lama. Tahun 2021 ia dikeluarkan secara sepihak.

“Tahu-tahu saya dipepetlah supaya keluar. Karena saya lebih banyak memperjuangkan hak-hak buruh. Saya dianggap provokator,” cerita Indri. Ia juga mengaku menentang keras UU Cipta Kerja (Omnibus Law) karena merugikan kelas pekerja.

Di tahun 2022 dia bekerja serabutan. Pekerjaan apa pun ia lakoni. Ia mencari  pekerjaan di Pekalongan, Kuningan, Sukabumi, dan Banten. Keengganan merepotkan keponakan membuat Indri masuk ke dalam panti. Ia mengaku sebelumnya tidak mau masuk ke sana. Karena di dalam bayangannya panti jompo adalah tempat bagi orang-orang tua yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Indri merasa dirinya masih mampu bekerja dan mencari suakanya sendiri.

“Maka sekarang pun saya di sini masih aktif bantu ngepel, bantu nenek yang sakit. Setahun setengah kemarin saya membantu merawat nenek yang sakit,” ujar Indri yang masih aktif menjahit di masa senjanya.

Ia mengepel bukan tanpa alasan. Indri lakukan karena merasa masih sanggup beraktivitas. Pun dorongan hatinyalah yang membuat Indri seperti itu. Setiap menolong nenek yang sakit hal yang dipikirkannya adalah sang anak yang tengah menderita Paralisis di negeri para sultan.

“Jadi saya merasa begini, aku menolong seseorang siapa tahu Allah mengasihani anakku,” aku sang nenek, sambil mengenang sang anak yang sebenaranya terjebak dalam lingkungan kekerasan dalam rumah tangga.

Di panti banyak kegiatan mulai dari senam ataupun mengaji. Di hari Sabtu biasanya akan ada pemeriksaan rutin. Sisanya adalah kegiatan kerelawanan salah satunya kegiatan baca buku ini.

Sebagai penggemar buku, tentu Indri mendukung panti menyelenggarakan kegiatan membaca buku. Nama-nama seperti Sandra Brown, Barbara Cartland, hingga ratu cerita misteri Agatha Christie adalah penulis kesukaannya, dan lebih banyak lagi.

Buku-buku Pramoedya juga tidak ketinggalan. Indri mengenang pelarangan buku-buku Pram di saat dia SMA. Siapa pun yang punya buku Pram harus membacanya secara sembunyi-sembunyi.

“Memang Pramoedya tuh mengungkapkan apa yang adanya terjadi,” ujarnya, sangat menghargai kejujuran dari setiap karya yang ditulis oleh Pram.

Ia sambungkan dengan Eiji Yoshikawa, penulis buku Taiko yang ia sukai. Kisah polemik kekaisaran Jepang yang diungkapakan oleh Eiji terasa nyata. Realitas yang dituturkan secara apa adanya membuat Indri meminjam buku Eiji lainnya, yaitu Musashi.

Bagi Indri, yang mewakili nenek lainnya, kedatangan orang-orang muda dengan berbagai agenda (seperti penelitian dan kegiatan relawan) bagaikan oase di tengah badai kesepian yang mereka alami di panti.

“Di sini saya banyak kenalan. Jadi itu mahasiswa-mahasiswa yang jadi akrab gitu yang jadi kayak anak sendiri,” ucapnya.

Ketika ditemui BandungBergerak di sela membaca karya Pram, nenek Indri dalam kadaan bugar. Tiga hari setelah wawancara nenek Indri mengembuskan napas terakhirnya di RS Muhammadiyah Bandung pukul 3 dini hari.

Hadir Menghibur Para Nenek

Di tengah kesibukannya sebagai wirausaha, Nuzul (27 tahun) menyempatkan diri menjadi salah satu relawan baca di panti. Melakukan kegiatan sosial adalah hal yang menjadi minatnya saat ini.

Akhir bulan Desember tahun lalu, kegiatan relawannya dimulai. Berawal dari unggahan seorang teman, hingga sekarang Nuzul mengaku masih tetap menyempatkan diri hadir di setiap minggunya. Sebulan sudah berkegiatan ia mengaku banyak hal yang ia dapatkan.

“Saya banyak belajar penyesuaian bicara sama nenek-nenek yang usianya jauh di atas saya. Jadi lagi-lagi menuntut saya untuk belajar terus,” ungkap Nuzul, lewat pesan WhatsApp kepada BandungBergerak.

Tidak hanya cara bagaimana berkomunikasi tetapi juga membaca cerita dan bersikap. Pembelajaran bukan satu-satunya yang ia alami selama sebulan menjadi relawan. Bercengkrama dengan para nenek di panti menjadi hal yang pasti dilakukan setelah sesi baca berlangsung. 

Dari semua nenek yang ada di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi, Hani adalah nenek yang paling dekat dengannya. Dari Hani, Nuzul belajar tentang merajut dan mendengarkan sang nenek bercerita tentang masa mudanya. Terkadang mengisi TTS bersama. Setiap pulang Hani akan selalu mendoakan Nuzul.Kalau pandangan pribadi, aku cukup salut (dengan nenek Hani) karena ngisi waktu luang sama kegiatan-kegiatan positif ya. Nenek punya hobi merajut sama ngisi TTS, mungkin ini juga alasan kenapa beliau gak pikun,” kata perempuan bernama lengkap Siti Nuzulia A. P.

Di kegiatan membacakan buku-buku Pram, Nuzul berkesempatan membaca ‘Jalan Raya Pos, Jalan Daendels’. Sebelumnya ia sudah bersentuhan dengan karya Pram yang lain, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dan tengah membaca Jejak Langkah.

Pram baginya adalah penulis yang berani dan berpikir luas. Kesan itu ia dapat dari karya-karya Pram yang berhasil mengungkap sisi lain dari suatu peristiwa seperti pembangunan Jalan Raya Pos ataupun fenomena penculikan perempuan muda untuk dijadikan budak pemuas nafsu.

Menurut hematnya, Pram juga adalah sosok yang antipenindasan. Bukan hanya dari orang-orang Eropa (para penjajah) tetapi juga praktik penindasan terhadap bangsanya sendiri.

“Yang saya kagumi dari sosok Pram adalah keberaniannya untuk mengungkap hal-hal tersebut dalam tulisannya,” ujarnya, yang juga terpesona dengan susunan kata Pram yang mudah dimengerti dan sukses membawa pembaca menjadi emosional.

Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Membaca Dalam Hati di The Room 19, Pameran Patung di Blora
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Kembang Kata Book Club Edisi Gema Perlawanan Pramoedya Ananta Toer
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Novel tentang Perempuan-perempuan yang Melawan Zaman

Upaya Inisiatif

Ide membacakan cerita untuk para lansia sudah lama terbesit dalam benak Indra Wardhana, pengelola perpustakaan Dr LongBook. Buah pikiran itu baru dieksekusi sejak akhir Desember tahun lalu. Awalnya hanya ia sendiri yang membacakan cerita pada para lansia, tapi pada akhirnya ada sekitar 40 lebih relawan yang bergabung.

Hal itu bermula saat Indra mulai mengunggah tentang kerelawanan di sosial media. Tanpa diduga ia mendapatkan respons sangat positif.

“Akhirnya justru mereka yang lebih aktiflah membacakan bukunya apa, novelnya apa, cerpennya apa. Saya di sini saya hanya sebagai pengarah ajalah gitu,” cerita Indra, saat diwawancarai di pelataran parkir Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi, Rabu, 05 Februari 2025.

Karena makin banyak relawan yang ikut, Indra memutuskan untuk membagin jadwal membaca di panti lainnya. Pertama ada di  Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi yang dilakukan dua kali yaitu Rabu dan Minggu. Lalu di Panti Wredha Nazareth setiap Selasa dan Minggu. Terakhir di Panti Asuhan setiap hari Jumat. Setiap sesinya hanya berlangsung selama satu setengah jam.

Kegiatan membacakan buku Pram sebenarnya untuk merayakan peringatan 100 tahun sang sastrawan. Indra terpantik dari sang kawan Deni Lawang yang membicarakan perihal kegiatan komunitas saat perayaan Seabad Pram ini.

“Nah, saya kebetulan kan memang sudah ada di sini basic-nya. Ya udah aja kenapa tidak satu bulan Pram di setiap hari Rabu,” ujar Indra.

Hal yang diharapkan Indra lewat kegiatan membaca selain merayakan Seabad Pram adalah dapat menjangkau kalangan lansia dalam kegiatan literasi. Selama ini kalangan lansia jarang sekali tersentuh dalam kegiatan tersebut. 

“Para nenek tuh berhak untuk bahagia gitu dengan membaca, dengan dibacakan cerita. Mereka tuh senang. Bahkan orang yang istilahnya enggak ada kerjaan apa-apa pun, dia tidak tertarik baca, tapi dia datang bersama teman-teman. Mereka senang gitu dengan kehadiran kita. Padahal kita tuh tidak membawa uang, tidak membawa barang. Kita membawa cerita aja,” ucap Indra.  

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Salma Nur Fauziyah, atau tulisan-tulisan menarik lain Perayaan Seabad Pram di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//