• Berita
  • PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Novel tentang Perempuan-perempuan yang Melawan Zaman

PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Novel tentang Perempuan-perempuan yang Melawan Zaman

Toko Buku Pelagia, Bandung turut merayakan momentum seabad Pramoedya Ananta Toer. Mendiskusikan Perempuan & Pram.

Diskusi buku karya Pramoedya Ananta Toer di Toko Buku Pelagia, Kebon Jati, Bandung, Jumat, 8 Februari 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah8 Februari 2025


BandungBergerak.id – Penulis yang paling banyak direpresi rezim Orde Baru Pramoedya Ananta Toer genap berumur 100 tahun tanggal 6 Februari 2025. Dalam perayaan Seabad Pramoedya Ananta Toer, lima perempuan lintas generasi membicarakan karakter-karakter perempuan yang ditulis oleh lelaki yang biasa disebut Pram di Toko Buku Pelagia, Kebon Jati, Bandung, Jumat, 8 Februari 2025.

Dalam diskusi bertema ‘Perempuan & Pram’ kelima perempuan dengan bermacam latar belakang, pelajar, jurnalis, akademikus, dan aktivis itu mengisahkan kembali karakter-karakter gubahan Pram baik karya fiksi dan nonfiksi.

Pelajar dan juga penari Serat Sati Dhayana mengisahkan kembali cerita Calon Arang Simanis Bergigi Emas yang diangkat dari dongeng Jawa dan Bali yang dikarang tahun Caka 1462. Di cerita Calon Arang, Pramoedya Ananta Toer menyuguhkan nama-nama yang berpengaruh dalam sejarah Hindu-Jawa salah satunya seorang raja di Kerajaan Daha bernama Erlangga. Di dusun kerajaan tersebut terdapat Calon Arang. 

Cerita kemudian semakin pelik saat orang-orang mengejek anaknya Calon Arang bernama Ratna Manggali yang hingga usia 27 tahun tidak juga menikah. Calon Arang murka. Ia mengirim ilmu santetnya ke seluruh negara Daha.

"Calon Arang ini belum puas dengan apa yang dilakukannya kepada warga desa," cerita Daya. 

Selain cerita Calon Arang, Utamy Tyas yang juga penari, menceritakan kembali sosok 'Ara' dalam novel Larasati yang ditulis pengarang kelahiran Blora. Tamy menjelaskan bagaimana Ara yang hidup di zaman revolusi masih bergulat melawan penjajahan yang belum selesai. Ketika republik pindah ke Yogyakarta Ara harus melawan arus ke daerah pendudukan Netherlands Indies Civil Administarition (NICA).

Di sepanjang perjalanan Ara melihat bagaimana para pejuang mempertahankan kedaulatan negeri pascaproklamasi kemerdekaan. "Ara digambarkan sebagai seniman di zaman itu sehingga ia berpikir bagaimana melawan penjajah itu sendiri," sebut Tamy. 

Tamy terlibat dalam tarian alih wahana dari novel Larasati. Menurutnya, di tengah gejolak revolusi fisik Ara tetap teguh bersikap sebagai orang republik. "Saya melihat Ara sebagai perempuan yang berlatar belakang aktivis, memiliki keberanian. Saat itu perempuan dipandang bisa diperbudak. Ara bertindak sesuai dengan apa yang dipikirannya," tutur Tamy.

Buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer terbit tahun 2000 oleh penerbit Hasta Mitra. (Foto:  Andika Yudhistira Pratama)
Buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer terbit tahun 2000 oleh penerbit Hasta Mitra. (Foto: Andika Yudhistira Pratama)

Bumi Manusia dan Cerita Perempuan Melawan

Keteguhan karakter perempuan yang ditulis Pram tergambar dalam karya monumentalnya Tetralogi Pulau Buru Bumi Manusia yang menjadi panggung Nyai Ontosoroh. Bagian utama Tetralogi Pulau Buru menceritakan sosok Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies. Minke bertemu dengan seorang istri simpanan orang Belanda yang memiliki pemikiran maju mengenai hak-hak perempuan dan pendidikan. 

Sri Pujiyanti menjelaskan, feminisme Pram terlihat pada sosok Nyi Ontosoroh sebagai pribumi maju dan mandiri. Sementara pandangan feodal saat itu selalu menyalahkan perempuan, seperti terlihat dari perilaku buruk Robert Mallema terhadap adiknya Annelies Mallema.

Padahal seharusnya Herman Mallema turut ikut disalahkan juga. Sri mengatakan, Bumi Manusia anggitan Pram sangat penting dan disarankan dibaca. Pram menjelaskan bagaimana pribumi tercerabut dari akarnya serta harus berpikir adil sejak dalam pikiran.

Karaktek perempuan lain dalam Bumi Manusia diceritakan juga oleh Vilrya Putricantika bagaimana Minke jatuh cinta terhadap Annelies Mallema tapi kemudian berbalik menjadi Annelies yang jatuh cinta kepada Minke. Keduanya kemudian menikah, tapi nanti pernikahannya dianggap ilegal sampai melewati persidangan yang berujung kalah.

Tetapi Minke tetap disemangati oleh Nyai Ontosoroh bahwa mereka telah melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.

Buku fiksi lain karya Pram yakni Gadis Pantai. Ilsa Nelwan dari Yayasan Jaringan Relawan Independent (JaRI) mengatakan, perempuan selalu berada di posisi kurang beruntung. Sejak zaman feodal hingga saat ini perempuan selalu menghadapi ketidakadilan. Contohnya, fenomena pernikahan dini.

“Apa yang diceritakan gadis pantai ini, orang dengan neofeodalisme atas nama kedudukan dan kehormatan bisa jadi istri resmi dan tidak resmi,” jelas Ilsa.

Ilsa juga menjelaskan lika-liku penerbitan buku Gadis Pantai yang bisa selamat dari pembakaran buku oleh tentara karena dianggap bermuatan komunis. Ia heran dengan orang yang takut dengan isi pikiran orang lain dalam sebuah buku. Gadis Pantai terselamatkan oleh salah satu universitas di Australia dan kemudian diterbitkan kembali di Jakarta.

Illsa juga menceritakan bagaimana buku ini terbagi dalam lima babak, semuanya memposisikan perempuan selalu dinilai kurang, babak pertama menjelaskan tokoh perempuan menikah berusia 15 tahun dengan keris, kemudian menjadi gundik Belanda, bertemu pasangan, menyesuaikan diri, berakhir pulang kampung melahirkan, dan diceraikan suaminya.

Tidak hanya buku fiksi, buku nonfiksi berjudul Perawan dalam Cengkeraman Militer diceritakan ulang oleh penerjemah Reita Aryanti. Pramoedya menuliskan gadis-gadis muda Indonesia saat masa kependudukan Jepang yang dianggap cahaya Asia. Namun Jepang melakukan perbudakan dan menjadikan perempuan sebagai budak seks atau Jugun Ianfu.

Reita menyebut Pram tidak hanya membicarakan fakta sejarah, namun juga empati terhadap sejarah kelam itu agar tidak berulang dan harus berhenti.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Orasi Budaya Pramoedya Ananta Toer di Gedung Indonesia Menggugat
Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung
Konferensi Asia Afrika dan Sukarno di Mata Pram

Poster tarian kontemporer Ara 1.0 Kupu-kupu Revolusi, tafsir novel Larasati karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, di IFI Bandung, Jumat, 8 Oktober 2024. (Foto: TB.BEBASARI)
Poster tarian kontemporer Ara 1.0 Kupu-kupu Revolusi, tafsir novel Larasati karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, di IFI Bandung, Jumat, 8 Oktober 2024. (Foto: TB.BEBASARI)

Pram Membongkar Partiarki

Pramoedya sebagai penulis lelaki memang tidak lepas dari biasnya. Namun, ia mencoba membongkar dominasi ideologi patriarki, familiarisme, kesetaraan gender, dan mengunggulkan ideologi perempuann. Yulianeta dan Nor Hasimah Ismail dalam artikel Representasi Perempuan dalam Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer (Jurnal Semiotika, Juli 2022, diakses, Sabtu, 8 Februari 2025). (https://www.researchgate.net/publication/363685546_REPRESENTASI_PEREMPUAN_DALAM_NOVEL-NOVEL_PRAMOEDYA_ANANTA_TOER)

Yulianeta dan Nor menyebutkan, tokoh-tokoh perempuan Pram diposisikan sebagai subjek tidak menjadi objek. Meski demikian, Nyai Ontosoroh, Gadis Pantai, Larasati, dan Calon Arang merupakan perempuan-perempuan yang melawan hegemoni patriarki dan menentukan nasibnya sendiri.

Pram juga menampilkan citra-citra positif menyoal perempuan. Tokoh-tokoh perempuan Pram merupakan perempuan merdeka, bersemangat, penuh sumber daya, dan mampu bertarung melawan penindasan perempuan. Yulienta dan Nor mengatakan, tokoh perempuan itu menjadi simbol pemberontakan dan memiliki peranan penting dalam bangsa dan ruang publik yang selama ini dianggap milik laki-laki.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain Pramoedya Ananta Toer

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//