• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Orasi Budaya Pramoedya Ananta Toer di Gedung Indonesia Menggugat

BANDUNG HARI INI: Orasi Budaya Pramoedya Ananta Toer di Gedung Indonesia Menggugat

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer datang ke Bandung. Ia menyinggung reformasi yang tidak melahirkan pemimpin dari kalangan orang muda.

Dokumen kegiatan apresiasi dan karya buku yang mengulas Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: Pabukon Hanca)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah23 April 2024


BandungBergerak.id - Hari ini, bertepatan dengan 23 April 2003, sastrawan Pramoedya Ananta Toer datang ke Kota Bandung untuk memperingati Hari Buku Sedunia. Penulis tetralogi Pulau Buru ini membacakan orasi budaya tentang “Asia-Afrika! Buku, Tatanan Dunia Baru” di Gedung Indonesia Menggugat.

Kedatangan penulis tetralogi Pulau Buru itu disambut antusians oleh para pegiat literasi seperti Klab Baca Pramoedya, komunitas yang rutin mengkaji dan mendiskusikan karya Pram saban Sabtu di Toko Buku Kecil (Tobucil).  Orasi budaya Pram di Gedung Indonesia Menggugat direkam dan ditranskripkan oleh Wiku Baskoro, Deni Rachman, pemilik Lawang Buku, kemudian menuliskan transkrip tersebut di media komunitas KompalKampil edisi 26 April 2006.

“Begitu mendengar Bung Pram akan datang ke Bandung. Malam itu juga kami segera bergegas pergi ke Gedung Indonesia Menggugat (Landraad) Jalan Perintis Kemerdekaan no.5. Sontak saja KompalKampil langsung berkumpul di tengah suasana irama keroncong,” tulis Deni Rachman.

Acara orasi budaya tersebut diselenggarakan malam hari. Pram hadir bersama istri dan anak-anaknya. Tampil dengan pakaian batik, topi ciri khasnya, dan tangannya menekan tongkat yang menyangga tubuhnya. Deni Rachman, bagian dari redaksi KompalKampil dan penulis Pram Dalam Kliping (2022) mengingat betul bagaimana kabar kedatangan Pram tersebar dalam berita pesan singkat SMS berantai di gawai.

“Sebelum orasi dimulai para pengunjung berebutan ingin befoto dengan Pram. Lokasi potret bersama Pram di antranya di ruangan tamu GIM sebelah kanan,” kenang Deni dalam Memorabilia Buku (12): Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung.

Pengunjung bertambah banyak dan menyesaki ruangan utama sampai mereka duduk di lantai. Tulisan dari transkrip orasi budaya Pram ini kemudian diklipingkan oleh Deni. Dokumen lainnya yang berhasil disimpan yaitu beberapa foto Pram hasil jepretan fotografer Agus Bebeng.

Seniman memperingati bulan Bung Karno di Gedung Indonesia Mengguggat, Bandung, 6 Juni 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Seniman memperingati bulan Bung Karno di Gedung Indonesia Mengguggat, Bandung, 6 Juni 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Sukarno, Buku, dan Spirit Asia-Afrika

Pramoedya Ananta Pramoedya Ananta Toer menyapa para hadirin dengan sapa dan salam demokratik. Di gedung tempat Sukarno membacakan pledoi dalam persidangan melawan kolonial Belanda, Pramoedya Ananta Toer menyebut Indonesia tak lagi melahirkan sosok seperti Bung Karno. Baginya Sukarno adalah sosok orang Indonesia yang memiliki nilai-nilai keindonesiaan yang luas.

“Sukarnolah yang meninggalkan amanat yang sangat penting yaitu Trisakti. Sakti pertama berdaulat di bidang politik. Kedua mandiri di bidang ekonomi. Sakti ketiga berpribumi di bidang budaya. Dan Trisakti ini praktis tidak ada yang meneruskan sampai sekarang, apalagi melaksanakannya,”kata Pram.

Indonesia di tahun 30-an melaksanakan gerakan berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), mirip dengan konsep swadesi yang digerakkan Mahatma Gandhi di India. Gerakan ini menurut Pramoedya Ananta Toer bisa membawa negara terhindar dari kriminalitas akibat ekonomi tak mandiri dan lapangan pekerjaan yang tidak merata.

Selain meninggalkan amanat Trisakti, menurut Pram, Sukarno juga berhasil melawan negara-negara imprealisme Barat melalui konferensi Asia Afrika. Keberhasilan itu menjadikan Indonesia sebagai mercusuar dunia antiimprealisme. Sayangnya, pemimpin setelah Sukarno tidak melanjutkan apa-apa yang dilakukan Sukarno. Buku-buku terkait Asia Afrika jarang bicarakan, tidak sehangat zaman Bung Karno.

Pramoedya Ananta Toer menyinggung peran orang muda dalam gerakan reformasi 1998. Ia sangat mengaspresiasi angkatan muda yang bisa menumbangkan kekuasaan di atas bayang-bayang militer Orde Baru dengan tanpa senjata, walaupun mereka harus diculik, ditangkap, dan bahkan dibunuh. Namun Pram menyesalkan dari gerakan besar ini tidak menghasilkan seorang pun pemimpin dari generasi muda.

“Saya hormat pada angkatan muda. Itu kejadian satu-satunya dalam sejarah umat manusia. Tapi sayang angkatan muda yang berprestasi setinggi itu tidak melahirkan pemimpin sampai sekarang,” kata Pram.

Peristiwa reformasi hanya melahirkan para pembesar, bukan pemimpin. Pram pun berseru kepada angkatan muda: “Sekali lagi. Kalau angkatan muda tidak punya keberanian, sama dengan ternak!”.

Baca Juga: Bandung Hari Ini: Lahirnya Oto Iskandar, Pahlawan yang Mati Dituduh Mata-mata
BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah
BANDUNG HARI INI: Berdirinya Perkebunan Kina Friesland, Masihkah Bandung Menjadi Ibu Kota Kina?

Membicarakan Jalan Pos Deandels

Ketika mengisi orasi budaya di Gedung Indonesia Menggugat, Pram bercerita bahwa dirinya sedang menyusun sejarah Jalan Raya Pos atau Jalan Deandels. Jalan yang membentang dari Anyer melintasi Batavia, Bogor, Bandung, Sumedang, Cirebon, sampai Panarukan Jawa Timur ini dinilai seperti jalan Raya Amsterdam-Paris.

“Jalan itu hanya untuk kereta pos milik pemerintah kolonial,” terang Pram.

Pram mengatakan saat itu Hindia Belanda berada di bawah kuasa Prancis yang berperang melawan Inggris. Herman Willem Deandels merupakan Gubernur Jendral Hindia Belanda di masa Belanda dikuasai oleh Prancis. “Jalan Raya Pos yang dibikin untuk menghadapi kemungkinan invasi Inggris, justru dikuasai Inggris, karena negeri kita dikuasai Inggris waktu itu. Belandanya diusir,” tutur Pram.

Jalan raya adalah jalan kebudayaan, kata Pram, kebudayaan Barat memberikan pengaruh pada jalan raya negeri jajahannya. Pram menyinggung bagaimana jalan raya di Indonesia selalu berhenti di sebelah kiri.

“Kalo minggir ke kanan nanti ketubruk, yang disalahkan yang ketubruk. Itu aturan dari kekuasaan Inggris waktu itu, Raffles. Aturan satu orang ikut menentukan moralitas,” katanya.

Pembangunan Jalan Raya Pos di Sumedang menemukan kendala berupa bentang alam yang ekstrem karena harus melewati pegunungan cadas yang kini disebut Cadas Pangeran. Pembangunan jalan di wilayah cadas banyak memakan korban. Pangeran Kornel yang menjabat Bupati Sumedang disebut-sebut menolak pengerahan rakyat dalam pembangunan jalan yang membahayakan nyawa.  

Menurut Pram, penolakan dari Bupati Sumedang menyebabkan pembangunan jalan di Cadas Pangeran dihancurkan dengan cara diledakan. “Karena waktu itu dinamit belum ditemukan. Entah bagaiman menghancurkannya. Mungkin peluru-peluru meriam yang dipergunakan membuat jalan ini,” kata Pram. 

Penulis buku Jalan Raya Pos, Jalan Deandels ini sempat berencana datang ke Cadas Pangeran untuk memotret patung Pangeran Cornel dan Deandels yang berjabat tangan. Namun niatan ini terhalang cuaca hujan.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Bandung Hari Ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//