• Narasi
  • Dua Wah dalam Satu Momen, Sebuah Kontemplasi di Tengah Gejolak Pikiran

Dua Wah dalam Satu Momen, Sebuah Kontemplasi di Tengah Gejolak Pikiran

Setiap langkah menuju perubahan, sekecil apa pun itu, adalah kemajuan menuju kehidupan yang lebih bermakna. Kita belajar untuk menerima ketidakpastian.

Anas Aulia Rahman

Seorang Penulis dan Digital Marketer

Ilustrasi. Kesehatan mental memerlukan perhatian serius dari individu maupun negara. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

14 Februari 2025


BandungBergerak.id – Pernahkah kamu merasa terjebak di tengah keramaian pikiranmu sendiri? Saat segala sesuatu di kepala terasa bising, saling bertabrakan, menciptakan adu argumen tanpa ujung. Momen ini sering datang di saat-saat lelah setelah hari panjang yang penuh tuntutan. Ada perasaan muak yang menguar, seperti racun yang perlahan menyebar, dan di saat yang sama, ada ketakutan yang menggenggam erat, membuat langkah terasa berat.

Bayangkan seseorang berjalan pulang di bawah langit malam yang temaram. Hari itu penuh tekanan –kritik pedas dari atasan masih terngiang, menghancurkan semangat yang sudah rapuh. Langkah kaki terasa berat, seolah dunia di pundak semakin menekan. Pikiran mulai melayang: "Kenapa terus bertahan? Bukankah ada jalan lain yang lebih baik?" Sebuah momen kesadaran muncul, seperti cermin besar yang memantulkan kenyataan pahit –hidup yang dijalani saat ini hanyalah bertahan, bukan benar-benar hidup. Momen "wah" itu terasa seperti sebuah tamparan.

Namun, saat keberanian untuk keluar dari rutinitas itu hendak muncul, sebuah suara batin lain menyusup. "Jika berhenti, bagaimana dengan tagihan bulanan? Apa yang terjadi pada semua kewajiban yang harus dipenuhi?" Pikiran itu melumpuhkan, seperti selimut tebal yang menekan dada. Momen "wah" kedua datang dengan cara yang berbeda, kali ini bukan pencerahan, melainkan kesadaran yang lebih menyesakkan –bahwa rasa aman yang selama ini dikejar telah menjadi belenggu. Ketakutan akan kehilangan stabilitas lebih kuat daripada kebencian terhadap rutinitas yang sudah memuakkan.

Di dalam diri, dua sisi perasaan saling beradu. Ada hari-hari di mana bayangan kehidupan yang lebih baik tampak di depan mata, seolah kebebasan hanya sejauh satu langkah kecil. Namun, malam-malam panjang sering kali diisi dengan kecemasan. Pikiran terus berputar, membayangkan segala risiko yang tak terhitung jika berani mengambil langkah itu. Badai perasaan ini terus menghantui, tak pernah benar-benar reda, hanya terhenti sejenak oleh keramaian yang ada di luar.

Namun, apa yang sering tidak kita sadari adalah bahwa konflik batin ini, meskipun melelahkan, sebenarnya membawa dampak yang dalam. Ketika kita terus-menerus dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang saling bertentangan, perasaan kebingungan dan ketakutan ini dapat merusak kesehatan mental. Pikiran yang terus berkecamuk tanpa jawaban yang jelas dapat menambah beban emosional. Kita menjadi terjebak dalam siklus kecemasan yang semakin dalam, merasa terkurung dalam pikiran-pikiran sendiri, dan sulit untuk melangkah keluar. Semua ini menciptakan sebuah rasa tidak puas yang terus menggerogoti, meskipun secara fisik kita melanjutkan aktivitas sehari-hari. Rasa tidak puas itu mempengaruhi hubungan dengan orang lain, menciptakan kesenjangan dalam interaksi, dan menjauhkan kita dari kenyataan hidup yang lebih bermakna.

Baca Juga: Meruwat Air, Menghormati Kehidupan
Hiruk Pikuk Tahun Baru, untuk Apa Kita Merayakannya?
Tentang Macet dan Filosofi Hidup, Mengenal Diri di Tengah Hiruk Pikuk Jalanan

Konflik Batin

Konflik batin yang dipelihara terlalu lama juga dapat menghambat proses pengambilan keputusan. Saat ketakutan terhadap ketidakpastian terlalu besar, kita sering kali memilih untuk tetap bertahan dalam zona nyaman, meskipun rutinitas itu sudah jelas tidak memuaskan. Kita merasa seolah-olah tidak ada pilihan lain selain untuk terus berjalan di jalur yang sama. Itu adalah jebakan yang semakin memperburuk perasaan kita –terjebak dalam kehidupan yang bukan pilihan kita, namun juga tidak berani untuk keluar darinya. Ketakutan akan risiko selalu mendominasi, menghalangi kita untuk bergerak maju.

Lebih parah lagi, ketika perasaan ini terus dipelihara, hubungan dengan orang-orang terdekat mulai terpengaruh. Kita lebih memilih untuk menyendiri, takut membuka perasaan kepada orang lain. Pikiran yang terus bergulir dalam diri menjauhkan kita dari dunia luar, dari orang-orang yang sebenarnya ingin mendukung kita. Rasa kesepian semakin menyelimuti, sementara di dalam hati kita tahu bahwa kita hanya membutuhkan keberanian untuk mengungkapkan perasaan ini.

Namun, dalam segala kerumitan ini, ada pelajaran yang bisa diambil. Konflik batin ini bukan hanya sekadar perasaan negatif yang harus dihindari, tetapi sebuah panggilan untuk refleksi diri. Kedua momen "wah" tersebut, meskipun bertolak belakang, adalah bagian dari proses memahami diri sendiri. Momen pertama membawa kita pada kesadaran akan ketidakpuasan hidup yang telah berjalan terlalu lama. Momen kedua mengajarkan kita bahwa rasa aman yang selama ini kita perjuangkan bisa menjadi belenggu yang mengekang potensi kita. Kedua momen ini, meskipun terasa berat dan membingungkan, adalah bagian dari pencarian yang lebih dalam.

Konflik batin ini memberikan kesempatan untuk bertanya pada diri sendiri: Apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup ini? Apa yang sebenarnya penting bagi kita? Dan, lebih penting lagi, apakah kita berani untuk memilih jalur yang lebih berani, meskipun penuh ketidakpastian? Momen-momen "wah" itu, meskipun datang dengan cara yang berbeda, seharusnya tidak dipandang hanya sebagai beban, tetapi juga sebagai peluang untuk mengenal diri lebih baik dan mencari makna yang lebih dalam.

Namun, perjalanan untuk keluar dari konflik ini tidak pernah mudah. Tidak ada jawaban pasti tentang kapan atau bagaimana kita akan menemukan jalan keluar. Tetapi, yang terpenting adalah bahwa kita terus melangkah, meskipun dengan langkah kecil. Setiap langkah menuju perubahan, sekecil apa pun itu, adalah kemajuan menuju kehidupan yang lebih bermakna. Kita belajar untuk menerima ketidakpastian, untuk menjadikan kebimbangan bagian dari proses menuju pemahaman yang lebih besar tentang siapa kita sebenarnya dan apa yang kita perjuangkan dalam hidup.

Pada akhirnya, dua momen "wah" dalam satu momen ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Kebingungan, ketakutan, dan kebimbangan adalah bagian dari perjalanan. Yang terpenting adalah bahwa kita terus melangkah, berani memilih, dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//