• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #3: Membuang Segala yang Kolonial ke Kranjang Babi

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #3: Membuang Segala yang Kolonial ke Kranjang Babi

Dan baru kusadari bahwa selama ini kepalaku terlalu kebarat-baratan.

Rangga Nur

Pembaca dan penggiat literasi. Ig @rangganurharram

Penjajahan mewariskan mentalitas inlander hingga hari ini. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah)

16 Februari 2025


BandungBergerak – Sebelumnya, mendengar kata ‘sastra Indonesia’ selalu bikin saya geli. Membaca puisi, roman, apalagi novel berjilid-jilid yang berbahasa Indonesia selalu bikin saya malas. Dengan kecut pikiranku menduga, semua yang tadi itu tidak begitu penting. Pikir saya, barang itu hanya berisi kutipan-kutipan kegundahan emosional yang tak perlu, tak memberikan wawasan. Hanya tulisan ‘mengarang’. Saya lebih suka memilih membaca buku-buku Barat yang saya yakini lebih unggul secara intelektual dengan bahasa ndakik-ndakik yang elitis.

Semua sangka duga saya itu runtuh ketika saya mengenal Pramoedya Ananta Toer. Bermula semasa kuliah, ketika saya berangkat pergi ke toko buku langganan di tengah Kota Bandung. Entah diilhami oleh apa, saya tertarik dengan buku Rumah Kaca oleh seorang pengarang yang belum pernah saya baca sekali pun karyanya. Saya boyong buku itu ke rumah dan langsung membacanya di malam hari. Beruntung, karena dulu di zaman Orde Baru (Orba), membaca novel ini bisa bikin orang masuk penjara.

Tahulah saya bahwa novel itu bagian dari Tetralogi Buru (1980-1988) yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Saya membaca tetralogi ini terbalik, memulai dari Rumah Kaca hingga Bumi Manusia. Dan baru kusadari bahwa selama ini kepalaku terlalu kebarat-baratan. Saya salah menilai apa itu kearifan lokal dari sastra Indonesia.

Sejak pertemuan pertama itu, saya terpikat dan berkali-kali membaca ulang buku-buku Pram sambil bersumpah untuk membaca dan memiliki semua karyanya satu persatu. Secara keren, Pram menyatukan sejarah dengan sastra. Dan karya-karya Pram itulah yang kemudian mengantarkan saya juga kepada jagat sastra Indonesia.

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #2: Dari Rak Buku di Rumah Nenek
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #1: Memetik Makna Eksistensial dalam “Inem”

Buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Dekolonisasi Mental dan Pikiran

Sebagai bagian dari bangsa yang pernah dijajah, saya perlu tahu dan memahami bagaimana biadabnya penjajahan dan pengaruhnya terhadap kehidupan berbangsa hingga hari ini. Bangsa ini pernah dilumpuhkan nyaris secara total oleh penjajahan: dimiskinkan secara ekonomi, dibodohkan secara intelektual, diasingkan secara kultural, dan direndahkan kemanusiaannya bagai monyet yang dirantai. Patuh. Bodoh. Taat setia kepada majikan. Seperti apa yang dialami Minke ketika dimaki dan dihina rasialis oleh guru Belandanya dalam Bumi Manusia: “Diam kau, monk.... Minke!

Melalui Tetralogi Buru (1980-1988), Pram menceritakan bagaimana kolonialisme merampas dan menghancurkan kehidupan tokoh Minke, sebagai metafora bangsa Indonesia. Namun Minke tidak tunduk. Tulisan-tulisannya, dengan nama pena Max Tollenaar, memuat pikiran bernas dan kritik tajam terhadap kolonialisme. Dia melawan sebaik-baiknya untuk menuntut keadilan meskipun berakhir dengan kekalahan di hadapan hukum kolonial.

Bangsa ini memang telah berhasil merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah melalui Revolusi Indonesia yang menurut Pram “sudah sejak pagi ditujukan untuk menentang penjajahan asing dalam segala bentuknya”. Namun efek dari penjajahan belum benar-benar hilang dari bangsa ini, terutama terhadap generasi muda karena penjajahan tidak hanya bekerja melalui instrumen kekerasan, eksploitasi ekonomi, dan represi politik, tetapi juga manipulasi sejarah, perampasan identitas budaya, dan perenggutan mahkota kemanusiaan bangsa.

Kita masih sering melihat mentalitas inlander dalam kehidupan sehari-hari: patuh buta terhadap atasan atau bos atau pejabat, rajin mencium tangan sambil menunduk-nunduk, ‘mohon izin’ untuk segala hal kepada bos, diam tak berani melawan ketika ditindas atau direndahkan, dan tunduk kepada pejabat-pejabat negara yang “berbuat kolonial sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Mentalitas inlander masih kuat melekat pada generasi muda. Generasi muda tidak berhak melawan dan harus hormat dengan berjongkok kepada para penindas. Generasi muda tidak boleh mengkritik pejabat penindas yang menganggap dirinya sebagai “Bapak/Ibu yang Terhormat”. Generasi muda tidak boleh kritis terhadap ketidakadilan yang terjadi. Generasi muda tidak boleh “bandel dan berontak”. Generasi muda tidak boleh terdidik dan pintar mengritik. Generasi muda harus patuh, diam, dan bodoh. Generasi muda tidak berhak menjadi manusia merdeka di buminya sendiri.

Generasi muda saat ini tampaknya tak berbeda seperti posisi Minke ketika dimaki dan dihina oleh guru Belanda-nya: “Diam kau, monk.... Minke!”. Mereka seperti sabut yang terombang-ambing di atas laut, kesulitan untuk memahami sejarahnya, bahasanya, dan kemanusiaannya. Semua terimbas ratusan tahun penjajahan yang menghancurkan struktur kebudayaan dan kepribadian bangsa ini.

Salah satu obat manjur untuk menyembuhkan kemorosotan mentalitas buah kolonialisme adalah dengan mempelajari sejarah. Dan sastra adalah media penting untuk menarasikan pengalaman bangsa.

Dalam usaha dekolonisasi mental dan pikiran inilah, membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer menjadi penting. Karya-karya sang maestro menceritakan bagaimana keadaan bangsa dengan segala pergolakan-pergolakan yang terukir dalam lintasan waktu. Melalui Tetralogi Buru (1980-1988), misalnya, Pram membangkitkan ingatan kolektif bangsa sebagai pengingat bahwa sejarah, jika tidak ditengok secara baik, akan menjerumuskan ktia pada kesalahan-kesalahan yang sama berikut segala dampaknya.

Pram telah menyumbangkan karyanya agar kita tidak menjadi bangsa yang buta akar sejarahnya dan lemah secara mental di hadapan kekuasaan yang menindas. Kisah-kisahnya meniupkan keberanian agar kita mampu berdiri di atas kaki sendiri untuk berani dan lebih berani dalam melawan ketidakadilan dan penindasan. Semua mentalitas inlander dan warisan kolonial yang membelenggu bangsa, seperti feodalisme, sikap minderan (inferior complex), mendewakan produk pemikiran Barat sambil merendahkan kearifan lokal, serta kolusi-korupsi-nepotisme, harus dibuang ke “kranjang babi” (istilah dalam novel Bumi Manusia)! Persis seperti isi kepala saya yang kebarat-baratan. 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//