• Kolom
  • PALESTINA BERGERAK #2: Tanah (dan) Sastra Palestina

PALESTINA BERGERAK #2: Tanah (dan) Sastra Palestina

Donald Trump dan rencana Gaza baru Amerika membangkitkan ingatan. Bahwa perkara tanah adalah perkara yang sangat sensitif bagi para pesastra Palestina.

Hikmat Gumelar

Sastrawan. Peraih penghargaan Palestine World Prize for Literature.

Aktivis dan seniman mengibarkan bendera Palestina mengacungkan poster di monumen Asia Afrika, Bandung, 7 Oktober 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

16 Februari 2025


BandungBergerak.id – Pada awal masa kepresidenannya yang kedua, berkali-kali Donald Trump menyampaikan apa yang membangkitkan ingatan saya kepada para pesastra Palestina.

Trump menyampaikan bahwa bahkan sebelum 7 Oktober 2023, Gaza sudah sebuah “lubang neraka”. Lebih lagi setelahnya. Maka, 1,8 juta jiwa penduduknya yang hancur total mesti dipindahkan ke Yordania, Mesir, dan negara Timur Tengah lainnya. Mereka tak punya hak untuk Kembali karena sudah akan ditempatkan di perumahan-perumahan modern di tempat-tempat yang baru itu.

Gaza sendiri akan menjadi milik Amerika. Dan Amerika akan membangunnya menjadi real estat masa depan.

Trump mengklaim bahwa mengenai proyeknya itu telah disampaikannya kepada para pemimpin Timur Tengah. Dan mereka semua senang. Mereka pun kelak akan bangga dengan Gaza baru garapan Amerika Trump.

Saya tidak tahu perihal benar tidaknya Trump telah bicara dengan para pemimpin Timur Tengah itu. Kalaupun memang sudah, pembicaraannya dapat diduga tidaklah setara, alias dia berusaha sebagaimana yang biasa dilakukan Don Corleon, memberi tawaran yang tak dapat ditolak, seperti yang tampak mencoba dilakukannya terhadap Raja Yordania Abdullah II.

Saya hanya ingat bahwa perkara tanah adalah perkara yang sangat sensitif bagi para pesastra Palestina. Ketika Inggris secara masygul mendapatkan mandat untuk menjajah Palestina, dan imigran Zionis Eropa mulai berdatangan dengan berbekal doktrin sang pendiri Zionisme, Theodor Herzel, bahwa mereka harus mengambil tanah Palestina, para pesastra Palestina ketika itu sudah mengendus gelagat petaka berkepanjangan.

Mereka, yang hampir semua lulus pendidikan tinggi, pembaca yang rakus, dan berdaya kuat dalam menganalisa dinamika modal dan formasi sosial, tidak saja menulis karya-karya sastra berbagai genre yang menyoalkan kejahatan-kejahatan Inggris, Zionis, dan para pemimpin ulama Arab semi feudal. Mereka pun menjadi bagian penting dari gerakan politik nasional Palestina.

Baca Juga: Nyala Api Aksi Jalan Kaki dari Bandung untuk Palestina
The Art Intifada, Membongkar Kejahatan Perang Israel terhadap Rakyat Palestina dalam Pameran Seni di Galeri Soemardja ITB
PALESTINA BERGERAK #1: Sastra Palestina, Kolonialisme, dan Pemanusiaan

Tanah

Ibrahim Tuqan, seorang dari tiga orang pesastra paling terkemuka ketika itu, misalnya, lantang melontar kritik akan persekutuan jahat Inggris, Zionis, dan para pemimpin ulama Arab semi feodal itu. Pembentukan badan pengumpulan dana masyarakat untuk membeli tanah petani-petani kecil Palestina dibongkarnya sebagai akal-akalan para pemimpin ulama Arab semi feudal. Didedahkannya bahwa tanah-tanah yang dibeli murah dan dengan uang masyarakat itu kemudian dijual lagi dengan harga tinggi oleh mereka. Dan ini kepada para Zionis dengan bantuan administrasi koruptif Inggris.

Seyogianya kalau pada 1929 Tuqan tegas menyatakan di depan kaum pergerakan Palestina, "Mereka menjual negeri ini kepada musuh-musuhnya karena keserakahan mereka akan uang; tetapi rumah-rumah merekalah yang mereka jual. Mereka bisa saja diampuni jika mereka terpaksa melakukannya karena kelaparan, tetapi Tuhan tahu bahwa mereka tidak pernah merasa lapar atau haus."

Mahmoud Darwish sehaluan dengan pendahulunya. Tidak sedikit karya sang penyair nasional Palestina ini yang terasa tajam benar mengangkat perkara tanah. Hal ini galib belaka karena di matanya bentang alam di Palestina punya karakter khas. Mengenainya begitu banyak hal yang telah ditulis dan dideskripsikan dalam perjanjian lama misalnya. Anda tak dapat mengalaminya tanpa gema dari bagian-bagian tersebut. “Tanah ini begitu kaya dengan legenda dan mitos. Aku orang sekular, namun aku tak dapat membebaskan diri dari perasaan bahwa di tempat ini Tuhan berbicara kepada manusia dan menghasilkan mukjizat-mukjizat-Nya.”

Adania Shibli tak kalah kuat keterikatannya dengan tanah. Novelis, esais, dan akademisi Palestina ini seorang poliglot. Sedikitnya ia menguasai sama baiknya bahasa Arab, Inggris, Jerman, Perancis, Korea, dan Jepang. Namun Shibli menulis dalam bahasa ibunya; bahasa Arab. Hal ini bertemali dengan pandangannya perihal menulis, bahasa, dan alam.

Baginya, menulis adalah perjuangan dengan bahasa. Sementara bahasa dalam pemahamannya merupakan sejenis makhluk tersendiri, yang sebagaimana kita, manusia, memiliki wawasan, karakter, dan kehendak sendiri. Maka kerap benar perjuangan dengan bahasa itu berarti menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bisa sampai bertahun-tahun menunggu sang bahasa muncul.

Bahasa menjadi demikian karena pertaliannya dengan tanah. Baginya, bahasa menandai tanah dan tanah menandai bahasa. Dan hubungan keduanya merupakan hubungan cinta. Hubungan yang saling peduli, saling berbagi. Begitu pula budaya dan alam. Dalam konteks Palestina, tegasnya, keduanya berhubungan intim, terjalin dalam “keterikatan mendalam, yang darinya Anda belajar tanpa memaksakan.”

Namun, Israel dan alam lain ceritanya. Dalam pengamatan Shibli, “Alam dapat, dan telah, dijadikan senjata oleh Israel untuk memajukan proyek kolonial pemukimnya.” Namun, menurut perkiraannya, alam –seperti halnya penderitaan orang lain– menyimpan sesuatu yang tak dapat kita akses. Kita kehilangan pandangan akan misteri itu kala kita mencoba menundukkannya pada pandangan kita. “Tanah sebenarnya menjaga Anda, dan menyimpan rahasia keberadaan Anda. Kepekaan inilah yang kumiliki sejak kecil. Alam memberi kita banyak kemungkinan untuk bermain dan memerankan kehidupan penduduk desa, untuk mengubah kehancuran menjadi momen kehidupan.”

Deema Shehabi segaris. Lahir di Kuwait, tahun 1970, terbang ke Amerika tahun 1998 untuk kuliah di Universitas Tuft. Nawaitunya setelah lulus akan Kembali. Hanya saja, sampai sekarang penyair, esais, dan editor ini bermukim di Seatle, California, bersama suami dan anak-anak mereka. Namun, kedua orang tua Deema berasal dari Palestina. Ayahnya dari Yerusalem. Ibunya dari Gaza. Dan ketika di sekolah dasar, Deema suka dibawa berlibur musim panas ke tanah leluhurnya.

“Ketika masih kecil, aku sering kali tersentuh oleh kenangan ibu tentang masa kecilnya di Gaza. Dan pada saat-saat ketika kami kembali ke Palestina di bulan-bulan musim panas, ia akan menjadi lebih hidup dengan cara yang berbeda dari yang pernah kuamati sebelumnya; sebagian dari dirinya akan berkembang pesat dalam konteks rumahnya, sejarahnya, dan keluarganya.

“Dan kupikir banyak orang Palestina dari generasi orang tuaku memiliki kualitas ini. Waktu mereka di Palestina, meskipun terkadang menyakitkan, dijalani dengan kelembutan dan cinta. Aku akan lebih memahami ibuku ketika kami kembali (seolah-olah ada bagian dari dirinya yang selalu hilang dan kemudian ditemukan lagi).”

Masa kecil Deema pun sudah menjadi masanya mencoba mencari tahu siapa dirinya di dunia ini dengan “…menyerap laut, dan gurun-dan ritmenya”. Kemudian ia pun mengekspresikan rasa hubungannya sendiri dengan tanah Gaza dalam “Breath”: “Kau datang kepadaku/ dari deretan pohon jeruk/ deretan pohon zaitun/ deretan pohon lemon”.

Ia pun menulis perihal pengasingan ibunya, dirinya, dan orang-orang Palestina lainnya dalam "Of Harvest and Flight”,  Shehabi mungkin mengasimilasi pengasingan ibunya dan orang-orang mereka, "Tetapi malam ini, di Gaza di bawah bintang-bintang,/ Aku menoleh ke arah ibuku/ dan bertanya padanya bagaimana seorang putri/mungkin bisa tumbuh melampaui/pengungsian ibunya."

Hiba Abu Nada, seorang penyair, novelis, dan guru yang dibunuh serangan udara Israel di rumahnya di Khan Yunis, Gaza, pada 20 Oktober 2023, sepertinya sudah mengendus peningkatan nafsu mereka menambah luas dan cepat merampas tanah airnya. Dari situlah antara lain agaknya lahir puisinya yang bertajuk “Tujuh Langit untuk Tanah Air”: Di paru-paru kita ada tanah air / dan di napas kita ada pengasingan, // tanah air yang mengalir deras di nadi kita / seiring langkah kaki kita mendekatinya.

Gaza

Jauh sebelum Hiba, Ghasan Kafani yang dibunuh. Pada pagi ketika hendak mengantar ponakannya ke sekolah, bom MOSAD meledak begitu Kanafani memutar kunci kontak mobilnya. Namun Kanafani meninggalkan banyak karya yang terus menginspirasi. Salah satunya cerita pendek cemerlang “Surat dari Gaza”.

Karya yang ditulis tahun 1956 ini sebuah cerpen yang imajinatif dan cerdik. Pembaca diposisikan sebagai pembaca dan sekaligus penerima surat dari sahabatnya di Gaza. Persahabatan mereka hangat dan kocak sejak keduanya menjalani masa kanak di Gaza. Si pengirim surat, yang bekerja di Kuwait atas saran sahabatnya yang di Sacramento, Amerika, itu, tengah berada di Gaza.

Pengirimannya terkait itikad baik yang meyakinkan dari Mustafa, yang disampaikan sebagai pembuka surat balasan ini: Aku telah menerima suratmu, yang berisi pernyataan bahwa kau telah melakukan segala hal yang diperlukan agar aku bisa tinggal bersamamu di Sacramento. Aku pun telah menerima kabar bahwa aku telah diterima di jurusan Teknik Sipil di Universitas California.

Kabar tersebut membuat si penulis surat semakin mendidih ingin segera terbang ke California, terlebih setelah ‘’orang-orang Yahudi membombardir distrik pusat Sabha & menyerang Gaza, Gaza kita, dengan bom & penyembur api.” Peristiwa ini membuatnya “membenci Gaza dan penduduknya.

Segala sesuatu di kota yang diamputasi itu mengingatkanku pada gambar-gambar gagal yang dilukis dengan warna abu-abu oleh seorang pria sakit.”

Gaza pun di matanya “tertutup seperti lapisan cangkang siput berkarat yang terombang-ambing oleh ombak di pantai berpasir yang lengket di dekat rumah pemotongan hewan. Gaza ini lebih sempit daripada pikiran orang yang sedang tidur dalam pergolakan mimpi buruk yang menakutkan, dengan jalan-jalan sempit yang memiliki balkon yang menonjol... Gaza ini!”

Namun, ketika ia tiba di rumah ibunya, janda mendiang saudara laki-lakinya memintanya untuk menjenguk Nadia di rumah sakit. Permintaan ini dipenuhinya. Bukan hanya karena iparnya meminta dengan air mata, tapi terutama karena anak tiga belas tahun itu adalah ponakan yang sangat disayanginya. Dan belum lama ponakan itu menyuratinya meminta dibelikan celana panjang merah.

Maka, di kamar rumah sakit, ia terjelengar ketika Nadia menyingkapkan selimut dan memperlihatkan kakinya yang diamputasi dari atas pahanya. Dan ini, kata ibunya dan iparnya, adalah karena Nadia melindungi adik-adiknya. “Nadia telah kehilangan kakinya ketika ia melemparkan dirinya ke atas adik-adiknya untuk melindungi mereka dari bom & api yang telah menancapkan cakar mereka ke dalam rumah. Nadia bisa saja menyelamatkan dirinya sendiri, ia bisa saja melarikan diri, menyelamatkan kakinya. Namun ia tidak melakukannya.”

Itulah yang membuat “Surat dari Gaza” dipungkas seperti ini: “Tidak, sahabatku, aku tak akan datang ke Sacramento, dan aku tak menyesal. Tidak, dan aku juga tak akan menyelesaikan apa yang telah kita mulai bersama di masa kanak-kanak. Perasaan samar yang kau miliki saat meninggalkan Gaza, perasaan kecil ini harus tumbuh jadi raksasa di dalam dirimu. Perasaan itu harus berkembang, kau harus mencarinya untuk menemukan dirimu, di sini di antara puing-puing kekalahan yang buruk."

"Aku tak akan datang kepadamu. Namun, kamu, kembalilah kepada kami! Kembalilah, untuk belajar dari kaki Nadia yang diamputasi dari ujung paha, apa arti hidup dan apa arti keberadaan.”

Trump, Benjamin Netanyahu, dan sekutu mereka dapat dipastikan tak akan sudi peduli akan semua yang seperti itu. Namun, di benak Shibli, semua yang seperti itu merupakan detail-detail kecil yang diminorkan dan dimarginalkan yang justru karenanya harus dibawa ke tengah, ke pusat sejarah.

Membawanya ke tengah, ke pusat sejarah, tak mustahil dapat mewujudkan potensi dari puisi Darwish “Under Siege”: Di sini, di lereng bukit / menghadapi senja dan meriam waktu / Dekat dengan taman bayangan yang pecah/ Kami melakukan apa yang dilakukan para tahanan/ Dan apa yang dilakukan para pengangguran / Kami menumbuhkan harapan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang sastra dan Palestina

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//