• Opini
  • PHP Awal Tahun pada Dosen ASN Se-Indonesia

PHP Awal Tahun pada Dosen ASN Se-Indonesia

Bila dosen ASN kini menuntut pembayaran tukin, mereka juga harus mendukung rekan swasta untuk mendapatkan upah layak dan penghapusan beban kerja berlebih.

Dhien Favian A

Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Ilustrasi kuliah. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano Irakaswar/BandungBergerak/Mahasiswa di Institut Teknologi Sumatera)

20 Februari 2025


BandungBergerak.id – Tanggal 3 Februari 2025, untuk pertama kalinya, dosen ASN di seluruh Indonesia mengadakan demonstrasi besar di depan gedung Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk menuntut pencarian tunjangan kinerja (tukin) sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh Nadiem Makarim, menteri pendidikan sebelumnya. Aksi ini sehubungan dengan komitmen Nadiem yang seharusnya menjadi awal yang membahagiakan bagi dosen PNS yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebelum berganti menjadi Kemendiktisaintek. Tepat sebelum pergantian menteri oleh Prabowo pada Oktober 2024, Nadiem Makarim telah menetapkan Peraturan Mendikbud (Permendikbud) No 44 Tahun 2024 tentang tupoksi dan gaji dosen. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa setiap dosen (baik ASN maupun non-ASN) berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang setara dengan gaji pokok PNS, dengan simulasinya bahwa dosen non-ASN yang memegang jabatan Lektor Kepala mendapatkan gaji dan tunjangan setara golongan IV/a.

Selain Permendikbud, Nadiem juga telah menetapkan Keputusan Mendikbud No. 447 Tahun 2024 (Kepmendikbud) tentang pembagian tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen ASN. Peraturan ini secara tegas merinci besaran tukin yang berhak didapatkan oleh dosen ASN sesuai dengan jabatan fungsionalnya masing-masing. Sebagai contoh, dosen dengan jabatan asisten ahli mendapatkan tukin sebesar Rp 5 juta per bulan dan dosen dengan guru besar mendapatkan tukin sebesar Rp 19 juta per bulan. Selain besaran tukin, peraturan ini juga mewajibkan Kemendikbud (kelak Kemendiktisaintek) membayarkan tukin kepada semua dosen per tanggal 1 Januari 2025 dan begitu seterusnya untuk setiap bulan.

Untuk pertama kalinya, pemerintah secara perlahan berkomitmen untuk memperbaiki kesejahteraan dosen yang selama ini terabaikan. Pada bagian Permendikbud, untuk pertama kalinya, gaji antara dosen ASN dan dosen non-ASN di satu perguruan tinggi disetarakan besarannya. Meski belum  menjangkau PTS, namun ini menjadi langkah awal untuk memberikan rasa keadilan kepada dosen, terlepas dari pembagian PT di Indonesia yang sangat kompleks. Adapun untuk Kepmendikbud, pemerintah akhirnya memberikan kejelasan mengenai tukin dosen ASN yang sudah “absen” sejak tahun 2020. Perlu diketahui bahwasanya hanya dosen di bawah naungan Kemendikbud yang tidak mendapatkan tukin –dibandingkan dengan dosen dari kementerian lainnya seperti Kemendagri ataupun Kemenhub– dan peraturan ini dapat menjadi penegas dari peraturan sebelumnya (Permendikbud No. 49 Tahun 2020) untuk membayarkan hak-hak yang harus dibayarkan kepada dosen.

Baca Juga: Membedah Belum Maksimalnya Implementasi UU TPKS di Kampus-kampus
Berkaca dari Usaha ITB, Kampus Bisa Apa di Tengah Krisis Sampah?
Aksi Kamisan Bandung ke-420 Menakar 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran, Konflik di Papua, dan Kue Tambang untuk Kampus

Tukin yang Tak Kunjung Dibayarkan

Namun setelah lima tahun, Kemendikbud tak kunjung merealisasikan pembayaran tukin kepada dosen ASN. Sialnya, meski sudah dijanjikan besaran tukinnya dan tenggat pembayarannya di akhir 2024, kementerian baru (Kemendiktisaintek) yang dipimpin oleh tiga guru besar –Satryo Brodjonegoro, Stella Christie, dan Fauzan– tiba-tiba menyebutkan tidak ada anggaran tukin di awal tahun. Mereka –yang diwaliki Togar– beralasan bahwa pemecahan nomenklatur Kemendikbud menjadi tiga kementerian, salah satunya Kemendiktisaintek, menyulitkan pengajuan tukin ke dalam APBN 2025. Selain nomenklatur, mereka juga beralasan bahwa dosen ASN bukanlah pegawai Kemendiktisaintek

Pernyataan ini –sekali lagi– menjadi alibi yang tak berdasar. Kalau dibandingkan dengan makan bergizi gratis (MBG), pembayaran tukin secara kalkulasi tidak sampai ratusan triliun seperti yang digemborkan Zulkifli Hasan. Tapi hanya untuk memenuhi hak pengabdi pendidikan tinggi, sulitnya minta ampun. Kalau bisa dikata, sungguh miris apa yang dialami oleh para pengabdi ini, yang mencurahkan segala waktunya untuk memenuhi Tri Dharma++ (pengajaran, penelitian, pengabdian, dan administrasi plus-plus). Ibarat “sudah jatuh tertimpa tangga”, sudah lama nasibnya ndak jelas, sekalinya ada harapan langsung dijatuhkan dari langit. Padahal peran tukin sangat vital untuk “menyambung” hidup mereka yang pas-pasan –terutama melihat realitas penggajian mereka yang cukup minimal– dan ini belum termasuk dosen di wilayah 3T yang secara akses keuangannya masih minimal. Maka tidaklah heran ketika PHP ini memicu kemarahan para dosen ASN se-Indonesia.

Rentetan Aksi Menuntut Pembayaran Tukin

Berbagai rentetan aksi –mulai dari karangan bunga sampai mogok ngajar– mulai digelar sebagai protes atas tindakan kementerian yang semena-mena. Terdapat berbagai elemen yang mendukung aksi tersebut, salah satunya dari ADAKSI (Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek) dan SPK (Serikat Pekerja Kampus), yang mana kedua organ ini berhasil mengorganisasi dosen-dosen untuk menuntut keadilan mengenai pembayaran tukin. Ini tentu menjadi pencapaian luar biasa, mengingat selama ini dosen kerap “tidak bergeming” dengan urusan-urusan yang tidak berhubungan dengan hajat hidupnya, dan aksi ini hanya sebuah permulaan untuk menyadarkan mereka akan pentingnya kesejahteraan dosen.

Sebelum ADAKSI melakukan rentetan aksi, SPK telah lebih dulu menuntut kesejahteraan dosen ke DPR dan Kemendiktisaintek. Tuntutan demi tuntutan (gaji pokok semua dosen minimal 3x UMR daerah, perombakan beban administratif dosen, dll.) mereka suarakan kepada Satryo dan Komisi X DPR dan janji “mereka” untuk memenuhi tuntutan ini masih harus dikawal supaya seluruh dosen mendapatkan haknya secara maksimal. Baru ketika masalah tukin bermunculan, ADAKSI bergerak untuk mendesak pembayaran tukin dan mereka juga akan menggelar aksi besar-besaran pada awal Februari. Namun demikian, sektoralisasi pendidikan tinggi jangan sampai menghalangi pergerakan para akdemisi. Meskipun pembayaran tukin menjadi main highlight dari aksi dosen, namun gebrakan ini juga harus membersamai perjuangan rekan-rekan swasta.

Sebagai awalan, pembagian dosen di PTN dan PTS saja sudah memicu “kecemberuan sosial”, dengan persepsi bahwa dosen PTN mendapatkan segala fasilitas yang diberikan oleh negara dan dosen PTS hanya mendapatkan bayaran yang bisa disediakan seadanya oleh yayasan, bahkan di bawah UMR. Alhasil, banyak yang menganggap bahwa dosen PTN itu lebih “sejahtera” dibandingkan PTS tanpa melihat fakta bahwa dosen PTN pun tidak demikian (kecuali yang punya pekerjaan sampingan). Tentu bakal ada yang cemburu melihat rekan-rekan ASN mereka menuntut tukin, sementara untuk memperjuangkan nasib mereka aja masih kesulitan, dan hal inilah yang harus dimitigasi oleh teman-teman akademisi. Untungnya, ada SPK yang tidak pandang bulu memperjuangkan kesejahteraan dosen dan saat ini sedang menghimpun kekuatan dari berbagai penjuru kampus. SPK inilah yang saat ini dapat menjadi wadah bersama bagi dosen swasta untuk sama-sama menuntut keadilan bersamaan dengan dosen ASN yang sedang berjuang.

Ini tentu menjadi modal besar untuk menaikkan harkat dan martabat pendidikan tinggi. Baik negeri dan swasta, semuanya saling berjuang untuk mencapai kebutuhan hidup layak, karena dengan cara itulah dosen dan tenaga pendidiknya bisa sejahtera. Dengan sejahteranya mereka, maka kualitas pendidikan tinggi akan naik secara signifikan dan sumber daya manusia Indonesia akan dapat menyandingi negara maju. Namun demikian, perjuangan ini tentu jangan dikotak-kotakkan dengan kepentingan jangka pendek semata. Bila dosen ASN kini menuntut pembayaran tukinnya mereka, mereka juga harus mendukung rekan swasta untuk mendapatkan upah di atas layak dan penghapusan beban kerja berlebih. Ketika tukin dosen ASN berhasil dibayarkan, maka kemenangan ini menjadi momentum untuk mendesak perubahan yang lebih substansial terkait dengan pengupahan dosen, yang nantinya akan membuat mereka semakin bersahaja.

Akhir kata, konsistensi gerakan yang solid antara dosen ASN dan swasta menjadi langkah yang perlu disusun pasca aksi tukin. Dengan metode inilah, bukan tidak mungkin harapan mereka akan menjadi kenyataan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang kampus

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//