Aksi Kamisan Bandung ke-420 Menakar 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran, Konflik di Papua, dan Kue Tambang untuk Kampus
Pegiat Aksi Kamisan Bandung diikuti mahasiswa, pelajar, dan aktivis. Menagih negara untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Penulis Yopi Muharam24 Januari 2025
BandungBergerak.id - Hujan disertai angin membasahi muka Kota Bandung saat payung Aksi Kamisan hendak dibuka. Dengan basah kuyup, pegiat Aksi Kamisan segera bergegas meninggalkan Gedung Sate menuju Taman Pasopati, Kota Bandung untuk melanjutkan orasi menyuarakan isu Hak Asasi Manusia.
Sebelum memulai orasi, pegiat Aksi Kamisan, Fayad selalu membuka dengan mengheningkan cipta dan berdoa untuk para korban kekerasan negara. Tidak hanya itu, Fayad juga mengomandoi agar peserta Aksi Kamisan berdiam diri di tempat selama dua menit.
“Para korban akan terus hidup, (walaupun) secara fisik mereka sudah mati,” ujarnya setelah aksi diam dua menit selesai, Kamis, 23 Januari 2025. “Tapi kami tetap meyakini semangat juang mereka akan terus ada, akan terus membara pada tiap-tiap diri kita,” lanjutnya.
Kini Aksi Kamisan Bandung ke-420 membuat tema khusus tentang 100 hari kepemimpinan di bawah komando Prabowo-Gibran. Kendati Prabowo yang diduga sebagai pelaku kekerasan HAM di masa lalu dan kini menjadi Presiden di Indonesia, mereka tetap melakukan aksi kamisan. Tujuanya tetap sama: menuntut keadilan untuk para korban kekerasan negara.
Selama 100 hari kepemimpinan Prabowo, Fayad menilai tidak ada iktikad baik dari rezim sekarang untuk menuntaskan pelanggaran HAM. Tidak hanya kasus di masa lalu saja, Fayad juga menyoroti kasus pelanggaran HAM yang baru-baru ini marak terjadi.
Misalnya tentang penggusuran dan perampasan ruang hidup dengan tameng program strategis nasional (PSN) yang marak terjadi di beberapa pulau besar di Indonesia. Dia memberi contoh, perampasan tanah adat di Merauke yang mencaplok hutan seluas 2 juta hektare, demi mempercepat food esatate atau swasembada pangan.
Belum lagi penggunaan sumber daya negara seperti militer selalu menghantui masyarakat yang menolak tanahnya digusur paksa demi PSN. Fayad menjelaskan proyek PSN seperti yang sudah terjadi di Kalimantan lalu gagal, seharusnya pemerintah tidak perlu beralih ke Papua. “Proyek food estate bukanlah suatu keberhasilan,” tegasnya.
Tetapi ketika negara memaksakan program ini kembali dilakukan, malah memperparah konflik agraria dan melanggengkan kekerasan untuk mengusir masyarakat dari tempatnya. “Karena negara beranggapan bahwasanya tanah-tanah yang digunakan untuk food estate adalah lahan-lahan kosong,” terangnya.
Suara dari Ujung Timur Indonesia
Setelah Fayad selesai melakukan pembukaan ihwal kondisi negara 100 hari terakhir, seorang perempuan mengenakan kacamata hitam yang ditempelkan di atas keningnya menyambut mik Fayad. Dia adalah Siska. Peserta Aksi Kamisan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Siska bercerita, di kampung halamannya di Nabire, Papua konflik masih terus terjadi. Aktornya antara lain adalah tentara Indonesia. Keluarganya, sejak pesta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berlangsung bulan November tahun lalu, harus mengungsi ke dataran pegunungan demi menghindari konflik di kampungnya.
Belum lama ini, keluarganya baru turun di pegunungan setelah konflik mereda. Tetapi Siska menyatakan bahwa situasinya belum 100 persen kondusif. Tidak hanya itu, konflik meletus di beberapa daerah di Papua. Siska sering bertukar kabar dengan kerabatnya yang ada di Papua.
Mahasiswa Unpas semester akhir itu mengatakan, kekerasan dan penindasan masih kerap dijumpai di Papua. “Pelanggaran yang terjadi di tanah papua ini memang diakibatkan oleh militer-militer yang diutus dari negara Indonesia sendiri,” jelasnya.
Siska melanjutkan bahwa rakyat Papua merasa terjajah dengan pendudukan militer di sana. Belum lagi dengan adanya proyek PSN yang menjadi tanah Papua sebagai objek PSN itu sendiri.
Pendudukan militer yang terjadi di tanah Papua, menurut Siska bukan malah meredakan situasi. Malah kekerasan terus terjadi di sana. Bahkan, hingga kini penyelesaian kasus pelanggaran HAM belum pernah terwujud.
Menurut pandangan Siska, Indonesia tidak menginginkan orang-orang Papua. Dia menilai Indonesia hanya ingin mencaplok sumber daya alam yang terkandung di tanah Papua. Bahkan pemekaran yang disahkan oleh Presiden Jokowi pada 30 Juni 2022 silam, sama sekali tidak membantu rakyat Papua sejahtera.
Dia menegaskan, rakyat Papua tidak butuh dengan adanya pemekaran provinsi atau kabupaten baru. “Tapi memang rakyat Papua itu sendiri menginginkan hak menentukan nasibnya sendiri,” tegasnya.
Lagi-lagi Siska menegaskan bahwa kebrutalan aparat negara malah membuat rakyat Papau semakin menderita. “Hampir setiap hari juga saya mendengar berita duka, baik itu di tempat pengungsian, di tempat perkotaan, dengan penembakan-penembakan yang dilakukan oleh militer Indonesia,” ujarnya.
Gula-gula Manis di Papua
Tanah Papua yang memiliki sumber daya alam melimpah, mengundang sejumlah perusahaan negara atau nonnegara untuk mengeruk tanahnya. Kemarahan rakyat Papua atas tindakan sewenang-wenang itu membuat Indonesia menetapkan Otonomi Khusus (Otsus) pada tahun 2001 hingga kini.
Tujuan dari otsus sendiri antara lain adalah untuk mewujudkan keadilan, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Akan tetapi, Siska membantah itu semua. Penetapan otsus, Siska menyebutnya gula-gula manis. “Jadi manisnya itu hanya di awal lalu pada akhirnya membunuh rakyat Papua itu sendiri,” ungkapnya.
Kekayaan sumber daya alam itu menurut Siska tidak dirasakan oleh rakyat Papua sendiri. Melainkan pejabat dan pemerintah Indonesia saja yang merasakannya. “Kemudian yang didapatkan oleh rakyat Papua itu sendiri hanya penderitaan, hanya penindasan, hingga detik ini,” tuturnya.
Selain Siska, kerabatnya juga turut hadir dalam Aksi Kamisan. Namanya Pilamo. Saat sesi bercerita, Pilamo berujar “Keresahan saya hari ini adalah lapar,” bukanya. Pilamo melanjutkan kekayaan alam yang terkandung di alam Papua tidak menjaminnya hidup sejahtera.
Dia menyadari bahwa negara saat ini tidak mempedulikan rakyat Papua. Pemerintah dianggap gagal menjawab keresahan rakyat Papua. “Karena yang mereka utamakan dan pedulikan, di Papua bukanlah kami orang Papua. Tetapi sumber daya alam kami,” tandasnya.
Kendati demikian, Pilamo mendapat secercah harapan dari Menteri HAM orang asli Papua (OAP) Natalius Pigai. Dia menyangka dengan dilantiknya OAP sebagai menteri HAM dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Tetapi faktanya sama aja, mereka adalah satu komplotan yang tidak mempedulikan hak-hak manusia atau keadilan terhadap korban,” tuturnya.
Dia juga menyoroti tentang stigma kemiskinan di Papua. Bagi pemerintah Indonesia, ujarnya, kemiskinan bisa dinilai dari masyarkat setempat yang masih melakukan pertanian, berburu, hingga meramu.
Jika ingin dianggap sebagai masyarakat modern atau diukur kesejahteraanya, lanjutnya, di Papua mesti harus ada program food estate. “Kalau saya melihatnya bukan kah justru kita menghilangan pangan-pangan lokal, pangan-pangan masyarakat adat,” lanjutnya.
Pilamo menilai dengan adanya proyek mercusuar tersebut, malah berakibat pada kehilangan pangan-pangan lokal masyarakat adat. Bahkan berakibat krisis pangan. Lebih buruknya adalah program tersebut dapat menghilangkan sumber kehidupan masyarakat adat Papua.
Seharunya kebijakan yang diterapkan pemerintah sesuai dengan kebutuhan rakyat Papua. Dia menganalogikan rakyat Papua sebagai pasien dan negara sebagai dokter. Seharusnya dokter menanyakan terlebih dahulu penyakit atau keluhan pasien sebelum memberikan obat. Bukan malah sebaliknya.
“Jadi (negara) tidak menanyakan sakitnya apa, kebutuhannya apa, atau keluhannya apa, tetapi negara seolah-olah tahu bahwa orang Papua sakitnya ini, lalu dikasih obat,” jelasnya.
Baca Juga: Mengingat 18 Tahun Aksi Kamisan, Sampai Kapan Negara Mengabaikan Penyintas Pelanggaran HAM?
Aksi Kamisan Bandung Tentang Rezim Prabowo
Peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan di Bandung, Jalan Panjang Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Keresahan Mahasiswa
Di sisi lain, dua orang anak muda juga turut menyuarakan keresahannya di ranah pendidikan. Mereka adalah Nabil dan Ace. Nabil salah satu mahasiswa di UPI mengeluhkan terkait biaya uang kuliah tunggal (UKT) tiap tahun kian mencekik.
Nabil menilai, kampus seperti perusahaan yang mengeruk keuntungan dari mahasiswanya untuk mencari keuntungan. Belum lagi, bagi mahasiswa yang masuk dalam seleksi mandiri diwajibkan untuk membayar biaya bangunan sampai puluhan juta rupiah.
Keresahan Nabil tidak berhenti di situ. Status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) memberi karpet merah kepada kampus untuk mencari pemasukan dari luar. Contohnya mengkomersialisasikan fasilitas kampus untuk disewakan.
“Beberapa fasilitasnya yang bahkan mahasiswa sendiri harus bayar, atau mungkin tersisihkan karena orang-orang yang dari luar kampus juga lebih bisa menyewa dari fasilitas entah itu gedung serba guna atau GOR olahraga,” keluhnya.
Ditambah setelah adanya RUU Minerba yang jadi usulan DPR beberapa waktu lalu. Dalam pasal 51 ayat 1 yang berbunyi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas, itu seperti memberi karpet merah bagi kampus untuk mengeruk pemasukan selain dari UKT mahasiswa.
Bagi Nabil rancangan RUU Minerba harus dikawal oleh mahasiswa. Jangan sampai kampus berdalih ingin mengurangi biaya kuliah dengan mengeruk sumber daya alam.
Di sisi lalin, Ace menyambut terkait RUU Minerba ini. Menurut Ace kampus telah melenceng dari marwah yang seharusnya fokus pada pendidikan. Dia mengutip pernyataan dari buku Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire. Ace menjelaskan bahwa pendidikan itu kata dasar dari didik yang berarti kehendak.
Seharusnya, lanjut Ace, mahasiswa dan pelajar dibebaskan untuk mengkritik pemerintah atas segala kebijakan yang dibuatnya. Menurut Ace pemerintah sekarang seolah membuat kebijakan yang seolah negara sedang baik-baik saja.
“Negara seperti ingin menunjukan bahwa Indonesia itu baik-baik saja,” terangnya.
Di sisi lain, Nabil juga menyoroti tentang kesejahteraan dosen. Dia pesismis Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk kampus akan menjamin kesejahteraan para tenaga pendidik dan kependidikan.
“Tapi aku sih enggak percaya, mungkin tetap aja mahasiswa akan kesulitan bayar UKT, dosen-dosennya juga tidak mendapatkan upah yang layak,” tuturnya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain Tentang Hak Asasi Manusia