Aksi Kamisan Bandung Tentang Rezim Prabowo: Habis Gelap Terbitlah Gulita
Aksi Kamisan Bandung pesimis dengan penegakan HAM di bawah rezim Prabowo-Gibran. Solidaritas masyarakat sipil menjadi kunci.
Penulis Yopi Muharam1 November 2024
BandungBergerak.id - “Jadi rezim hari ini bukan hanya gelap tapi sudah gulita. Karena kita juga tidak bisa memandang rezim ini akan baik-baik saja,” tutur Wanggi Hoed, seniman Pantomim sekaligus penggagas Aksi Kamisan Bandung, setelah orasi di Aksi Kamisan, di pelataran Gedung Sate, Bandung, Kamis, 31 Oktober 2024.
Aksi Kamisan ke-415 ini menjadi yang perdana sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Aksi Kamisan Bandung mengusung tema ‘Dimulainya Masa Kegelapan’. Hal itu merespons akan buramnya penegakan Hak Asasi Manusia di rezim baru ini.
Wanggi menjelaskan bahwa rezim saat ini menjadi transisi masa kegelapan menjadi gulita. Dia menyadari, selama Jokowi berkuasa selama dua periode, belum ada satu pun pelaku pelanggaran HAM di masa lalu diadili. Bahkan di periode keduanya, Jokowi memberi karpet merah kepada Prabowo untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Artinya, menurut Wanggi transisi kegelapan sudah dimulai.
“Ternyata memang setelah rezim ini berganti, kegelapan ini makin kelam,” kata Wanggi. Dia menyoroti perkataan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, yang menyatakan bahwa tragedi 98 bukan termasuk pelanggaran HAM berat. Lantas Yusril pun menjadi sorotan. Sebab perkataan itu muncul setelah dirinya baru dilantik.
“Itulah sejarah yang mulai dialihkan. Sejarah itu mulai untuk dibutakan dengan pernyataan tersebut,” jelas Wanggi, menanggapi pernyataan bekas ketum Partai Bulan Bintang (PBB) itu. Ada kekhawatiran bagi Wanggi menyangkut pernyataan Yusril tersebut.
Di sisi lain, pegiat Aksi Kamisan, Ojan mengungkapkan hal yang sama dengan Wanggi. Dia menyebut bahwa tema yang dimaksud dalam Kamisan kali ini ialah sebagai representasi lahirnya anak kandung dari Orde Baru. Ojan menegaskan bahwa dilantiknya Prabowo sebagai presiden merupakan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Hal yang dikhawatirkan oleh Wanggi, dirasakan juga oleh Ojan. Dia melihat fenomena saat masa kampanye pilpres sedang berjalan. Di mana Prabowo, mantan jenderal bintang tiga itu yang juga terlibat dalam penculikan masa lalu, dapat begitu saja dilupakan dengan aksi joget-joget. Pendukungnya mencapnya ‘gemoy’.
Namun Ojan menyatakan, kesalahan yang ditutupi pada akhirnya akan tercium. Belum lagi, saat pernyataan Prabowo yang mengatakan, jika tidak ada yang setuju dengan roda pemerintahannya maka dipersilakan untuk jadi penonton di pinggir jalan.
“Itu salah satu tanda, bahwa pemerintahan sekarang tidak ingin diusik dan dikritik,” lanjut Ojan. Di samping itu, Ojan tidak merasa aneh dan heran dengan pernyataan Yusril. Menurutnya, sekarang Yusril berada di jajaran pemerintahan. Anak buah Prabowo, kata Ojan. Mau tidak mau, anak buah harus patuh terhadap bosnya.
“Dia menjalankan tugas untuk memberikan cermin ke publik, bagaimana roda pemerintahan ini bakal berjalan,” jelasnya. “Tapi jelas itu statemen yang salah dan busuk,” lanjutnya.
Bagi Ojan, pernyataan Yusril seakan tak acuh dengan pernyataan Jokowi satu tahun lalu, yang mengakui adanya 12 jenis pelanggaran HAM masa lalu, termasuk tragedi 1998.
Salah satu peserta Aksi Kamisan, Pilamo menyadari bahwa pelanggaran berat yang dilakukan Prabowo terjadi juga di Papua. Kesadaran Pilamo berujung pada keresahan. Bahwa terduga pelanggaran HAM berat itu telah menjadi pemimpin utama Republik Indonesia.
“Kita tahu betul bahwa dia (Prabowo Subianto) adalah pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, entah di Papua maupun di tempat lain,” tutur anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu.
Solidaritas, Solidaritas, Solidaritas
Menanggapi rezim untuk lima tahun ke depan, solidaritas merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hal tersebut diungkapkan oleh Wanggi. “Ini juga harus jadi catatan untuk kepekaan kita terhadap rezim hari ini,” ujar Wanggi saat ditanya hal yang harus dilakukan masyarakat.
Tidak hanya menyangkut tentang pelanggaran di masa lalu. Bagi Wanggi kemungkinan yang bakal terjadi ke depanya pun harus dipersiapkan. Dia menyoroti anggaran raksasa untuk program makan siang gratis bagi pelajar. Hal yang harus diperhatikan oleh masyarakat, kata Wanggi, ialah kemelekan jika ada anggaran yang lebih urgent harus dipotong demi makan siang gratis itu.
“Taruhlah hari ini mereka akan memotong uang pendidikan untuk makan gratis, itu juga harus dipikirkan,” ungkapannya.
Di sisi lain, Ojan menyadari, ada ketakutan masyarakat untuk mengkritik rezim mantu Suharto itu. Akan tetapi hal terpenting yang harus dilakukan masyarakat adalah terus melek akan informasi dan fakta. Terlebih yang menyangkut tentang hak-hak masyarakat.
Menyoal makan siang gratis, Ojan berpandangan lain. Dia tidak melihat adanya perubahan yang baik untuk masyarakat. Malah, bagi Ojan program semacam makan siang gratis atau adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah upaya untuk meredam kekritisan masyarakat. Terutama kelas menengah ke bawah.
“Sebetulnya itu kan upaya memanipulasi masyarakat agar ketergantungan terhadap pemerintah,” tegasnya. “Jadinya masyarakat enggak produktif. Jangan sampai (masyarakat) dininabobokan (dengan program pemerintah itu),” lanjutnya.
Hal berbeda diungkapkan oleh Pilamo. Dia menyoroti kampung halamannya di Papua yang akan diadakan transmigrasi besar-besaran di era Prabowo. Menurutnya hal tersebut dapat berdampak bagi rakyat di Papua. Terlebih program tersebut akan menambahkan personel militer di Papua.
“Orang Papua akan lebih banyak keresahan, lebih banyak tangisan, lebih banyak penggusuran, dan lebih banyak pelanggaran HAM,” jelas Pilamo. “Saya pikir ini bukan persoalan orang Papua tetapi persoalan kita bersama sebagai manusia karena kita berbicara soal pelanggaran HAM,”.
Lebih dari itu, sejak era Jokowi, Papua menjadi target untuk keberlangsungan proyek strategis nasional berbentuk lumbung pangan atau food estate. Lahan seluas 2 juta hektare yang dibangun di Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) akan dijadikan cetak sawah dan tebu.
Mega proyek tersebut lantas mendapat penolakan dari rakyat Papua di Merauke, Papua Selatan. Menanggapi hal tersebut, rakyat Papua Selatan berdemo di depan kantor Kementerian Pertahanan pada Rabu, 16 Oktober 2024 lalu. Mereka menolak adanya program tersebut.
“Proyek berlangsung brutal, tanpa ada sosialisasi dan tanpa didahului konsultasi mendapatkan kesepakatan kesepakatan masyarakat adat,” kata Pastor Pius Manu, pemilik tanah adat dan pemuka agama dalam konferensi pers usai unjuk rasa itu.
Baca Juga: Dukungan untuk Wadas dari Aksi Kamisan Unisba, Aksi Kamisan Bandung dan Pasar Gratis Bandung
PAYUNG HITAM #23: 17 Tahun Aksi Kamisan, Semakin Hilangnya Identitas Korban
PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
Selangkah Maju, Empat Langkah Mundur
Baru-baru ini terjadi sebuah pembunuhan karakter yang ditujukan kepada jurnalis perempuan, Najwa Shihab. Dalam platform Tik-Tok ramai konten yang menunjukan buku berjudul Catatan Najwa itu dibakar.
Buku bersampul merah itu sengaja dibakar oleh kreator dengan narasi merendahkan. “Efek cuaca panas bisa keluar api gini. Menyala Mbak Nana,” tulis video yang diunggah salah satu pemilik akun.
Bagi Wanggi, tindakan tersebut merupakan kemunduran kebodohan. Bahkan, Wanggi menilai pembakaran itu berujung pada intimidasi secara personal kepada Najwa Shihab. Praktik itu, menurut Wanggi seperti efek bola salju.
“Bahwa penyerangan-penyerangan itu akan menyerang individu, kemudian pada komunal,” tuturnya. Wanggi melanjutkan, aksi tersebut sudah mencerminkan bibliosida atau pemberangusan buku. “Gerakan pembakaran buku ini juga mengindikasi adanya bibliosida muncul kembali,” lanjutnya.
Hal yang harus dilakukan masyarakat, ujar Wanggi, adalah harus memperkuat ruang-ruang literasi dan diskusi untuk melawan aksi bibliosida tersebut. Lebih dari itu, Wanggi menilai sudah adanya agen-agen atau buzzer untuk menyerang Najwa Shihab yang dikenal gencar melakukan kritik terhadap rezim.
Hal itu juga diungkapkan oleh Ojan. Dia mengatakan pembakaran dan penyerangan personal terhadap Najwa Shihab adalah sebuah bentuk ancaman pemerintah melalui tangan-tangan buzzer. Menurutnya ancaman tersebut akan berdampak bagi masyarakat lainnya yang juga gencar melancarkan kritik terhadap pemerintah.
“Itulah ancaman dari pemerintah untuk membuat publik merasa ketakutan untuk bersuara. Bayangkan saja seorang Najwa Shihab akan dibunuh karakternya,” ungkap Ojan. “Itu tentu akan berdampak pada masyarakat yang lebih luas jika memang kita tidak bisa merawat jaringan untuk memperkuat keberanian,”.
Melihat fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, Ojan dan Wanggi mengungkapkan hal serupa. Tidak adanya harapan untuk rezim saat ini. Bagi Ojan, bukan harapan yang mesti dirawat. Tetapi rasa pesimismelah yang harus dimunculkan.
“Karena ketika rasa pesimis disebarkan seluas-luasnya maka bakal banyak publik yang akan kecewa dan marah, maka roda pemerintahan akan tergoyang,” ujar Ojan. “Belum ada harapan apa pun untuk rezim hari ini,” Wanggi menutup.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain Tentang Aksi Kamisan Bandung