Membedah Belum Maksimalnya Implementasi UU TPKS di Kampus-kampus
UU TPKS memang sudah disahkan. Bukan berarti ruang aman bagi perempuan sudah tercipta.
Penulis Tofan Aditya8 Desember 2022
BandungBergerak.id - Auditorium Gedung Geugeut-Winda UPI riuh oleh tepuk tangan ketika Teater Lakon tiba pada adegan terakhir pementasannya. Kelompok teater UPI ini berhasil menampilkan pementasan simbolik yang ciamik, yang tidak membiarkan mata dari setiap peserta memandang ke arah lain. Pentas ini menggambarkan bagaimana belum adanya ruang aman bagi perempuan, bahkan setelah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan.
“Aku melihat bahwasanya itu adalah respons yang sesuai dengan temanya, kekerasan terhadap perempuan,“ tutur Eun, salah satu penonton.
Penampilan dari Teater Lakon adalah agenda pembuka dari Diskusi Publik UU TPKS bertajuk “Menciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS”, Selasa (6/12/2022). Dengan mengambil momentum 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), kegiatan ini mencoba menengok implementasi UU TPKS setelah hampir delapan bulan disahkan.
“Dalam peringatan 16 HAKTP ini, selain Diskusi Publik dan Tes HIV, akan ada pula Group Therapy, K-Talk, dan Aksi,” kata Khalida, menjelaskan rangkaian 16 HAKTP.
Pada sesi diskusi, empat orang narasumber mencoba membagikan pandangannya terkait UU TPKS. Maulida Zahra K., dari LBH Bandung, menjelaskan tentang perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Firman Nurdiansyah, selaku Sekretaris Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UPI, menjelaskan tentang peran UU TPKS dalam melindungi sivitas kampus dari kekerasan seksual.
Vini Zulva, dari Sapa Institute, menjelaskan tentang penjaminan hak kesehatan seksual dan reproduksi penyintas di UU TPKS. Terakhir, Azmi Mahatmanti, selaku Ketua Gender Research Student Centre (Great) UPI, menjelaskan tentang gerakan mahasiswa dalam mengawal implementasi UU TPKS.
Diskusi tersebut dimoderatori oleh Nabilah Amartya I. yang juga merupakan Wakil Presiden BEM Rema UPI 2022.
Meski hujan deras mengguyur Kota Bandung siang itu, para peserta yang telah mendaftar tetap hadir rangkaian acara. Terhitung, 44 orang telah duduk dan siap berdiskusi sejak pukul 13.30 WIB.
Seiring hujan mereda, peserta yang hadir kian banyak jumlahnya. Hanya tersisa beberapa kursi kosong yang dipakai oleh sebagian peserta untuk menyimpan tas dan jaket yang basah. Peserta yang hadir berasal dari berbagai macam instansi, kampus, dan organisasi. Total dari seluruh peserta yang hadir ada di kisaran angka 80 orang.
Selain Diskusi Publik UU TPKS, di Selasar Gedung Geugeut-Winda UPI dilaksanakan tes HIV gratis yang terbuka untuk umum. Seluruh kegiatan ini merupakan inisiasi dari Great dan Satgas PPKS UPI yang juga bekerja sama dengan LBH Bandung, Sapa Institute, Rutgers, dan Puskesmas Ledeng. Kegiatan ini juga dibersamai oleh berbagai organisasi kemahasiswaan di UPI.
Diskusi Publik, UU TPKS Belum Terimplementasi Maksimal
Saat diskusi, Maulida Zahra mengatakan bahwa perempuan sangatlah rentan menjadi korban dari kasus kekerasan seksual. Baik dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan maupun LBH Bandung, perempuan masih menduduki porsi dominan sebagai korban kekerasan seksual.
Menurut Maulida, hal tersebut dikarenakan budaya patriarki yang memunculkan pandangan bahwa perempuan lebih inferior dan laki-laki lebih superior.
“Karena ada anggapan itu (patriarki), kita diajarkan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan. Mungkin beberapa temen-temen juga diajarkan bahwa perempuan tidak boleh lebih dari laki-laki,” jawab Maulida ketika ditanya perihal alasan rentannya perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Lalu, berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual, mahasiswa yang pernah menempuh pendidikan sarjana dan magister di UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini mengatakan bahwa belum siapnya aparat penegak hukum menjadi penghambat dalam proses hukum bagi pelaku kekerasan seksual.
“Kadang kita tuh susah masuk di proses awalnya. Jadi, pas kita buat laporan kepolisian, polisi tuh meminta kita memiliki dua alat bukti kalau mau ngajuin. Padahal kan di UU TPKS tuh cukup satu,” seru Maulida.
Vini Zulva, dari Sapa Institute, menyoroti jaminan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Menurut Vini, korban pasti mengalami kerugian berupa luka, baik secara psikis maupun fisik.
Bahkan, menurut perempuan yang juga pernah bergiat di Women Studies Centre (WSC) dan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN Sunan Gunung Djati ini, selain mendapatkan luka, perempuan juga kerap mendapat stigma dari masyarakat.
“Ketika misalnya dia sudah menjadi korban, dia tertular HIV/AIDS. Biasanya, perempuan dengan penyakit seksual ini mendapat stigma di masyarakat. Mereka dijauhi masyarakat, bahkan keluarganya juga menjauhi,” tutur Vini dengan nada meninggi.
Ketika membicarakan hak korban dalam UU TPKS, Vini beranggapan bahwa UU TPKS ini cukup berperspektif korban dan setidaknya menjamin tiga hak: 1) perlindungan bagi korban melalui pendampingan dan pengaksesan layanan medis; 2) tindak pidana bagi pelaku kekerasan seksual; dan 3) restitusi.
Meski demikian, Vini masih menyayangkan bahwa hanya organisasi di akar rumput saja yang berjuang memenuhi hak-hak tersebut.
“Secara umum, UU TPKS memang belum terimplementasi dengan maksimal,” pungkas Vini.
Firman Nurdiansyah, Sekretaris Satgas PPKS UPI, menyoroti fakta di lapangan yang berbanding terbalik dengan tujuan dari UU TPKS. Menurut Firman, UU TPKS mestinya mampu memenuhi tujuan awalnya yang sesuai dengan Pasal 3, yakni: mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegak hukum dan rehabilitas pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
“Masih banyak hal-hal yang perlu kita perjuangkan terkait UU TPKS ini. Terlebih ada 5 peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang sampai sekarang belum dibuat. Itu menjadi PR kita bersama untuk memperjuangkan agar sesegera mungkin pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah dan peraturan presiden,” ucap Firman yang juga bekerja di Biro Hukum UPI.
Dalam data Satgas PPKS UPI, sejak bulan Mei 2020 sampai November 2022, terdapat 110 aduan kasus kekerasan seksual di UPI. Dari angkat tersebut, 95 persen korban berjenis kelamin perempuan dan sisanya adalah laki-laki. Dari angka yang terlapor tersebut, diduga kuat masih banyak kasus-kasus yang belum terlaporkan.
“Masalah di UPI sendiri adalah trust. Masih banyak dosen, mahasiswa, dan tenaga pendidikan yang belum sepenuhnya percaya kepada kami,” jawab Firman yang juga merupakan alumni Unpad.
Pemaparan pada diskusi publik ini diakhiri oleh Azmi Mahatmanti, Ketua Great UPI. Ia menyoroti pengesahan UU TPKS pada 12 April 2022 yang menjadi kabar menggembirkan mengingat perjalanan panjang selama proses legislasi.
Namun, bagi mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling ini, dengan disahkannya UU TPKS tidak menjadikan pekerjaan selesai. Justru diperlukan perjuangan yang lebih gigih lagi dalam pengimplementasian UU TPKS ini.
“Ketika undang-undangnya disahkan, justru harus bekerja keras dalam mengarusutamakan substansi dari UU TPKS ini ke dalam kanal-kanal struktural maupun kultural di masyarakat,” jelas Azmi yang juga aktif sebagai pers mahasiswa.
Dengan mengambil studi kasus di UPI, Azmi mengatakan bahwa secara pengetahuan, mahasiswa UPI telah mengetahui keberadaan UU TPKS ini. Sayangnya, dari segi pemahaman, belum banyak yang mengetahui substansi dari regulasi tersebut.
Oleh karenanya, Azmi mengusulkan tiga langkah strategis yang dapat dilakukan mahasiswa dalam mengawal UU TPKS agar tetap sejalan dengan substansinya, yakni dimulai dengan mengedukasi diri sendiri, kemudian mencari kawan-kawan untuk diajak bergerak bersama, dan berkomitmen penuh terhadap gerakan yang dibentuk.
“Ngomongin kekerasan seksual juga ngomongin perjuangan jangka panjang. Isu kekerasan seksual menjadi isu publik yang selalu dianggap isu privat. Dan, itu sudah tertanam bertahun-tahun. Jadi perjuangannya butuh proses,” papar Azmi.
Selepas pemaparan, beragam pertanyaan muncul dari peserta diskusi. Salah satu pertanyaan yang menarik disampaikan oleh Maula. Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Jerman tersebut berbagi pengalamannya semasa kecil saat keluarganya justru mendapat ancaman setelah membantu pelaporan korban kekerasan seksual. Maula mempertanyakan perlindungan bagi pelapor kasus kekerasan seksual.
Maulida menjawab pertanyaan tersebut. Menurut Maulida, di dalam UU TPKS termuat jaminan perlindungan bagi korban, saksi, dan pelapor. Namun sebagai upaya berjaga-jaga, Maulida juga memaparkan pentingnya merumuskan mitigasi resiko dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
“Saksi dan pendamping tidak dapat dipidana karena kesaksiannya,” lanjut Maulida.
Pertanyaan menarik lainnya disampaikan oleh Afina dari program studi Pendidikan Tata Boga UPI. Afina berpendapat bahwa pelaku yang telah menjalani hukuman berkemungkinan untuk kembali melakukan tindakannya. Kemudian, Afina mempertanyakan apakah UU TPKS cukup efektif untuk membuat jera pelaku agar tidak melakukannya lagi.
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Firman, bahwa pelaku sangat mungkin untuk melakukan kembali tindakannya pascadiberikan sanksi.
“UU TPKS tidak cukup untuk mencegah keberulangan tindakan yang dilakukan oleh pelaku,” kata Firman.
Firman kemudian berbagi pengalamannya terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Salah satu cara yang dilakukan oleh Firman beserta timnya adalah membuat perjanjian dengan pelaku untuk menaikan hukuman apabila kembali melakukan tindakan kekerasan seksual.
Selain Firman, Azmi berpendapat bahwa membuat pelaku menyadari tindakannya adalah perbuatan salah juga penting untuk dilakukan. Bagi Azmi, memindahkan pelaku ke lingkungan yang baru tidak menjadi solusi karena pelaku bisa saja melakukan kembali tindak kekerasan seksual di lingkungan barunya.
“Bukan menghilangkan orangnya yang menjadi penting, tapi perilakunya,” tutup Azmi.
Baca Juga: Pengesahan KUHP sebagai Pukulan Mudur terhadap Hak Asasi Manusia
Mengenal Profesi Pengalih Bahasa Bersama Ivan Lanin
Asa Publik Terkait Kasus Kekerasan Seksual
Meski telah berjalan selama hampir delapan bulan, nyatanya masih banyak yang masih belum paham dengan substansi UU TPKS. Padahal UU TPKS sangat penting untuk dikaji dan diimplementasikan, khususnya oleh mahasiswa, begitulah tanggapan Rangga.
Mahasiswa program studi Rekayasa Perangkat Lunak UPI Cibiru itu mengaku sulit mengajak kawan-kawan yang lain untuk belajar bersama memahami UU TPKS ini.
“Soalnya orang-orang suka skeptis ke hal-hal kayak gini. Banyaknya orang malas mikir karena terlalu kompleks,” tutur Rangga menjelaskan situasi di lingkungan kampusnya.
Eun, salah satu peserta yang berasal dari Makassar, melihat kejomplangan fenomena kekerasan seksual di daerah desa dan kota. Baginya, di kota lebih banyak yang peduli kasus kekerasan seksual dibandingkan di desa.
“Kalau di kota, akses itu mudah. Tapi di desa, praktik patriarki sangat kuat di situ. Bisa dibilang, betul-betul mendominasi. Itu yang menurut aku masih menjadi PR sampai sekarang sih,” tutur Eun yang belum genap satu tahun tinggal di Bandung.
Tidak ada satu pun yang berharap menjadi korban dari kekerasan seksual. Asa untuk menghapus kekerasan seksual terus dimimpikan. Rangga misalnya, sebagai seorang laki-laki, dia ingin setiap kasus yang terjadi dapat tertangani lebih tanggap dan cepat lagi. Sementara Eun menginginkan lebih banyak lagi diskusi-diskusi dan ruang aman semacam ini.
Waktu penunjukkan pukul 16.10. Hujan telah sepenuhnya reda. Tibalah saatnya setiap narasumber menyampaikan closing statement untuk Diskusi Publik UU TPKS hari ini.
Maulani mengatakan bahwa kita harus kembali menganggap setiap manusia itu setara.
“Jangan!” tegas Rangga ketika dimintai satu kata terkait kekerasan seksual.
Firman mengatakan bahwa setiap manusia harus kembali mengedepankan hati nuraninya.
“Tidak boleh ditolerir!” cakap Eun menanggapi banyaknya kasus kekerasan seksual hari ini.
Vini mengatakan bahwa setiap orang secara bersama-sama harus mampu membentuk ruang aman dan support system bagi lingkungannya.
“Sakit!” satu kata dari Khalida yang mewakili fenomena kekerasan seksual yang terjadi.
Azmi mengatakan bahwa setiap individu berhak mendapat ruang aman, bukan hanya bagi perempuan, tapi semua gender.