• Berita
  • Budaya Patriarki, Sumber Utama Kekerasan Seksual

Budaya Patriarki, Sumber Utama Kekerasan Seksual

Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan di universitas sebanyak 859 kasus pada 2021. Jumlah ini ibarat gunung es.

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual dan menghapuskan budaya patriarki. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Allaida Az Zahra8 November 2022


BandungBergerak.id - Pelaporan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus ibarat sebuah gunung es yang terlihat kecil di permukaan namun besar di kedalaman. Maka dari itu, banyak sekali kasus tersembunyi yang belum terungkap baik oleh para pemangku kebijakan maupun oleh khalayak umum.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, terdapat 2.204 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Dengan rincian, 1.149 kasus terjadi di ranah personal, 1.051 di ranah publik, dan 4 kasus di ranah negara. Jumlah tersebut meningkat 72 persen dibandingkan dengan jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada 2020.

Data Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa kejahatan seksual tidak mengenal batasan jenjang pendidikan. Artinya setiap jenjang pendidikan memiliki potensi terjadinya kekerasan seksual, entah di pesantren maupun institusi pendidikan umum.

Menurut data yang dikumpulkan berdasarkan laporan ke Komnas Perempuan maupun laporan dari berbagai organisasi masyarakat lainnya pada 2021, jumlah korban kekerasan terhadap perempuan tertinggi berada di bangku SMA, yakni sebanyak 2.679 kasus. Diikuti oleh SMP sebanyak 1.532 kasus, dan universitas sejumlah 859 kasus.

Angka-angka tersebut memberitahukan bahwa kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di usia produktif dan anak di bawah umur.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia CH. Salampessy mengatakan, kekerasan seksual erat kaitannya dengan penyalahgunaan relasi kuasa. Akarnya dapat ditelusuri pada budaya patriarki yang kental di masyarakat.

Menurut Olivia, budaya patriarki menjadi faktor utama terjadinya kekerasan seksual karena korban, dalam hal ini cenderung banyak dari kalangan perempuan, dijadikan masyarakat kelas dua yang dimarginalkan. 

“Kita perlu sadari bersama yang budaya kita budaya patriarki yang memang sudah hidup dan terinternalisasi dalam kehidupan kita sehari-hari di mana mengkonstruksi masyarakat dengan menempatkan perempuan itu sebagai subordinat sehingga kemudian pengalaman-pengalaman perempuan ini kemudian dimarjinalkan,” terang Olivia, dalam studium generale dengan topik Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di ITB, Rabu (2/11/2022).

Penyalahgunaan relasi kuasa dengan budaya patriarki juga dijelaskan oleh Kate Millett dalam bukunya Sexual Politics (1970) bahwa patriarki dilihat sebagai institusi politik, di mana  kata politik di sini mengacu pada semua “hubungan terstruktur kekuasaan” dan salah satu antara jenis kelamin adalah "hubungan dominasi dan subordinasi".

Hooks (2000) menyatakan budaya patriarki mengunggulkan laki-laki sebagai kelompok superior lebih dari wanita. Dengan adanya dominasi ini, laki-laki diwajarkan untuk mengeksploitasi dan menindas perempuan bahkan sekalipun dengan kekerasan.

Dapat disimpulkan bahwa patriarki akan menjadi sebuah konsep, terutama konsep budaya laki-laki yang akan diwariskan dari generasi ke generasi. Di sini, perempuan menjadi korban utama dari budaya yang diwarisi ini.

Dengan kata lain, ada hubungan erat antara budaya patriarki dan kekerasan seksual di mana korban dipandang sebagai objek atau makhluk yang tidak berdaya dan dapat diperlakukan bebas sesuai kehendak pelaku.

Baca Juga: Kejahatan Seksual akan Lebih Rentan Terjadi di Sekolah dengan Sistem Tertutup
Menghapus Kekerasan Seksual di Kampus dengan Sekolah Advokat Gender
Rendahnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Indonesia Mendorong Tingginya Kasus Pernikahan Anak

Hambatan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Pencegahan, penanganan, dan pemulihan menjadi aspek penting dalam mengurangi dan menanggulangi kasus kekerasan seksual. Namun, Olivia CH. Salampessy menyatakan ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan kasus kekerasan seksual.

Empat hambatan tersebut di antaranya impunitas pelaku kekerasan, penundaan berlarut kasus kekerasan seksual, lembaga pendidikan belum memiliki SOP pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual, serta masih adanya budaya victim blaming.

Olivia menjelaskan, impunitas pelaku kekerasan seksual sering kali berupa alternatif penyelesaian kasus yang ditawarkan oleh penegak hukum seperti mediasi. Faktor hambatan mengenai penundaan kasus yang berlarut terkait dengan kendala bukti dan administrasi yang dipermasalahkan oleh birokrasi.

Selanjutnya, payung hukum menjadi aspek penting untuk perlindungan dan jaminan korban. Khusus di ranah pendidikan tinggi, saat ini telah lahir Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Setiap kampus harus menurunkan peraturan ini dengan membentuk satuan-satuan tugas PPKS.

Terakhir, mengenai budaya victim blaming yang menitikberatkan sumber kasus pada korban yang mana berkorelasi dengan budaya patriarki.

Paradigma perempuan berpakaian terbuka, aturan tidak boleh keluar malam, serta analogi kucing-ikan asin menjadi bukti bahwa lingkungan dalam budaya patriarki gagal menciptakan ruang aman bagi perempuan dan masyarakat termarginalkan lainnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//