Rendahnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Indonesia Mendorong Tingginya Kasus Pernikahan Anak
Edukasi seksual masih dianggap tabu oleh masyarakat. Masih banyak orang tua yang menikahkan anaknya dengan alasan pragmatis.
Penulis Sherani Soraya Putri4 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Indonesia telah mengubah standar usia perkawinan bagi warga negaranya. Sebelumnya, usia pernikahan bagi perempuan harus menginjak 16 tahun, sesuai UU No. 01 Tahun 1974. UU ini kemudian diganti dengan UU No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan kenaikan minimal batas umur perkawinan bagi wanita menjadi 19 tahun. Aturan yang sama juga berlaku pada laki-laki.
Peneliti dari Universitas Atma Jaya Atashendartini Habsjah mengungkapkan, perubahan batas minimal pernikahan dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa perkawinan pada usia anak akan menimbulkan dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak dan tidak terpenuhinya hak mendasar bagi mereka.
Walaupun demikian, seiring pemberlakuan beleid tersebut, angka dispensasi (permohonan pernikahan anak) justru semakin meningkat. Merujuk data Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), antara tahun 2019 hingga 2021 kasus pernikahan anak di Indonesia mengalami kenaikan 30 persen.
Atashendartini Habsjah juga mencatat faktor sosial, budaya, dan agama turut mempengaruhi maraknya pernikahan anak. Faktanya, edukasi seksual masih dianggap tabu oleh masyarakat. Masih banyak orang tua yang menikahkan anaknya dengan alasan pragmatis. Padahal keputusan yang tidak mempertimbangkan kesiapan fisik maupun psikologis di usia mereka yang sejatinya masih anak-anak, akan menimbulkan dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan hidup suatu generasi.
Tabunya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di masyarakat itu sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. ”20 tahun lebih saya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan terkait hak kesehatan reproduksi dan hak seksual,” kata Atas, pada Training Jurnalis yang diselenggarakan Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) secara daring, Jumat (30/09/2022).
Atas juga menyampaikan beberapa hak reproduksi perempuan yang menjadi bagian penting hak asasi manusia (HAM), beberapa isu masih tabu di masyarakat, di antaranya: pil darurat (emergency pill) untuk perempuan yang tidak siap menerima kemungkinan hamil; Gagal KB, yakni akses terhadap pil untuk menghentikan kehamilan jika dia tidak siap hamil, serta penyediaan alat kontrasepsi gratis beserta jasa pemasangannya;
Berikutnya, kepemilikan kondom pada laki-laki maupun perempuan yang tidak boleh distigma sebagi pelaku perzinahan; hentikan kriminalisasi kondom; umur dan status nikah tidak boleh dijadikan standar untuk mendapatkan akses ke alat kontrasepsi; negara bertanggung-jawab penuh terjadinya kematian perempuan saat kehamilan, bersalin, dan pascasalin (masa nifas/post- partum);
Hentikan praktek komersialisasi layanan caesarian yang dilakukan para ahli kandungan, terlebih jumlah caesarian di Indonesia mencapai 30 persen padahal WHO hanya merekomendasikan 15 persen; penambahan jumlah rumah sakit dan rumah bersalin, walaupun faktanya angka RS swasta juga semakin melejit sejak diberlakukannya JKN tahun 2014 namun ironisnya kualitasnya masih di bawah standar; hentikan komersialisasi sunat perempuan.
Hak-hak perempuan tersebut menjadi kewajiban yang perlu dilaksanakan negara, bukan hanya sekadar peraturan di atas kertas.
Perempuan dalam Pusaran Konflik dan Bencana
Selain bergelut dengan hak-hak reproduksi, kaum hawa mengalami krisis multidimensi. Mereka menjadi pihak yang paling dirugikan di saat terjadi konflik maupun bencana.
Solidaritas Perempuan Indonesia Arie Kurniawaty menjelaskan kaum perempuan paling menerita dalam setiap konflik, seperti pertambangan, perkebunan skala besar, proyek mega infrastruktur, perampasan laut, dan perubahan iklim.
“Kemelekatan perempuan dengan alam dan lingkungan, menjadikan perempuan juga tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri, namun keluarga hingga komunitasnya,” tutur Arie Kurniawaty, pada acara yang sama.
Akan tetapi, perempuan masih sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor keterbatasan perempuan atas hak untuk mengakses informasi, serta tidak adanya perspektif gender dalam memahami peristiwa. Pada akhirnya perempuan menanggung beban lebih berat dan akibat mendalam dari konflik yang terjadi.
Dalam konteks bencana, Koordinator Aksi Kemanusiaan dan Resiliensi Yappika Indy menuturkan, posisi perempuan masih sering diabaikan. Kebijakan yang disusun didominasi oleh laki-laki.
“Hal tersebut semakin meminggirkan peran masyarakat perempuan lokal,” tegasnya. Padahal secara empiris, masyarakat daerah memiliki mekanisme tersendiri dalam menangani bencana berdasrkan pada pengetahuan lokalnya.
Yappika merekomendasikan agar dilakukan revisi terhadap UU Penanggulangan Bencana dan pengurangan risiko bencana lokal. Revisi ini diperlukan untuk memastikan penyertaan persyaratan minimum yang mengatasi kesenjangan ketidaksetaraan gender dan inklusi sosial, guna memenuhi peraturan nasional serta internasional.
UU Penanggulangan Bencana juga harus berlandaskan perspektif lintas sektoral guna mengacu pada kebijakan perlindungan bagi perempuan serta kelompok rentan. Selain itu, pemerintah secara sistematis harus mengembangkan langkah-langkah konkret dalam penanganan dan penanggulangan bencana berbasis pada keadilan gender.
Narasumber lainnya, Luviana selaku Pemimpin Redaksi Konde.co, dan jurnalis Kompas Sonya Hellen, mengajak para jurnalis dan masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan mengenai hak-hak perempuan dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Masyarakat perlu melakukan pengawasan terhadap regulasi yang dibikin pemerintah dan DPR, mulai dari RUU Penanggulangan Bencana, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), RUU Kesetaraan Gender, Implementasi UU TPKS, RKUHP, RUU Masyarakat Adat, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Pentingnya Membela Perempuan dengan Perspektif Perempuan
SUARA SETARA: Stereotipe Gender terhadap Perempuan dalam Cabang Olahraga Maskulin
Karier Perempuan dalam Bayang-bayang Budaya Maskulin
Pentingnya Instrumen HAM Perempuan di Indonesia
Training Jurnalis yang diselenggarakan CWGI merupakan hasil kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, antara lain, Yappika Action.AID, Konde.co, dan Kalyanamitra. Sejumlah persoalan yang menyangkut HAM dan hak perempuan menjadi ulasan utama dalam training ini.
Agenda terdekat CWGI dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia adalah mengikuti pertemuan global Universal Periodic Review (UPR) yang diadakan 4,5 tahun sekali oleh Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Geneva.
CWGI menegaskan bahwa penegakan HAM dan hak-hak perempuan mendesak diimplementasikan di Indonesia. Terlebih negara ini sering kali sulit untuk menindaklanjuti permasalahan perempuan dan HAM, walaupun telah ada mekanisme yang mengaturnya.
Tujuan diadakannya UPR yaitu untuk memberi kesempatan kepada setiap negara untuk menyampaikan mengenai situasi kebijakan dan tantangan HAM yang dihadapi, serta mengingatkan negara-negara mengenai kewajiban mereka untuk bertanggung jawab.
Namun menurut Rudi dari Fransiscans International, kemungkinan besar setiap negara akan memaparkan hasil yang normatif berkenaan dengan kemajuan yang dicapai, bukan secara substantif.
Lebih lagi terdapat istilah GoNGO (Governement Organize NGO) yaitu suatu NGO yang diatur oleh pemerintah untuk mengabarkan hal-hal yang baik saja. Sehingga diperlukan laporan langsung dari organisasi masyarakat sipil lainnya untuk membandingkan argumentasi dari pemerintah, yang lebih realistis.
“Teman-teman NGO (Non Government Organizations) yang ke Geneva adalah untuk mendorong para diplomat Indonesia dan negara lainnya untuk mendukung perbaikan terhadap akuntabilitas pemerintah mengenai HAM,” ujar Rudi.
Jika Indonesia tidak dapat mencapai sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, maka konsekuensinya adalah mendapatkan sanksi moral di tingkat internasional. Meskipun demikian, hal itu masih memiliki kelemahan, karena lembaga internasional tidak memiliki tanggung jawab untuk memberikan hukuman terhadap negara yang tidak mematuhi aturannya.
Secara historis, pada tahun 1980 Indonesia menyetujui secara resmi konvensi CEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Kesepakatan CEDAW ini menjelaskan tentang berbagai prinsip dari hak-hak manusia, standar-standar, norma-norma, dan kewajiban negara yang telah meratifikasi untuk menjalankan kesepakatannya.
Berdasarkan instrument HAM nasional, Indonesia telah menetapkan peraturan yang melindungi hak-hak perempuan dalam UUD 1945 alinea 4, UU No. 39 Tahun 1999, serta turunan dari CEDAW yaitu UU No. 7 Tahun 1948. Pada pasal 29 konvensi telah diatur tentang ketentuan cara penyelesaian perselisihan, antara negara peserta konvensi tentang penafsiran atau penerapan ketentuan konvensi tersebut.
Namun hingga saat ini Indonesia tidak bersedia terikat pada ketentuan tersebut. Maka jika Indonesia tersangkut masalah, tidak akan bisa mengajukan ke mahkamah internasional.
Secara kontekstual beberapa isu perempuan yang telah dilaporkan sebelumnya oleh CWGI di Geneva pada akhir Agustus-September 2022, di antaranya; Akses Layanan Kesehatan Reproduksi Perempuan; (2) Perempuan dan Wilayah Konflik; (3) Situasi Hak Perempuan di Pedesaan: Hak Atas Makanan dan Tanah; (4) Kekerasan Berbasis Gender Online; (5) Perkawinan Anak; (6) Sunat Perempuan; (7) Perempuan dan Bencana; (8) Kerangka Legislatif Perempuan.