• Opini
  • Karier Perempuan dalam Bayang-bayang Budaya Maskulin

Karier Perempuan dalam Bayang-bayang Budaya Maskulin

Kesetaraan gender masih menjadi permasalahan yang kerap dihadapi perempuan di tangga kariernya. Ada fenomena glass ceiling yang menghambat mereka.

Karen Omnivia Singgih

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan

Pekerja perempuan melakukan pembuatan sepatu di pabrik sepatu Fortune Shoes, Bandung, Rabu (31/3/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Februari 2022


BandungBergerak.idKesetaraan gender masih menjadi permasalahan yang kerap dihadapi oleh perempuan di tempat kerja sekaligus menjadi tantangan dalam mencapai posisi kepemimpinan. Pembagian jabatan masih dibagi berdasarkan jenis gender di mana laki-laki selalu menempati posisi lebih tinggi dibandingkan perempuan. Padahal semakin ke sini perempuan terus mengembangkan dirinya untuk memiliki kualitas yang sama seperti laki-laki. Akan tetapi mereka masih kesulitan untuk mendapatkan jenjang karier lebih tinggi dikarenakan adanya glass ceiling.

Glass ceiling merupakan konsep yang menjelaskan tentang perempuan yang terhambat untuk meningkatkan karier jabatannya ke jenjang yang lebih tinggi di suatu institusi. Glass ceiling dimetaforakan sebagai perempuan yang dipersilakan menaiki tangga kariernya sambil menatap ke atas tetapi ia terhambat oleh kaca sehingga mereka hanya mampu melihat dinding kaca sambil melihat laki-laki menapaki tangga puncak karier.

Dilansir dari Bisnis.com, 4,1 juta Aparatur Sipil Negara (ASN), 52 persennya adalah perempuan, namun perempuan yang menduduki jabatan struktural relatif sedikit. Di jabatan tinggi madya, hanya ada 96 orang perempuan, jauh lebih sedikit dari laki-laki yang berjumlah 483 orang.

Kaum perempuan masih mengalami diskriminasi organisasional sebagai bagian praktek dari kebijakan manajemen sumber daya manusia yang sifatnya cenderung glass ceiling. Menyikapi permasalahan ini, praktek manajemen sumber daya manusia (SDM) yang optimal diharapkan mampu mengurangi terjadinya glass ceiling terhadap perempuan di lingkungan kerja.

Seiring berjalannya waktu, perempuan mulai bangkit dan berhasil membuktikan bahwa keberadaan mereka layak untuk diperhitungkan sehingga mereka tidak lagi dianggap remeh karena telah turut berkontribusi terhadap pembangunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2020 mengenai Keadaan Pekerja di Indonesia menunjukkan, jumlah perempuan lulusan universitas mencapai sekitar 5,4 juta orang, sementara laki-laki sedikit di bawahnya, yakni 5,3 juta orang.

Hal itu menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih unggul dan bisa terjun ke dunia professional untuk bersaing dengan laki-laki. Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada 2014-2019, perempuan bisa turut berpartisipasi dengan ditetapkannya peraturan mengenai kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan dalam politik. Meskipun tidak semua perempuan yang berkecimpung di bidang politik memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan strategis. Namun setidaknya, mereka mampu merepresentasikan kehadiran serta menyuarakan aspirasi perempuan di level kebijakan pemerintah.

Dalam sebuah forum Trading Development and Gender Equality yang berlangsung di sela Asian Development Bank Annual Meeting 2019 Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/ Bappenas) menyebutkan bahwa kaum perempuan adalah aset, potensi, dan investasi penting bagi Indonesia yang dapat berkontribusi secara signifikan sesuai kapabilitas dan kemampuannya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi glass ceiling di lingkungan kerja, salah satunya adalah perspektif keorganisasian. Mondy & Noe, 2005, dalam Jusuf Iriyanto (2005) mengklaim bahwa adanya manajerial block – suatu penilaian berdasarkan pada kemampuan kepemimpinan mereka, kesediaan untuk melakukan pekerjaan, dan merasa "loyalitas – yang sengaja diciptakan untuk membendung mobilitas sosial vertikal karier perempuan yang menyebabkan posisi mereka selalu di bawah kaum laki-laki. Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan status sosial yang dimiliki seseorang atau kelompok ke status sosial lain yang tidak sederajat dari sebelumnya.

Praktik manajemen sumber daya manusia dalam lingkungan kerja kerap kali mengesampingkan hak perempuan untuk berkarier. Menurut Francoise Belle (2008), bagi perempuan untuk mencapai posisi puncak itu juga sangat dipengaruhi oleh struktur organisasi. Struktur organisai yang bersifat hierarki cenderung menggunakan metode ranking dalam proses promosi jabatan yang menyulitkan perempuan untuk mencapainya. Seharusnya manajemen sumber daya manusia menerapkan struktur organisasi yang bersifat mobilitas sosial horizontal di mana perempuan diberikan kewenangan dan tanggung jawab serta peluang untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dalam perusahaan.

Sebuah perusahaan harus tegas dalam menetapkan prinsip dasar dalam pengelolaan sumber daya manusia, di mana prinsip tersebut dituangkan dalam tindakan nyata melalui program kerja seperti:

1. Advanced Education and Training

Bias gender dapat dikurangi dengan melihat kemampuan dan pengetahuan perempuan dalam bekerja sehingga mereka layak mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan perempuan juga merasa percaya diri yang tinggi dalam bekerja.

2. Internal Networking

Alat efektif bagi perusahaan dalam mengembangkan kinerjanya karena perempuan memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan secara informal untuk melakukan kontak dengan orang-orang penting.

3. Career Tracking

Pemberian training khusus untuk mengidentifikasi potensi, wawasan, dan pengalaman melalui pekerjaan yang cukup berat. Meskipun cukup berat, training ini perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai perempuan di kompetisi karier dengan laki-laki.

4. Formal Mentoring

Berbagi pengalaman, pengetahuan, dan skill dari para eksekutif senior kepada bawahannya secara formal.

5. Exceeding Performance Expectations

Untuk membuktikan bahwa perempuan mampu bekerja dengan standar di atas rata-rata, perempuan perlu bekerja keras menunjukkan kredibilitasnya dalam bekerja secara profesional agar tidak diremehkan oleh laki-laki ataupun mentor.

Baca Juga: Mencegah Punahnya Arsitektur Tradisional pada Hunian di Bali
Kecerdasan Buatan, Sebuah Ancaman bagi Umat Manusia?
Mengenal Efek Samping Pemeriksaan Radiologi Sinar X

Budaya Inklusif Gender

Praktik kerja manajemen SDM yang baik dalam perusahaan akan mendukung pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan dan mengoptimalkan potensi serta produktivitas perempuan di lingkungan kerja. Head of Mission dari Kedutaan Besar Australia, H.E. Allaster Cox, menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan menjadi salah satu pendorong utama kesetaraan gender dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam upaya pemulihan ekonomi suatu negara. Sedangkan jika manajemen SDM tidak berperilaku dengan baik maka kondisi itu akan menimbulkan traumatis bagi perempuan dan membuat mereka enggan untuk mengikuti seleksi ke jenjang yang lebih tinggi.

Konsep glass ceiling yang kerap terjadi di dalam lingkungan kerja merujuk pada kesulitan yang dihadapi oleh perempuan ketika ingin menduduki posisi atas tetapi terhambat oleh bias gender. Kondisi ini terjadi yakni adanya perlakuan diskriminatif dari praktik kebijakan manajemen SDM yang cenderung bersifat “maskulin” di mana situasi kantor terasa seperti rumah kedua bagi laki-laki namun sebaliknya bagi perempuan adalah rumah kedua dengan situasi yang berbahaya.

Strategi pengembangan karier dan struktur organisasi juga mempengaruhi identitas profesional perempuan dalam organisasi. Melihat permasalahan ini, perusahaan khususnya di Indonesia perlu mengambil tindakan nyata untuk memberikan peluang yang lebih kepada perempuan dan upah yang sesuai untuk pekerjaan yang setara dengan laki-laki, di antaranya: pendidikan dan pelatihan tingkat lanjut (Advanced Education and Training); Jejaring internal (Internal Networking); jenjang karier (Career Tracking), bimbingan formal (Formal Mentroing); dan kinerja di atas harapan (Exceeding Performance Expectations).

Maka sudah saatnya, praktik manajemen SDM menerapkan budaya inklusif gender untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada perempuan agar kontribusi yang diberikan dapat lebih optimal dalam lingkungan kerja.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//