• Opini
  • Stereotip Identitas Gender terhadap Pasar Fesyen Masa Kini

Stereotip Identitas Gender terhadap Pasar Fesyen Masa Kini

Di masa lalu, perbedaan busana terjadi amat kaku. Busana pria dan wanita dibedakan secara tegas. Kini, batas tersebut mulai luntur dengan hadirnya fesyen agender.

Syifaa Alya Hermawan

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Warga saat mengunjungi Trans Studio Mal, Bandung, di hari pertama kembali beroperasi setelah tutup selama PPKM level 4, Rabu (11/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Januari 2022


BandungBergerak.id - Hadirnya fleksibilitas pada bagaimana cara seseorang berpakaian semakin marak dibahas. Terlebih kini sebutan neutral-gender maupun nonbinary sudah tidak lagi tabu diperbincangkan oleh sebagian masyarakat. Pada tahun 1920-an fesyen memiliki tren yang lebih kaku dan perbedaan jenis pakaian terlihat signifikan antara perempuan dan laki-laki. Lain halnya dengan kondisi tren berpakaian pada era modern seperti yang ditunjukan oleh desainer ternama yakni Haider Ackermann, Gareth Pugh, dan Ann Demeulemeester yang menampilkan model berpakaian agender atau lebih dikenal dengan sebutan unisex.

Melihat penjelasan atas perubahan yang telah terjadi pada tren berpakaian dari waktu ke waktu, mungkin masih banyak pembaca yang bertanya-tanya apa itu fashion, identitas gender? Dan apa korelasinya dengan pasar fesyen masa kini?

Identitas Gender dan Fesyen 

Identitas gender adalah perasaan setiap individu dalam memutuskan gender seperti apa yang akan dipilih. Identitas gender bisa saja tidak sesuai dengan gender yang didapatkan sejak lahir, keadaan ini dikenal dengan sebutan transgender, sedangkan untuk individu yang memiliki identitas gender yang selaras dengan gender yang dimiliki sejak lahir dikenal dengan sebutan cisgender (Real World An Introduction To Sociology Book By Kerry Ferris And Jill Stein).

Lalu apa itu fesyen? Fesyen sendiri bisa diartikan sebagai “konstruksi budaya dari identitas yang diwujudkan”. Dalam arti sederhana, fashion merupakan cara setiap individu berpakaian menunjukan siapa diri mereka masing-masing (editorial policy of Fashion Theory: The Journal of Dress). Kini fashion tidak memiliki batasan dalam mengekspresikan diri masing-masing individu, berbeda dengan di era revolusi industri di mana fashion memiliki keanekaragaman yang lebih terbatas, seperti laki-laki yang terbiasa menggunakan tuksedo sedangkan perempuan menggunakan gaun.

Tren Unisex

Sebutan gender sendiri ditujukan kepada hasil dari lingkungan sosial yang membentuk perspektif individu terhadap bagaimana mereka mengekspresikan gendernya, entah itu selaras maupun tidak dengan sex yang didapatkan sejak lahir. Jo Paoletti menyatakan bahwa setelah perang dunia kedua selesai, peran perempuan dan laki-laki sudah tidak lagi timpang dan menghasilkan pandangan baru terhadap perempuan. Lalu pada sekitar tahun 1960 muncul tren berpakaian unisex yang diharapkan dapat menutupi fenomena cross gender (pertukaran peran antargender) dan juga menghapus toxic masculinity (keadaan di mana laki-laki memiliki patokan kebiasaan yang sangat dibedakan dan bersifat normatif).

Sebelum muncul tren unisex, warna pakaian perempuan dan laki-laki sangat berbeda di mana warna pakaian laki-laki cenderung memiliki lebih gelap sedangkan untuk perempuan akan lebih terang dan bervariasi. Hal itu sudah tidak berlaku ketika tren unisex muncul, warna merah sudah sangat awam digunakan oleh laki-laki dan setelan tuxedo atau suit juga sudah sangat awam digunakan oleh perempuan.

Baca Juga: Adu Cepat Melawan Fast Fashion
Fesyen Ramah Lingkungan versus Baju Lebaran

Dampak terhadap Pasar Fesyen

Perubahan stereotip masyarakat terhadap gender berdampak kepada cara masyarakat memilih mode berpakaian mereka. Hal ini juga berdampak kepada pasar fesyen. Contohnya, pada tahun 1920 laki-laki Inggris kerap menggunakan pakaian semi formal namun tetap nyaman. Berbeda dengan kondisi masa kini di mana cara berpakaian laki-laki dan perempuan sudah sangat bebas dan tidak lagi melihat perbedaan gender. Terbukti pada salah satu pertokoan di Oxford Street Emporium mereka menghadirkan area perbelanjaan untuk gender-neutral yang memiliki jenis pakaian yang ‘sexless’.

Melihat jenis fesyen yang semakin terbuka luas akibat munculnya fleksibilitas ini tentu membuka banyak opportunity kepada para pebisnis bidang fashion karena mereka bisa memproduksi pakaian dengan model yang lebih beragam dan memiliki daya pikat lebih terhadap para konsumen. Tren unisex ini juga memberikan dampak positif bagi dunia fesyen dalam hal pemilihan warna, variasi warna yang dipakai dalam model pakaian lebih berwarna dibandingkan sebelum munculnya tren ini.

Kini warna yang terkesan feminim menjadi warna yang tidak asing lagi dipakai oleh laki-laki, seperti ungu, merah muda, kuning terang, merah, dan masih banyak lagi warna yang mulai biasa dipakai oleh laki-laki. Hal ini juga dapat membantu orang-orang yang merasa mereka memiliki kecenderungan neutral-gender, transgender, maupun cisgender untuk lebih mudah dalam menyesuaikan gaya berpakaian mereka dan merasa lebih leluasa, tidak terlalu kaku seperti saat sebelum muncul tren unisex yang menganggap beberapa warna tabu digunakan untuk pakaian kasual maupun formal.

Nethanya Kirana adalah salah satu pengusaha di bidang fesyen yang juga merupakan salah satu mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan. Brand miliknya bernama by.neeth yang memiliki ciri khas pemilihan warna yang mencolok dan berani.

Selain by.neeth, ada ASOS fashion company yakni online fashion and cosmetics retailer asal London, Inggris,  yang berdiri pada tahun 2020. Brand ini juga berani menjual pakaian warna cerah dan  bahkan terkesan feminim untuk laki-laki. 

Banyak sekali manfaat yang ditimbulkan dari berubahnya stereotip masyarakat terhadap identitas gender setiap individu dan bagaimana setiap individu mulai bebas menunjukan gender expression mereka senyaman mungkin. Peluang bisnis dalam keadaan pasar fesyen masa kini yang lebih fleksibel juga sangat banyak dan terbuka lebih luas, para pembaca bisa mulai mencoba berbisnis di dunia fesyen dengan model berpakaian yang semakin variatif dan terus berkembang dengan berbagai kreativitas serta keunikan pada masing-masing brand.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//