• Kampus
  • Ilmuwan Jepang Ungkap Cara Mengatasi Limbah Industri Tekstil di ITB

Ilmuwan Jepang Ungkap Cara Mengatasi Limbah Industri Tekstil di ITB

Industri tekstil menyumbang 2,18 persen Produk Domestik Bruti (PDB) Nasional serta menyerap lebih dari 3,7 juta tenaga kerja.

Webinar Anaerobic and Aerobic Biological Textile Wastewater Treatment yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (7/7/2021). (Dok. ITB)

Penulis Iman Herdiana13 Juli 2021


BandungBergerak.idIndustri tekstil di Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh seiring tren fesyen yang berlangsung selama beberapa tahun ini. Sektor ini menyumbang 2,18 persen Produk Domestik Bruti (PDB) Nasional serta menyerap lebih dari 3,7 juta tenaga kerja.

Dari sisi ekonomi, pertumbuhan tersebut merupakan kabar baik. Di sisi lain, pertumbuhan industri tekstil di Indonesia bukan tanpa masalah. Sebab di balik itu ada masalah pengelolaan limbah. Jika limbah tekstil tak dikelola menurut standar, maka terjadilah pencemaran terhadap sumber air dengan zat-zat kimia berbahaya.

“Untuk menghasilkan 1 kilogram pakaian jadi, dibutuhkan lebih dari 200 liter air dalam berbagai prosesnya. Dari semua proses ini, tahapan pewarnaan adalah yang paling mengkhawatirkan,” ilmuwan Jepang dari Nagaoka University of Technology, Huong T. Nguyen, dalam webinar Anaerobic and Aerobic Biological Textile Wastewater Treatment yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Bandung (ITB), dikutip dari laman resmi, Selasa (13/7/2021).

Huong menjelaskan unsur-unsur kimia yang dihasilkan dari pewarna tekstil. Menurutnya, kompetisi yang terjadi antara ikatan kovalen dan reaksi hidrolisis mengakibatkan sekitar 30 - 50 persen pewarna tekstil tidak akan terserap dan malah mencemari lingkungan.

Sebelum limbah tekstil dapat dibuang dengan aman, limbah tersebut harus melalui proses dekolorisasi terlebih dahulu. Dia menyampaikan, saat ini ada dua metode yang umum digunakan dalam proses dekolorisasi, yaitu metode fisik dan metode oksidasi. Kedua metode ini memiliki kelemahannya masing-masing, yaitu biaya yang mahal pada metode fisik dan limbah sampingan yang berbahaya pada metode oksidasi.

Huong kemudian memaparkan hasil penelitiannya terhadap metode pengolahan limbah tekstil secara anaerobik. Metode yang mengombinasikan Anaerob Baffled Reactor (ABR) dan Down-Flow Hanging Sponge (DHS) Bioreactor ini memanfaatkan bakteri untuk mengurai kandungan pewarna tekstil yang tersisa. Disebutkan bahwa sistem kompartemen pada ABR mengakibatkan bakteri berkembang dengan lebih baik, sehingga dapat menurunkan tingkat Chemical Oxygen Demand (COD) hingga 80 persen.

“DHS bioreactor memiliki potensi yang besar sebagai solusi efektif berbiaya rendah dalam pengolahan limbah di negara-negara berkembang,” tambah Dr. Takahiro yang tengah meneliti teknologi ini.

Baca Juga: Menengok Potret Pekerja Anak di Pabrik-pabrik Tekstil Majalaya
Fesyen Ramah Lingkungan versus Baju Lebaran

Medium spons yang digunakan pada DHS bioreactor memungkinkan zona aerobik dan anaerobik berada dalam satu kompartemen, sehingga dapat mengakomodasi bakteri anaerob dan aerob sekaligus. Keuntungan lain dari teknologi ini adalah dapat menghasilkan air dengan kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi tanpa perlu menggunakan aerator dan dengan kandungan lumpur yang jauh lebih sedikit.

Sebagai penutup kuliah umum, Dr. Takahiro menunjukkan sistem ABR-DHS yang sukses diaplikasikan di salah satu pabrik tekstil di Cimahi. Hasil limbah yang diolah menggunakan sistem ini dapat memenuhi seluruh regulasi hukum untuk dapat dibuang ke Sungai Citarum.

Pakar lainnya yang juga dari Nagaoka University of Technology, Takahiro Watari, mengatakan DHS bioreactor memiliki potensi yang besar sebagai solusi efektif berbiaya rendah dalam pengolahan limbah di negara-negara berkembang.

Takahiro mengatakan, medium spons yang digunakan pada DHS bioreactor memungkinkan zona aerobik dan anaerobik berada dalam satu kompartemen, sehingga dapat mengakomodasi bakteri anaerob dan aerob sekaligus.

“Keuntungan lain dari teknologi ini adalah dapat menghasilkan air dengan kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi tanpa perlu menggunakan aerator dan dengan kandungan lumpur yang jauh lebih sedikit,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Takahiro menunjukkan sistem ABR-DHS yang sukses diaplikasikan di salah satu pabrik tekstil di Cimahi. Hasil limbah yang diolah menggunakan sistem ini dapat memenuhi seluruh regulasi hukum untuk dapat dibuang ke Sungai Citarum.

 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//