• Kolom
  • SUARA SETARA: Stereotipe Gender terhadap Perempuan dalam Cabang Olahraga Maskulin

SUARA SETARA: Stereotipe Gender terhadap Perempuan dalam Cabang Olahraga Maskulin

Olahraga merupakan kegiatan bersifat umum dan berlaku pada setiap kalangan. Tetapi mengapa perempuan yang berprestasi di bidang olahraga berat masih dipandang aneh?

Della Ayu Muharomah

Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), pegiat Great UPI.

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

28 September 2022


BandungBergerak.idApakah olahraga maskulin hanya bisa dilakukan oleh laki-laki saja? Bagaimana jika seorang perempuan juga mampu untuk mendalami bahkan bisa berprestasi di cabang olahraga maskulin? Apakah itu menjadi masalah?

Pandangan Masyarakat tentang Olahraga

Olahraga merupakan kegiatan bersifat umum dan berlaku pada setiap kalangan. Mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga lansia, berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Jadi tidak ada batasan untuk terus melakukan aktivitas olahraga, walaupun itu termasuk dalam olahraga maskulin. Bahkan masyarakat kita gemar berolahraga dan menyukai tontonan dari kompetisi olahraga di tiap cabang olahraga, sesuai seleranya masing-masing.

Walaupun pada prakteknya tiap cabang olahraga memiliki kelas putra dan putri, namun rasanya opini miring masyarakat mengenai status olahraga maskulin yang diperankan oleh perempuan masih sering terdengar; ada pandangan kuat bahwa cabang olahraga berat tidak sesuai dan sangat bertolak belakang dengan standar kemampuan perempuan pada umumnya. Bahkan jika ada perempuan yang bergiat pada cabang olahraga berat, kerap kali mendapat pandangan, “Wah, dia hebat ya, padahal perempuan.”

Sebagian orang berpendapat bahwa perempuan yang mendalami cabang olahraga maskulin seperti judo, jujitsu, gulat bahkan rugby adalah perempuan yang memiliki kepribadian laki-laki dan patut di pertanyakan, "Kenapa seorang perempuan mampu berprestasi di bidang olahraga maskulin yang terkenal keras latihannya?"

Lalu, menurut pembaca, apakah memang terdengar sangat aneh jika ada seorang perempuan bisa mendalami bahkan berprestasi di bidang olahraga maskulin?

Atlet Perempuan Harus Berotot?

Anggapan miring masyarakat juga tertanam bahwa atlet atau pelatih yang baik adalah seseorang yang memiliki badan ideal seperti berotot atau sixpack. Namun anggapan tersebut bagi saya justru mendiskriminasi atlet perempuan itu sendiri, karena pada dasarnya perempuan harus melewati tantangan yang cukup panjang untuk membentuk tubuhnya menjadi berotot layaknya laki-laki, sekalipun dia adalah atlet terlatih.

Pasalnya, bentuk otot juga dipengaruhi oleh faktor biologis, yaitu hormon tertentu yang sangat penting untuk pembentukan otot. Salah satu penggerak utama pertumbuhan massa otot adalah hormon testosteron. Sedangkan perempuan biasanya memiliki tingkat hormon testosteron yang secara persentase lebih rendah dibandingkan pria. Karena perempuan cenderung memiliki hormon esterogen dan progesteron, hal ini yang mengakibatkan pembentukan otot pada wanita akan lebih sulit.

Baca Juga: SUARA SETARA: Makna Inklusif untuk Siapa? Bagaimana dengan Ragam Keagamaan?
SUARA SETARA: Menanamkan Nilai Sensitivitas Gender pada Laki-Laki
SUARA SETARA: Standar Kecantikan, Usaha Kapitalisme Meraih Keuntungan dengan Merendahkan Perempuan

Tantangan bagi Perempuan Pegiat Olahraga

Stereotip gender di masyarakat mengenai olahraga berdampak merugikan pada perempuan dalam memutuskan untuk terjun ke dunia olahraga. Misalnya, instansi pendidikan seperti Sekolah Menengah Atas, jarang sekali yang menerima perempuan lulusan sarjana pendidikan olahraga untuk mengajar di sana. Perempuan dianggap tidak akan mampu menghadapi siswa SMA yang sedang berada dalam masa pencarian jati diri.

Pengajar perempuan selalu dipertanyakan dan diragukan walaupun mereka sudah banyak memiliki pengalaman ataupun sudah menempuh pendidikan sampai mendapatkan gelar sarjana olahraga. Ijazah yang notabene sebagai bukti kuat bagi kompetensi perempuan, rupanya masih saja kurang cukup untuk meyakinkan mereka.

Lantas, langkah seperti apa yang harus kita lakukan sebagai perempuan yang memiliki mimpi di bidang olahraga? Apalagi olahraga maskulin? Apakah terdengar tidak pantas jika seorang perempuan memiliki standarisasi kemampuan yang sama dengan laki-laki?

Menjadi tantangan tersendiri bagi kami, perempuan pegiat olahraga. Yang harus kami hadapi adalah stigma masyarakat mengenai anggapan ketidakmampuan perempuan (dianggap lemah) di bidang olahraga. Padahal posisi perempuan menegaskan bahwa tidak akan saling membuktikan siapa yang paling unggul di antara laki-laki dan perempuan, tetapi menjadikan olahraga sebagai dunia yang adil dan setara.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//