CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #20: Nuansa Ramadan di Masa Lalu
Ngadulag dan dongeng Sunda sering mewarnai suasana Ramadan yang dilakoni orang-orang Bandung di masa lalu.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
2 Maret 2025
BandungBergerak.id - Bulan Ramadan selalu menerbitkan kenangan bagi setiap orang. Nuansa yang ditawarkan Ramadan mempunyai warna tersendiri. Selain itu, di bulan istimewa bagi pemeluk agama Islam ini sering kali menjadi momentum untuk membongkar kembali berbagai cerita yang tersimpan di masa lalu. Cerita ini muncul di setiap daerah, entah kebiasaan menunggu waktu berbuka ataupun tradisi dalam mengisi hari-hari di bulan Ramadan. Begitu pula dengan warga Kampung Dobi Ciguriang.
Ngadulag
Beberapa hari menjelang bulan Ramadan biasanya hawa akan terasa berbeda. Ada kegembiraan pada setiap muslim mengingat bulan ini begitu ditunggu karena nilai ibadah yang begitu istimewa. Di sisi lain kesibukan ibu-ibu mempersiapkan hidangan untuk sahur pertama yang biasanya lebih istimewa dibandingkan menu hari-hari biasa. Hal ini karena kegembiraan menyambut bulan mulia, selain itu dimaksudkan agar anak-anak yang berpuasa menjadi lebih bersemangat menjalani ibadah puasa.
Sehari menjelang hari pertama puasa di Ciguriang sangat semarak, haneuteun kalau dalam bahasa Sunda. Bagaimana tidak, sepanjang hari di tajug, masjid kecil, di tengah kampung kami akan ramai oleh anak-anak yang menonton dulag. Ada beberapa orang dewasa yang akan ngadulag, menabuh bedug dengan berirama, sementara anak-anak berkerumun di sekitarnya. Mereka menonton atau bahkan berjoged seiring irama dulag yang khas. Sementara suara dulag berkumandang, ibu-ibu sibuk di dapur dengan aneka bahan makanan yang siap diracik.
Ngadulag adalah kegiatan yang ditunggu para bapak dan para pemuda. Tak jarang ada antrean menunggu giliran menggebuk beduk dengan irama yang menjadi ciri khas masing-masing. Warga yang mendengarkan di rumah sambil melakukan persiapan untuk sahur pertama, sering kali sambil menebak siapa yang menabuh bedug. Sementara bapak-bapak yang lain bergotong royong menyiapkan ruang tajug untuk salat tarawih pertama. Semuanya menyambut Ramadan dengan riang gembira.
Selain satu hari menjelang puasa, suara dulag juga terdengar pada setiap dini hari menjelang ibadah sahur. Irama dulag yang merdu sangat membantu ibu-ibu untuk segera bangun dan menyiapkan hidangan sahur. Tidak jarang dulag ditabuh sampai menjelang salat subuh menemani warga menikmati makan sahur di rumah masing-masing. Kebiasaan ngadulag pada bulan puasa di Ciguriang ini ternyata juga sudah dialami pada saat ibu saya masih kecil. Pada tahun 1980-an, saat saya masih kanak-kanak, kebiasaan ngadulag ini masih terus berlangsung. Membuat suasana kampung menjadi hangat.
Suara dulag yang berirama juga terdengar selepas berbuka, menjelang salat tarawih yang berhasil membuat anak-anak berkumpul di seputar masjid. Selepas salat tarawih, kembali para pemuda akan memukul bedug bergantian sampai mereka merasa kelelahan.
Dongeng Sunda
Satu keseruan yang dirindukan dari bulan Ramadan di masa lalu adalah dongeng Sunda yang menemani di sore hari menjelang berbuka atau pada saat menyantap makan sahur. Salah satu pendongeng yang memiliki banyak penggemar adalah Mang Rachmat. Suara khas juru dongeng yang mempunyai nama Rachmat Dipraja ini terdengar setiap sore hari di rumah-rumah warga, beberapa rumah bahkan memasang volume besar sehingga suara radio terdengar sampai ke rumah-rumah tetangga.
Ciri khas mang Rahmat membawakan dongeng Sunda di bulan puasa adalah dengan menghitung sampai waktu berbuka tiba di penghujung dongengnya. Setelah menutup dengan kalimat “Waktosna seep..”, yang juga menunjukkan waktu berbuka puasa sudah dekat. Mang Rahmat lalu mulai menghitung , “Hiji.., dua.., dua satengah.., tilu.., tilu saparapat.. .” dan seterusnya sampai tiba waktunya azan maghrib. Dan kami anak-anak menunggu dengan gelas berisi air minum yang sudah berada di tangan. Hitungan itu tak hanya ada di penghujung dongeng sore hari, ketika dongeng Sunda itu tayang pada waktu sahur, mang Rahmat juga menghitung perlahan sampai waktu imsak tiba.
Baca Juga: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #17: Mitos Menjaga Mata Air
Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #18: Cai dan Guriang
Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #19: Batu Nisan yang Pecah
Semarak Cahaya Petromak
Keadaan kampung Ciguriang di tahun 1980-an belum banyak yang menggunakan listrik sebagai sumber energi. Radio banyak yang menggunakan energi baterai atau aki, televisi juga menggunakan energi listrik dari aki. Kalaupun ada warga yang ikut nyolok listri kepada tetangga yang sudah memasang listrik, itu pun hanya digunakan untuk menyalakan televisi, bukan untuk penerangan. Karena itulah warga masih banyak yang menggunakan lampu teplok, cempor, atau damar. Sumber penerangan lain yang populer pada masa itu adalah lampu petromak
Pada bulan puasa, selain di waktu petang menjelang malam, warga kampung Ciguriang juga nyaris serempak menyalakan lampu petromak pada waktu dini hari, karena jika kami berangkat tidur, lampu petromak akan dimatikan. Sekitar pukul dua dini hari, satu per satu rumah mulai dihiasi cahaya petromak yang menyelinap di antara dinding-dinding bilik bambu. Lalu disusul dengan suara alat-alat dapur yang digunakan para ibu untuk menyiapkan hidangan.
*Kawan-kawan yang baik dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Ernawatie Sutarna, atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung
Petromak ditemukan oleh Max Graetz pada tahun 1910 di Berlin. Nama Petromak atau Petromax yang berasal dari gabungan Petroleum dan Max (nama depan Max Graetz) awalnya merupakan merek dagang, tapi menjadi nama umum untuk desain lampu sejenis lainnya (Wikipedia). Petromak menggunakan bahan bakar minyak tanah yang proses menyalakannya dibantu oleh penggunaan spiritus.
Petromak sendiri banyak digunakan di Indonesia di sekitar tahun 1980-an sebagai sumber penerangan di rumah-rumah pada saat distribusi listrik belum dinikmati sebagian besar warga Indonesia, lalu seiring waktu setelah rumah tinggal banyak menggunakan penerangan menggunakan lampu listrik, lampu petromak banyak digunakan oleh para pedagang di pinggir jalan. Saat ini petromak sudah sangat jarang digunakan karena para pedagang di pinggir jalan pun sudah banyak menggunakan lampu listrik sebagai sumber penerangan.