• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #9: Menulis Setelah Bumi Manusia

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #9: Menulis Setelah Bumi Manusia

Baru sejak menamatkan Bumi Manusia-lah saya meyakini bahwa menulis merupakan jalan hidup yang harus saya jalani.

Rizki Sanjaya

Alumnus Sastra Sunda Unpad, bisa disapa di @rizkimasbox.

Koleksi buku-buku Pramoedya Ananta Toer di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

4 Maret 2025


BandungBergerak - Hingga memasuki semester tiga, saya belum begitu akrab dengan nama Pramoedya Ananta Toer. Berkuliah di Fakultas Sastra tidak menjamin saya otomatis mengenal sosok besar ini. Berdasarkan yang saya alami, para pembaca di sini tidak lebih dari setengah populasi mahasiswanya. Selebihnya hanya membaca saat mengerjakan tugas, atau bahkan tidak membiasakan membuka buku karena terjebak masuk ke fakultas yang bukan impiannya.

Bagi saya, satu tahun pertama rasanya cukup asing menjadi mahasiswa di rumpun kesusastraan. Sebuah lingkungan utopis yang didambakan penuh dengan semangat membaca dan lautan diskusi ternyata tidak begitu. Alhasil saya lebih sering menghabiskan waktu menyendiri di Perpustakaan Fakultas. Mencari karya-karya sastra Sunda, membaca cerpen dari majalah dan koran, dan mencari tahu sejarah dan budaya didampingi buku teori sastra dan bahasa.

Ketertarikan saya terhadap Pram mendapat pengaruh dari Mudofar dan Salehudin. Sedari semester awal, adalah Mudofar, senior yang paling sering saya jumpai di perpustakaan. Sedang Salehudin baru muncul setahun kemudian. Meski terpaut setahun, spirit dan semangat membacanya di atas rata-rata mahasiswa sezaman. Hal itu pula yang membuat saya terpincut menyamai pencapaiannya ketika berhasil menamatkan Tetralogi Pulau Buru lebih dulu.

Kebiasaan Salehudin membuat catatan di dinding Facebook membuat saya mencuri tahu apa yang ditemukannya dengan saksama. Dia selalu gembira saat berhasil menamatkan satu per satu buku tebal dari roman panjang yang Pram wariskan untuk kesusastraan dunia. Catatan-catatan yang ditulisnya akan selalu menandai akun Facebook milik Mudofar. Memberi simbol bahwa Mudofar-lah sosok manusia yang mengenalkan saya dengan karya-karya Pram.

Sebagai mahasiswa dengan kesulitan finansial, saya mendapat dukungan beasiswa setiap semesternya. Selain digunakan menonton pertandingan sepak bola, beasiswa tersebut selalu saya prioritaskan untuk membeli buku wajib dan buku yang disesuaikan dengan minat. Saat saya membeli satu paket Tetralogi Pulau Buru di Lawang Buku tahun 2014, kerongkongan mendadak kering: sepertinya akan banyak pertandingan yang saya lewatkan musim ini!

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #8: Melihat Wajah Bangsa dari Cermin Gadis Pantai
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #7: Demi Sekolah Anak

Kelakar Mirip Minke

Sosok lain yang mendorong saya lebih dekat dengan Pram adalah Ilham Budhiman. Senior beda satu angkatan ini selalu berkelakar jika saya memiliki kemiripan dengan sosok Minke. Candaan ini dimulai sejak perjumpaan di Tangkal Sastra Unpad. Kala itu, dia melihat saya mendekap buku Bumi Manusia. Sejak kejadian tersebut, Ilham menjadi sering menagih hasil bacaan dan pembacaan saya terhadap karya Pram lainnya dalam Tetralogi Pulau Buru.

Sepertinya siapa pun yang pernah berkenalan dengan Tetralogi Pulau Buru akan terkesan dengan sosok Minke. Saya menjadi salah satu manusia yang jatuh hati pada jejak langkahnya. Minke digambarkan oleh Pram sebagai terpelajar yang selalu haus belajar. Seorang elite pribumi lulusan HBS, sekolah menengah umum kasta tertinggi di Hindia Belanda, yang perlahan menyadari adanya ketimpangan dan ketidakadilan.

Dalam hidupnya, Minke digambarkan sebagai anomali yang melawan kehendak dan guratan takdirnya. Lahir dari keturunan bangsawan sebagai anak kandung bupati kota B, pada akhirnya ia melawan kemapanan praktik kolonialisme di Hindia Belanda serta suburnya budaya feodalisme dari tengah para putra bangsanya sendiri. Perjuangan Minke adalah jalan panjang menumbuhkan rasa kebangsaan. Sebuah jalan sunyi yang dipersenjatai kertas dan pena.

Minke memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Menghendaki menjadi manusia bebas yang tak ingin diperintah dan tak ingin memerintah. Demi menjaga pemikirannya tetap hidup, ia menulis dengan nama pena Max Tollenaar. Tulisan-tulisannya baik dalam bentuk cerpen dan esai beberapa kali menjadi perbincangan hangat. Bumbu-bumbu yang Minke sajikan, terbentuk atas prinsip pembebasan dan kritik terhadap praktik kolonialisme.

Dalam perjalanannya, Minke tidak berjuang sendirian. Perjumpaan dengan Nyai Ontosoroh membuat jalan cerita semakin menarik. Keduanya menjadi sosok yang vokal melawan berbagai ketimpangan sosial. Pola komunikasi antara Minke dan Nyai Ontosoroh adalah diskusi di sela waktu, dan biasanya ibu kandung Annelies Mallema, kekasih Minke ini menutup percakapan dengan ujaran yang membuat batin Minke semakin bergejolak.

Sebagai seorang terpelajar, Minke selalu mengedepankan ilmu dan pengetahuan. Baginya dengan berpaku pada ilmu dan pengetahuan, setidaknya dia telah menggenggam sebuah kepastian. Minke selalu percaya, bahwa ilmu dan pengetahuan merupakan sarana pencerahan dan pembebasan. Tanpa keyakinan terhadap dua hal tersebut, rasanya mustahil Minke dapat membingkai semangat awal kebangsaan dan perlawanan secara berlanjut.

Koleksi buku karya Pramoedya Ananta Toer di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Koleksi buku karya Pramoedya Ananta Toer di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Terpikat Ontosoroh

Saya sangat kagum pada wanita satu ini. Kecerdasan dan tampilan anggun yang Pram gambarkan dalam diri Nyai Ontosoroh, mengubah pandangan saya tentang kecantikan seorang wanita yang tidak sepenuhnya diukur dari paras. Ada faktor lain seperti kecakapan dan ketepatan dalam berpikir. Kecerdasan yang dimiliki Nyai Ontosoroh membuatnya menjadi sosok wanita tangguh dan mandiri, serta tak segan bersuara terhadap ketidakadilan yang dihadapinya.

Sepanjang hidupnya Nyai Ontosoroh tidak pernah merdeka. Pertautannya dengan Herman Mellema pun jauh dari kesan cinta. Pemilik nama Sanikem ini diserahkan oleh ayah kandungnya dengan iming-iming jabatan dari pengusaha di Hindia Belanda yang kemudian menjadikan anaknya sebagai gundik. Lagi-lagi, atas tekat kuat yang dimilikinya, Nyai Ontosoroh memaknai itu semua dengan semangat belajar: membaca, menulis, dan berhitung.

Atas kemahiran dan kepiawaiannya, Nyai Ontosoroh diperkaya kecerdasan yang membuat Herman Mellema memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengelola sebuah pabrik susu bertitel Perusahaan Pertanian Buitenzorg. Kemauan untuk terus berkembang dan menentang keadaan membuatnya dapat melampaui apa yang dicapai rata-rata nyai pada umumnya.

Ikatan perkawinan dengan orang Belanda tak menjamin statusnya setara dengan Eropa sungguhan. Celaan kata gundik selalu keluar dalam berbagai momen hidup Nyai Ontosoroh. Bahkan anak laki-laki Herman Mellema, Robert Mellema, selalu mengolok-olok bahwa perkawinan ayahnya dengan Nyai Ontosoroh merupakan dosa besar yang tak terampuni, karena mencampur darah Kristen Eropa dengan seseorang yang dianggapnya kafir pribumi.

Jalan Menulis

Tanpa mengesampingkan buku lainnya, Bumi Manusia akan selalu mendapat tempat spesial di hati saya. Baru sejak menamatkan Bumi Manusia-lah saya meyakini bahwa menulis merupakan jalan hidup yang harus saya jalani. Produktif atau tidak, diganjar honor atau tidak, berdampak atau tidak, bagi saya itu lain hal. Menulis merupakan jalan keabadian yang saya upayakan, seperti apa yang selalu Pram yakini.

Saya memang terbilang telat mengenal Pram. Menamatkan Bumi Manusia saja baru tahun 2015. Namun, tak lama sejak saya menamatkan Bumi Manusia, opini yang saya tulis, terbit pertama kalinya di Harian Umum Nasional. Sejak peristiwa itu, perlahan saya menemukan irama dan keyakinan untuk terus menulis sepanjang saya mampu. Dan sekali lagi, semuanya tak ‘kan terjadi jika saya tidak sesegera mungkin mengenal siapa itu Pramoedya Ananta Toer.

Terpujilah Pram! Anak saya, Pena, lahir di tanggal dan bulan yang sama dengan kelahiranmu.

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//