• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #7: Demi Sekolah Anak

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #7: Demi Sekolah Anak

Tapi, adakah yang mau membeli semua koleksi buku Pram milik saya seharga yang saya inginkan? Dua juta rupiah!

Eddi Koben

Mantan guru yang menyukai karya-karya Pram. Kini berprofesi sebagai pedagang, tinggal di Cimahi

Buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

26 Februari 2025


BandungBergerak - Seperti keluarga pada umumnya, saya pernah mengalami prahara rumah tangga. Faktor ekonomi jadi penyebabnya. Itu terjadi pada pertengahan tahun 2017. Saya betul-betul sangat kecewa dan frustasi dengan apa yang saya hadapi saat itu, dan saya akui, sayalah penyebab semuanya.

Berawal dari sikap saya yang egois dan idealis, saya memutuskan untuk keluar dari tempat saya mengajar di sebuah sekolah swasta. Padahal, sekolah itu telah memberi saya gaji tetap yang lumayan meski tak juga bisa dikatakan besar. Dengan gaji setiap bulan yang saya terima, cukuplah untuk membiayai sekolah kedua putri saya di taman kanak-kanak (TK). Uang belanja untuk istri pun cukup.

Namun, sikap idealis saya sebagai seorang guru mendorong saya untuk ‘melawan’ ketidakadilan dan kebobrokan sistem di sekolah itu. Barangkali sikap saya seperti itu juga tak lepas dari bacaan-bacaan yang saya lahap sejak lama. Buku-buku filsafat pendidikan dari Paulo Freire hingga Roem Topatimasang membuka cakrawala berpikir saya tentang pendidikan seperti apa yang seharusnya diterapkan di negeri ini. Ditambah lagi buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Aforisma Pram melekat di pikiran saya: kita harus adil sejak dalam pikiran.

Saya lebih memilih mundur dari sekolah daripada harus berdebat tak kunjung usai dengan pemilik sekolah. Saya mengalah untuk menunjukkan kepada siapa pun bahwa suatu saat nanti saya akan tampil sebagai pemenang. Sekolah saya tinggalkan tanpa uang pesangon. Tak masalah bagi saya!

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #6: Jatuh Hati pada Minke, Menanam Benci pada Feodalisme
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #5: Mereka Mengerang, Membuatku Mengarang

Mencari Jalan Keluar

Saya tidak menyadari bahwa saat itu mendekati awal tahun ajaran baru. Putri saya yang akan lulus TK harus sudah bersiap masuk Sekolah Dasar (SD). Dan, celakanya putri saya tak mau masuk ke SD negeri. Ia maunya masuk SD swasta. Padahal, saya sudah berencana memasukkan putri saya itu ke sebuah SD negeri di dekat rumah agar tak perlu bayar. Namun, dia bersikukuh ingin masuk SD swasta pilihannya.

Saat itu saya betul-betul bingung, dari mana harus mendapatkan uang untuk biaya masuk SD swasta itu? Gaji sudah tak punya. Untuk makan sehari-hari saja, kami sekeluarga hanya mengandalkan hasil berjualan buah potong dan air mineral.

Istri saya sangat mendukung keinginan anak kami melanjutkan pendidikan di sekolah swasta pilihannya. Dia khawatir, sang anak bakal mogok sekolah jika keinginannya tidak dituruti.

Namun saya tak tega melihat istri saya terus-terusan berkorban untuk menopang kehidupan keluarga kami sejak saya tak lagi memiliki gaji bulanan. Satu per satu perhiasan sudah dijual untuk membantu mencukupi biaya hidup sehari-hari. Sungguh, saya merasa sangat menyesal dan berdosa telah membebani istri saya.

Suatu malam saya lihat istri saya menangis memikirkan situasi rumit ini. Saya mencoba menghiburnya, tapi sia-sia. Dia bersikukuh untuk tetap mendaftarkan anak kami ke sekolah swasta yang tentu saja biayanya cukup besar bagi kami. Tidak kurang dar enam juta rupiah.

“Apapun harus kita lakukan demi anak kita, demi pendidikannya,” ujar istri saya sambil terisak.

Saya terdiam, bingung bagaimana mencari solusi persoalan ini.

Istri saya melirik ke arah lemari. Dia beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan menghampiri lemari pakaian. Tak lama, dia menunjukkan kotak kecil berwarna hitam.

“Hanya ini yang tersisa. Kita jual saja,” ujarnya.

Saya menghela napas panjang. Saya tahu, itulah mas kawin yang saya berikan di hari pernikahan kami. Sebuah kalung dan beberapa buah cincin. Saya tak sampai hati melihat istri saya sampai harus menjual mas kawin itu. Saya teringat bagaimana jerih payah saya saat belum menikah dulu, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membeli perhiasan itu.

Namun keputusan sudah bulat. Keesokan harinya istri saya berangkat ke toko emas untuk menjual kalung dan cincin itu. Sayang sekali, hasil penjualan tidak mencukupi untuk membayar biaya sekolah. Kami masih kekurangan dua juta rupiah lagi. Ya Tuhan, dari mana lagi kami harus mendapatkan kekurangan uang itu? Kami sudah tak punya barang berharga lagi untuk dijual.

Deretan buku Pramoedya koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Deretan buku Pramoedya koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Berpaling ke Pram

Lama saya merenung di ruang tamu sambil menatap lemari yang dipenuhi buku-buku. Ada deretan buku pelajaran, novel, buku motivasi, buku agama, buku resep masakan, buku budidaya tanaman, dan banyak lagi yang lain. Sapuan pandangan saya berakhir di deretan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Pulau Buru, Gadis Pantai, Menggelinding, Tempo Doeloe, Bukan Pasar Malam, Arus Balik, Arok Dedes, Perburuan, Cerita Calon Arang, Mangir, dan sejumlah judul lainnya seperti melambai-lambai minta dihampiri.

Saya pun beranjak mendekati deretan buku-buku itu. Saya raba satu-demi satu. Saya cabut salah satu buku dari deretan itu. Sampul buku Gadis Pantai saya usap dan pandangi. “Mungkin ini solusinya,” batin saya.

Saya tahu, buku-buku Pram banyak dicari orang dan harganya pun lumayan tinggi. Tapi, adakah yang mau membeli semua koleksi buku Pram milik saya seharga yang saya inginkan? Dua juta rupiah! Ya, dua juta! Adakah yang mau?

Segera saya raih gawai. Saya potret deretan buku Pram di lemari buku itu, lalu saya unggah di akun Facebook sembari dibubuhi kata-kata: “For Sale, 2 Juta Saja.” Saya tunggui beberapa menit, belum ada yang merespons. Hanya beberapa teman yang memberikan tanda jempol. Jangankan berminat membeli, yang menanyakan harga pun tak ada. Mungkin mereka merasa berat kalau harus membeli buku-buku itu seharga dua juta. Tapi, saya memang menginginkan uang dua juta rupiah.

Saya tawarkan di grup-grup WhatsApp para penyuka buku, tak ada yang menanggapi juga. Duh, sedih rasanya. Saya nyaris putus asa. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Istri saya terus mendesak saya agar segera mencari tambahan uang dua juta untuk membayar sekolah anak kami. Saya hanya terdiam, bingung. Istri saya mulai kesal dan hampir menangis lagi.

Saya hanya bisa pasrah dan berdoa pada Allah minta diberi jalan keluar. Saya lupakan sejenak urusan ini. Saya serahkan semuanya pada Tuhan Yang Mahakuasa. Saya tertidur di kursi ruang tamu, melupakan segala persoalan dunia yang ruwet.

Setelah selama berhari-hari tak ada yang merespons penjualan buku saya, suatu hari tiba-tiba HP saya bergetar. Ada pesan masuk via WhatsApp. Oalah, dari adik kelas saat kuliah. Yussak namanya. Ia bersedia membeli buku-buku itu.

Plong! Hati saya lega. Persoalan ini akhirnya menemukan solusinya. Saya tidak menyangka, orang yang tidak begitu dekat dengan saya, yang hanya kenal biasa saja, bahkan tak cukup akrab, akhirnya tampil sebagai dewa penolong. Ah, ini sudah rencana Tuhan. Tuhan mengirim Yussak untuk menolong saya keluar dari persoalan rumit ini.

Saya lega bisa membayar uang sekolah anak saya. Istri saya pun kembali tersenyum.

Setahun setelah penjualan buku-buku Pram itu, saya berhasil mengumpulkan uang lagi. Saya berencana untuk membeli lagi buku-buku tersebut. Saya tak peduli Yussak mau menjual berapa. Lebih mahal dari harga jual yang dulu pun tak masalah.

Saya pun mengutarakan keinginan tersebut kepada Yussak. Ia membalas pesan WA saya dengan kalimat begini: “Kang, saya tahu Akang berat melepas buku-buku Pram. Itulah sebabnya buku-buku itu saya titip dulu di Akang biar Akang tak merasa kehilangan. Biar Akang masih bisa memandang dan membaca ulang buku-buku itu. Tapi, kalau sekarang Akang mau membeli lagi buku-buku itu dari saya, dengan senang hati saya bersedia menjual lagi ke Akang. Silakan Akang beli lagi dengan harga yang sama seperti tahun lalu.”

Senyum saya mengembang. Saya melompat kegirangan seperti anak kecil mendapat hadiah lotre. Alhamdulillah, buku-buku Pram masih tetap bisa saya miliki. Mereka tak beranjak dari lemari buku saya. Terima kasih, Tuhan! Terima kasih, Yussak!

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//