• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #6: Jatuh Hati pada Minke, Menanam Benci pada Feodalisme

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #6: Jatuh Hati pada Minke, Menanam Benci pada Feodalisme

Bukan karena ia tampan seperti tokoh utama di banyak novel picisan, tapi karena ia "melawan sebaik-baiknya" seperti kata Nyai Ontosoroh.

Ressy Rizki Utari

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba)

Membaca adalah salah satu jalan memperoleh keberanian untuk melawan feodalisme dan struktur kuasa. (Ilustrasi: Laurancia Melani)

24 Februari 2025


BandungBergerak - Buku pertama Pramoedya Ananta Toer yang aku baca adalah Bumi Manusia. Aku membelinya di salah satu toko buku di Taman Pintar, Yogyakarta ketika mengikuti study tour sekolah. Harganya tidak lebih dari 50 ribu. Mungkin karena bajakan. Barulah untuk ketiga novel berikutnya dalam Tetralogi Buru, aku bisa memperoleh yang orisinal.

Seingatku, di sekolah dulu belum ada yang mengenal siapa Pram. Aku pun tahu Bumi Manusia karena membaca buku lain: Di Bawah Bendera Revolusi, kalau tidak salah. Dituliskan di sana, karya-karya Pram dilarang beredar pada era Orde Baru. Semakin terlarang tentu saja membuatku semakin penasaran ingin membacanya.

Belakangan aku tahu bahwa pada masa Orde Baru, Pram diasingkan ke Pulau Buru karena dituduh sebagai simpatisan PKI. Sastrawan kelahiran Blora itu memang aktif di Lekra, tapi Lekra sendiri tidak pernah secara resmi menjadi organisasi di bawah PKI. Bahkan di tubuh PKI sendrii terjadi perdebatan. Aidit ingin Lekra menjadi bagian dari partai, tetapi tidak dengan Nyoto.

"Tak satu pun yang bisa mem-PKI-kan Lekra, kecuali Soeharto. Bahkan Aidit tidak bisa," kata Putu Oka Sukanta, seniman asal Bali, dikutip dari Tempo.

Selain membuang Pram ke Pulau Buru tanpa pengadilan bersama 800-an orang tahanan lainnya dengan kapal yang sudah ngos-ngosan, rezim Orba juga membakar buku-buku Pram. Membayangkannya saja sudah sangat menyakitkan!

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #5: Mereka Mengerang, Membuatku Mengarang
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #4: Arus Balik ke Stasiun Kenangan

Membenci Feodalisme

Berpuluh tahun setelah tahun-tahun nahas itu, Pram berhasil membuat aku, anak sekolah putih abu-abu, jatuh hati segera setelah membaca bukunya untuk pertama kali. Lalu, menyusul kemudian, kecintaanku pada menulis juga kian meledak-ledak. Seperti tersengat listrik 1.000 volt, aku kelewat rajin menulis dan menerbitkan tulisan di buletin lokal kota dan majalah sekolah. 

Kalimat Pram: "Manusia boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan dilupakan", begitu menggugah. Aku pun mengganti cita-cita menjadi advokat yang tiba-tiba tidak lagi cukup menarik. 

Sebagai siswa SMA sekaligus santri, aku dibuat jatuh hati pada sosok Minke. Bukan karena ia tampan seperti tokoh utama di banyak novel picisan, tapi karena ia "melawan sebaik-baiknya" seperti kata Nyai Ontosoroh. Apalagi Minke juga seorang yang lihai dalam menulis. Ia mengritik dengan tajam kolonialisme Eropa di Bumi Manusia. Dia pemberani!

Bagiku, Bumi Manusia adalah novel pertama yang mengusung tema perlawanan pada struktur yang menindas. Novel pertama yang mengajarkan kebencian pada feodalisme.

Aku menjadi sangat sensitif dengan budaya-budaya feodal yang ada di lingkungan pesantren kala itu. Keengganan banyak ustaz menerima kritik, misalnya. Atau bahkan budaya senioritas yang aku pikir tidak penting dan kian memuakkan.

Adegan Minke yang menolak berjalan ke hadapan ayahnya dengan berjongkok menggelitikku. Ahhh, itu keren' sekali! Ketika membacanya, kalau tidak salah ingat, aku sampai menggebrak meja. Begitulah aku, seorang siswa sekaligus santri yang dalam banyak pengajaran harus banyak manut, menjumputi keberanian untuk mulai melawan struktur kuasa.

Membaca novel Bumi Manusia di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Membaca novel Bumi Manusia di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Menolak Tunduk

Tokoh yang paling keren dalam Bumi Manusia, menurutku, adalah Nyai Ontosoroh. Seorang gundik perempuan yang menolak tunduk. Dia justru belajar membaca dan menulis sehingga mengerti banyak ilmu pengetahuan. Kesadaran kelas membuatnya bisa berdiri tegak menuntut hak-haknya.

Kisah Nyai Ontosoroh membuatku, yang masih belajar di bangku sekolah dan hidup di pesantren, memiliki perspektif baru. Tidak ada yang buruk dengan status gundik karena sebenarnya tidak ada perempuan yang memiliki cita-cita menjadi gundik. Kolonialisme dan kemiskinanlah yang akhirnya membawa Nyai Ontosoroh ke rumah Robert Malema.

Pram benar soal menulis sebagai kerja untuk keabadian. Ia memang sudah tiada, tapi mungkin bahkan seabad dari sekarang akan tetap ada orang-orang seperti aku yang membaca karya-karyanya lalu memperoleh keberanian yang sama seperti yang dimiliki Minke.

Dengan menulis, Pram telah menunjukkan relativitas waktu. Raganya tiada di Bumi Manusia, tapi banyak hal darinya tetap hidup.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//