• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #4: Arus Balik ke Stasiun Kenangan

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #4: Arus Balik ke Stasiun Kenangan

Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar buku. Ia adalah saksi perjalanan tentang bagaimana sesuatu yang besar bisa dimulai dari hal-hal kecil.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Buku Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak)

16 Februari 2025


BandungBergerak – Langkahku terhenti di Stasiun Kereta Api Bandung. Bukan untuk bepergian, bukan pula menjemput atau mengantar siapa pun. Aku hanya ingin menziarahi sebuah kenangan. Melewati gerbang stasiun lama, berjalan menuju pintu peron, lalu duduk di bangku besi di sudut stasiun. Segelas kopi hitam mengepul di tanganku, sementara mataku mengembara ke sudut-sudut yang menyimpan ingatan bertahun lalu.

Di dekat kantor informasi, ada sebuah toko buku kecil yang harus dilewati jika ingin masuk ke peron. Aku teringat suatu siang di tahun 2006 ketika tanpa sengaja mataku tertumbuk pada sebuah buku di rak toko itu: Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Sampulnya bergambar kapal layar tradisional, warnanya kusam, seakan menyimpan perjalanan panjang. Aku tidak tahu siapa Pramoedya saat itu. Tidak tertarik, tidak penasaran. Aku hanya ingin membeli koran. Namun, entah kenapa aku bertanya juga.

“Berapa harganya?”

"180 ribu rupiah."

Aku hanya mengangguk pelan. Mahal sekali. Tidak terbayangkan bagaimana aku bisa mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk sebuah buku.

Seminggu setelahnya, aku berkunjung ke sebuah perpustakaan milik temanku di Bandung. Dia seorang kolektor buku, penulis, dan, seperti aku, penyuka kopi. Dari dialah aku mulai mengenal sosok Pramoedya. Kami sering berdiskusi, berbagi cerita, dan semakin banyak aku membaca, semakin besar pula rasa kagumku pada Pram. Arus Balik tiba-tiba kembali terlintas di pikiranku, tapi harga 180 ribu rupiah masih terasa begitu tinggi.

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #3: Membuang Segala yang Kolonial ke Kranjang BabiAKU DAN BUKU-BUKU PRAM #2: Dari Sebuah Rak di Rumah NenekAKU DAN BUKU-BUKU PRAM #1: Memetik Makna Eksistensial dalam "Inem"

Di Stasiuan Kereta Api Bandung. (Foto: Dokumentasi Didin Tulus)
Di Stasiuan Kereta Api Bandung. (Foto: Dokumentasi Didin Tulus)

Memperoleh Arus Balik, Menyelami Dunia Perbukuan

Saat itu aku belum terjun ke dunia perbukuan. Aku hanya seorang pembaca yang mencintai buku, tapi tidak selalu punya cukup uang untuk memilikinya. Siang hari aku membantu ibunya teman membuat gorengan: gehu, kroket, martabak tahu, dari subuh hingga pagi. Setiap hari aku mendapat upah Rp 5.000. Jumlah yang langsung habis untuk ongkos bis dan angkot dari Cicaheum ke Rajawali.

Sampai suatu hari aku menemukan sebuah sepeda tua, tergeletak di gudang, tak terurus. Bannya kempis, rantainya berdebu. Aku meminta izin untuk memperbaikinya, meminjam sedikit uang dari pemiliknya. Setelah sepeda itu bisa dipakai, aku mulai mengayuhnya setiap hari dari Cicaheum ke Rajawali. Tak ada lagi ongkos yang harus dikeluarkan. Uang Rp 5.000 bisa kusimpan utuh.

Sore harinya, aku bekerja menjaga toko buku dan perpustakaan teman –biarlah kita panggil dia DM. Di sana, aku bebas membaca buku apa saja. Aku membaca lebih banyak karya Pram, lebih dalam memahami pemikirannya, lebih menghargai bagaimana sastra bisa menjadi suara bagi yang tak terdengar.

Satu bulan berlalu. Uang 180 ribu rupiah akhirnya terkumpul. Aku kembali ke toko buku kecil di stasiun. Dengan hati berdebar, aku melangkah ke rak tempat Arus Balik terakhir kali kulihat. Dan di sana, buku itu masih bertengger. Seakan menungguku. Seakan tahu bahwa suatu hari aku akan kembali untuknya.

Ketika aku menceritakan perjuangan mendapatkan buku itu kepada DM, dia hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol.

“Mantap!” katanya.

Seiring waktu, hidup membawaku semakin dalam ke dunia perbukuan. Aku mulai diajak menjaga stand pameran, bekerja dengan penerbit, bertemu banyak orang yang mencintai buku seperti aku. Semua itu berawal dari satu buku di sudut stasiun, dari satu nama yang dulu tak kukenal: Pramoedya Ananta Toer.

Kini, Pram telah pergi. Tapi karyanya tetap hidup, terus dibaca dan dikenang. Arus Balik bukan sekadar buku. Ia adalah saksi perjalanan tentang bagaimana sesuatu yang besar bisa dimulai dari hal-hal kecil. Tentang bagaimana di antara hiruk-pikuk stasiun yang tak pernah sepi, ada kenangan yang diam-diam tetap menunggu untuk dikunjungi.

Di bangku besi di sudut stasiun kereta api, kopi di tanganku sudah habis. Matahari mulai condong ke barat. Aku bangkit, menghirup udara sore Bandung yang mulai dingin. Langkah kakiku menjauhi stasiun, tapi aku tahu benar: kenangan itu akan selalu tinggal di sana. 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//