• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #5: Mereka Mengerang, Membuatku Mengarang

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #5: Mereka Mengerang, Membuatku Mengarang

Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh datang padaku. Mereka mengerang, membuatku mengarang. Semua karena Pram.

Yusab Alfa Ziqin

Jurnalis, kini bekerja untuk Bojonegoro Raya. Ig @yusabalfa

Menangkapi makna dan inspirasi dari buku-buku Pramoedya Ananta Toer. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

21 Februari 2025


BandungBergerak - Buku itu tergeletak di meja Sekretariat Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) akhir 2017. Sampulnya bertulis Bumi Manusia dan Pramoedya Ananta Toer. Sudah kumal. Dua sudut kanannya sama melinting.

Entah mengapa, aku meraih buku berwarna sampul kuning-hijau dan menampilkan gambar andong ditumpangi pria berbeksan, perempuan berkebaya, dan perempuan bergaun putih tersebut. Bahkan, aku juga membukanya.

Betul-betul. Inderaku merasa kertas buku itu buruk: kertas buram. Permukaannya kasar. Tintanya banyak yang nge-blur. Beberapa halaman nyaris terlepas. Di kemudian hari, aku baru tahu inilah rupa buku tidak ori. Buku bajakan.

Mohon maklum. Waktu itu, aku mahasiswa semester satu. Belum lama menempuh kuliah. Belum lagi membaca sampai sepuluh buku. Lebih sering berkumpul untuk mengakrabi lingkungan baru dan bermain gitar.

Di sore di sekretariat yang bohemian itu, aku akhirnya membaca Bumi Manusia sampai malam. Hampir setengah cerita kulahap. Beberapa teman yang masuk dan mampir sekretariat kuberi perhatian sekenanya. Aku dibenamkan oleh Bumi Manusia.

Jelang tengah malam, aku pulang. Bumi Manusia kuculik dari sekretariat itu, ikut balik ke kos yang kusewa 150 ribu rupiah per bulan di bilangan Karang Malang. Sekitar 500 meter di utara kompleks Fakultas Bahasa dan Seni UNY.

Sampai di kos butut berseberangan dengan Stadion Pancasila Universitas Gajah Mada itu, aku lanjut membaca Bumi Manusia. Sekian jam berlalu, adzan subuh melengking dari masjid belakang Mapolsek Bulaksumur. Bumi Manusia selesai.

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #4: Arus Balik ke Stasiun Kenangan
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #3: Membuang Segala yang Kolonial ke Kranjang Babi
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #2: Dari Rak Buku di Rumah Nenek

Mereka Menudingku

Tentu, pada 2025 ini aku tidak akan bercerita tentang isi Bumi Manusia, dalam tulisan ini. Novel karangan Pram itu sudah mashyur. Bahkan telah difilmkan dengan kelewat romantik. Aku menonton filmnya. Dan aku menyesal sebab film itu mendekonstruksi imajinasiku tentang Bumi Manusia. Aku sampai harus membaca kembali dua kali untuk memulihkan imajinasi. Dan aku bersumpah tidak akan menonton film hasil saduran novel lagi.

Baik, balik lagi. Pada 2025 ini dan dalam kesempatan yang disediakan BandungBergerak ini, aku ingin mengakui bahwa karya Pram telah mengubahku. Paling sepele, aku jadi suka buku. Paling gawat, aku gemar membaca dan membeli buku.

Kiranya, hampir semua karya Pram telah kubaca dan kubeli mulai akhir 2017 hingga awal 2020. Kecuali Di Tepi Kali Bekasi. Buku itu gaib. Gerombolanku nihil punya. Harganya mahal. Di perpustakaan, sulit ditemukan. Hingga kini.

Berkat membaca dan membeli aneka karya Pram sepanjang kurun waktu itu, aku bisa mengarang prosa. Suatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, meskipun kala itu aku mahasiswa Sastra Indonesia murni. Nonpendidikan.

Akhir 2020, aku bahkan berani menerbitkan buku. Sebuah kumpulan cerpen (cerita pendek) berjudul Mereka yang Tak Menduga. Dari semua buku karangan Pram, Bumi Manusia yang paling memengaruhiku mengarang dan lalu menerbitkan buku itu.

Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, saling berperan merangsangku untuk mengarang. Pram membuat ketiganya mengerang dalam romantisme, penindasan, dan perlawanan.

Mengerangnya ketiga tokoh itu kontan tiba padaku. Tidak dalam bentuk meminta dikasihani. Melainkan, dalam bentuk penuntutan rohani. Menudingku: “Di sekitarmu banyak yang seperti kami. Mengapa tidak kau tulis mereka itu?”

Tuntutan cum tudingan Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh itu begitu menghantui. Dalam prosesku mengarang cerpen-cerpen Mereka yang Tak Menduga, suara mereka selalu ada, mendengung di telinga. Jujur saja. Rohaniku menderita.

Tapi, ternyata penderitaan rohani itu membuatku lancar dan tuntas mengarang. Aku sampai menyimpulkan, Pram pasti juga demikian. Ia bisa menulis banyak prosa yang bahkan menggetarkan, karena rohaninya menderita. Terlalu menderita.

Membaca novel Bumi Manusia di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Membaca novel Bumi Manusia di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Tentang Penderitaan Rohani Itu

Betapa sial. Kesimpulan perihal relasi mengarang dengan penderitaan rohani masih kuamini sampai sekarang. Sejak tiga tahun lalu hingga kini, aku menjadi jurnalis. Penderitaan rohani masih ada. Tapi penyiksaan pikiran lebih terasa.

Alhasil, karangan prosaku terasa buruk. Bahkan banyak yang tidak selesai. Aku kesulitan mengarang. Hanya lancar menulis berita dan sesekali features. Istriku sampai bilang, aku mengalami sebuah kemunduran.

Beberapa hal sudah kucoba untuk mengatasi kelumpuhan itu. Aku membaca lagi Bumi Manusia untuk keempat kalinya. Namun, belum membantu. Masih gagal. Di medan kerja, kecamuk pikiran lebih menguasai ketimbang sengkarut rohani.

Jumat, 7 Februari 2025 pagi, aku dan istri melawat ke Blora. Dari Bojonegoro, sekitar 1,5 jam perjalanan dengan motor Astrea. Kami menilik acara Satu Abad Pram. Berharap mendapat penderitaan rohani dari safari ke kampungnya Pram itu.

Sayang betul. Penderitaan rohani hanya sedikit kudapatkan. Monolog Happy Salma yang menyaru Nyai Ontosoroh di Pendapa Kabupaten Blora pada malam harinya memang membuatku menangis. Istriku yang hari itu berulang tahun ke-25, juga menitikan air mata.

Namun, penolakan Pemuda Pancasila (PP) Blora terhadap pemancangan nama Pramoedya Ananta Toer untuk seruas jalan baru di Blora, terlampau menggeramkan. Penderitaan rohaniku akibat Nyai Ontosoroh yang diperankan Happy Salma, kalah dominan dengan penyiksaan pikiran akibat dungunya PP Blora. Betapa!

*Silakan kawan-kawan membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//