Study Tour dan Logika Drama Sang Gubernur
Dalam membuat keputusan Dedi Mulyadi tidak menerapkan teknis prinsip negara hukum dengan mengajak berunding atau minimal bertanya terkait urgensi study tour.

Cecep Burdansyah
Penulis fiksi dan nonfiksi, pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019
5 Maret 2025
BandungBergerak.id - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terus membuat gebrakan sejak ia belum dilantik. Karena Dedi sudah terlatih sebagai content creator, maka kebijakannya sebagai gubernur pun tak lepas dari media sosial. Tak heran, begitu ia membuat keputusan, saat itu juga publik tahu dan bahkan ramai membicarakannya. Umumnya banyak yang memuji terhadap gebrakan-gebrakannya. Bahkan ada pengagumnya yang mengatakan, “Bapa aing mah hiji ge maung”.
Dedi memang membuat terobosan. Gubernur, dari masa ke masa, selalu berpenampilan ‘ngamenak’. Lihat Aang Kunaefi, Yoge SM, Nuriana, Danny Setiawan, Ahmad Heryawan. Bahkan Ridwan Kamil yang juga sama-sama sebagai content creator dan sepertinya, entah sengaja atau tidak sengaja memelihara buzzer, serta banyak pengagumnya, masih kelihatan ‘ngamenak’. Dedi beda sendirian.
Dedi Mulyadi selain melek media sosial dan dengan sadar memanfaatkan keampuhan media sosial, terutama youtube dan tiktok, juga dengan sadar mengemas penampilannya serba merakyat meskipun dalam beberapa peristiwa ia diarak menggunakan kereta kencana atau naik kuda dan umatnya menobatkannya sebagai Raja Pajajaran, Raja Sunda, atau Ratu Pakuan.
Penampilan “ngamenak” alias “jaim” yang selama ini jadi ciri khas tiap Gubernur Jawa Barat ia buang jauh-jauh. Ia ganti dengan mengidentifikasi diri sebagai leluhur Sunda. Ia berani konfrontasi dengan warga yang melanggar aturan. Bahkan sampai harus pacental-cental di jalanan dengan rakyat jelata yang melanggar aturan, ia hadapi tanpa merasa risi sebagai pangagung. Menghadapi warga yang ngangkrang, Dedi akan lebih ngangkrang. Setiap episode keputusannya penuh dengan drama. Dan memang itulah gayanya: mendramatisasi.
Upayanya mendramatisasi setiap kebijakannya tidak sia-sia. Kalau para pengagumnya memberi tepuk tangan, itu sudah biasa. Tapi kalau pengamat politik sekelas Burhanuddin Muhtadi memberi pujian bahwa gaya komunikasi dan kebijakan Dedi Mulyadi layak dijadikan contoh, itu menandakan cara yang ditempuh Dedi memenuhi sasaran. Dan, di sinilah letak krusialnya. Jika orang terpelajar sekelas Burhanuddin Muhtadi kurang kritis dalam melihat kebijakan-kebijakan Dedi Mulyadi, bahayanya tidak hanya sekadar menimpa sosok Dedi Mulyadi, tapi rakyat Jawa Barat juga jadi korban. Dan provinsi yang penduduknya mayoritas beretnis Sunda ini menjadi tidak jelas, mau dibawa ke mana oleh pemimpinnya yang mengidap megalomania?
Baca Juga: Abnormalitas di Saparua-Ciliwung
Kita dan Kota
Prinsip Negara Hukum
Tanpa perlu menyebut semua keputusan dan cara berkomunikasi di media sosialnya yang didramatisir – karena saking banyaknya – saya ingin menyoroti kasus pelarangan study tour di sekolah-sekolah. Entah sejak kapan kegiatan ini sudah jadi tradisi hampir di semua sekolah. Yang jelas, setiap tahun atau setiap angkatan pasti tak akan melewatkan study tour. Saya curiga study tour ini mencontoh para politisi di parlemen yang suka melakukan studi banding. Alih-alih belajar hal-hal baru, studi banding para politikus juga sekadar piknik menggunakan fasilitas uang rakyat (APBD atau APBN).
Kebijakan Dedi Mulyadi melarang study tour telah memakan korban, dipecatnya Kepala SMAN 6 Depok dan SMAN 1 Cianjur. Tak ayal menuai polemik. Ada yang setuju, ada juga yang tidak setuju. Tapi yang terungkap ke permukaan lebih banyak yang setuju dengan kebijakan Dedi. Mereka langsung mengumbar pujian. Sedangkan yang tidak setuju hanya bisik-bisik di bawah permukaan, tidak berani mengungkapkan secara terbuka. Apalagi di kalangan pendidik atau guru yang selalu diliputi ketakutan. Karena terlalu berisiko.
Saya tidak mau terjebak pada kutub setuju atau tidak setuju dengan pelarangan study tour. Saya hanya ingin menyoroti teknik pengambilan keputusan oleh pejabat publik. Gubernur, sebagaimana presiden dan walikota/bupati, mempunyai kewenangan pengambilan keputusan/kebijakan yang menyangkut kepentingan publik. Bahkan dalam situasi darurat atau genting, presiden berwenang mengeluarkan perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) dan keputusan presiden, sedangkan gubernur dan wali kota/bupati mempunyai kewenangan diskresi dan keputusan gubernur dan keputusan bupati/wali kota.
Meskipun mempunyai diskresi dan berwenang mengeluarkan keputusan, karena kita negara hukum (rechstaats), baik gubernur, wali kota maupun bupati proses pembuatan keputusan tetap harus mengacu pada landasan hukumnya, yaitu UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratuan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No 13 Tahun 2022. Hal ini berbeda dengan negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat), di mana pemimpin bisa sewenang-wenang membuat keputusan tanpa harus mempertimbangkan untung ruginya publik.
Pelarangan study tour di sekolah-sekolah merupakan niat baik dari Gubernur Jabar. Berangkat dari keluhan sebagian orang tua murid yang merasa terbebani finansialnya, Dedi langsung membuat keputusan pelarangan, dengan anggapan study tour hanya piknik yang kurang manfaatnya. Sekolah yang terlanjur sudah menyiapkan segala rencana dan tinggal keberangkatan, dan tetap ngotot berangkat, kepala sekolahnya dicopot.
Tetapi seperti sebuah pepatah, niat baik kalau caranya salah, tidak akan menghasilkan kebaikan, malah menimbulkan masalah baru. Dalam membuat keputusan, Dedi tidak menerapkan teknis prinsip negara hukum, dengan mengajak berunding atau minimal bertanya pada aparat Dinas Pendidikan Jabar, kabupaten, dan kota, pihak sekolah (guru, kepala sekolah, dan komite). Mereka adalah pihak yang layak didengar dan dipertimbangkan suaranya terkait urgensi study tour. Atau kalau mau menerapkan teknik yang lebih akurat, bisa melakukan survei berapa orang tua murid yang ada di tiap sekolah yang tergolong mampu finansialnya, dan berapa yang lemah finansialnya. Lalu disurvei juga, berapa orang orang tua yang setuju dan memandang study tour ada manfaatnya dan yang tidak setuju. Juga disertakan radius paling jauh dari sekolah.
Teknik tersebut akan menghasilkan keputusan yang adil dan tidak akan menggenarilisasi semua sekolah. Bisa saja hasilnya ada sekolah yang orang tuanya setuju dan memandang manfaat study tour, ada juga yang tidak. Bagi sekolah yang orang tuanya setuju dengan study tour, lalu cari penyelesaian untuk anak yang ekonominya kurang mampu. Bisa subsidi silang atau bisa tidak mewajibkan semua siswa ikut study tour.
Asal transparan, teknik ini selain memenuhi prinsip negara hukum, juga memenuhi syarat pengambilan logika. Adanya murid yang tidak mampu, tidak kemudian membatalkan murid yang ekonominya mampu. Berbeda dengan cara yang diputuskan Dedi Mulyadi, one man show, adanya kasus murid/orang tua yang tidak mampu kemudian menggugurkan murid/orang tua yang mampu dan setuju study tour. Artinya, kasuistis menggugurkan yang umum. Ini contoh logika sesat.
Keputusan emosional Dedi ini tentu merepotkan pihak sekolah yang sudah mempersiapkan study tour secara matang, seperti SMAN 6 Depok dan SMAN 1 Cianjur. Bagi SMAN 6 Depok, keputusan pelarangan study tour ini hanya tinggal hitungan hari keberangkatan, semua ongkos sudah keluar. Komite sekolah pun sudah setuju. Membatalkan keberangkatan bisa saja, tapi bisa jadi uang akomodasi (perjalanan dan hotel) yang sudah keluar tidak kembali. Masuk akal kalau pihak sekolah tetap berangkat, dan kepala sekolah bersedia jadi martir.
Kebijakan yang dibuat secara emosional akhirnya hanya akan melahirkan masalah baru. Bisa saja pihak sekolah sekarang memilih tiarap untuk mematuhi aturan tersebut, tapi ujung-ujungnya mental dan psikologis pendidik dan siswa jadi terganggu. Guru dan murid jadi jumud, jenuh, dan bosan, serta dihantui ketakutan. Meskipun pasti ada sisi kelemahannya, study tour tidak bisa dipandang sama sekali tak bermanfaat. Biasanya, seorang murid hanya punya pengalaman satu kali di sekolahnya mengalami study tour. Tidak tiap tahun.
Bisa juga muncul persoalan hukum. Kepala sekolah yang dipecat gara-gara study tour berpotensi membawa persoalan ke gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau ini terjadi, preseden buruk komunikasi antara gubernur dan para pendidik. Bagaimana di Jawa Barat bisa tercipta iklim pendidikan yang bermutu kalau hubungan gubenur dan pendidiknya tegang? Soal-soal begini sepertinya tidak terjangkau oleh daya pikir sang gubernur.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain dari Cecep Burdansyah, atau artikel lain tentang Dedi Mulyadi