AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #11: Bioskop Dulu, Baru Buku
Satu per satu buku saya bersihkan dengan teliti. Tampaklah novel Bumi Manusia terbitan Lentera Dipantara tahun 2019 yang lalu segera saya pinjam.

Pasa Hobi Dermawan Supriyadi
Sejarawan gaptek yang sedang belajar dunia digital
7 Maret 2025
BandungBergerak - Saya ‘bertemu’ Pramoedya Ananta Toer di bioskop! Saat itu saya duduk di bangku kelas 11 SMA, dan seorang teman zaman SMP mengajak pergi menonton film di bioskop. Mulanya saya ragu-ragu menerima ajakan itu sebab film yang disebutkan tidak familiar di telinga. Judulnya: “Bumi Manusia”.
Dengan mata berbinar, teman saya menjelaskan panjang lebar tentang film Bumi Manusia itu. Mulai dari penulis novelnya, sutradaranya, hingga para pemerannya. Saya tidak familiar dengan dunia sastra dan film, tetapi nama Iqbal Ramadhan tentu tidak asing. Akhirnya, saya menyetujui ajakannya.
Ketika menonton, saya baru sadar bahwa durasi film ini hampir 3 jam. Alur yang lambat dan pelik cukup menguras pikiran. Namun, semua itu terobati dengan kecantikan dan keanggunan Mawar de Jong sebagai Annalise. Selama menonton, saya terganggu dengan kumis Minke. Saya rasa Iqbal tidak cocok bila berkumis.
Di bioskop, saya hanya menikmati film Bumi Manusia secara visual, bukan dari aspek alur cerita. Saya tidak bisa sepenuhnya menangkap pesan yang ingin disampaikan, barangkali karena kurangnya pemahaman saya tentang sejarah Indonesia.
Parahnya, saya pernah berasumsi bahwa Minke memiliki kisah cinta terlarang dengan Nyai Ontosoroh. Pasalnya, chemistry yang terbangun di antara pemerannya, Iqbal dan Sha Ine Febriyanti, begitu dekat dan mendalam. Kebodohan itu masih membuat saya tertawa setiap kali mengingatnya.
Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #10: Bersama Perempuan-perempuan yang Membebaskan Diri dari Belenggu Ragam Penindasan
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #9: Menulis Setelah Bumi Manusia
Dua Adegan
Pertemuan kembali antara saya dengan Pram baru terjadi di akhir masa kuliah. Saat itu saya sedang berdiskusi tentang nasib skripsi masing-masing di kos salah seorang teman. Tumpukan buku yang penuh debu di sudut ruangan itu membuat saya penasaran.
Satu per satu buku saya bersihkan dengan teliti. Tampaklah novel Bumi Manusia terbitan Lentera Dipantara tahun 2019 yang lalu segera saya pinjam.
Membaca novel Bumi Manusia membuat saya takjub bukan kepalang. Semua persoalan dan perlawanan yang diangkat membuat bulu kuduk ini berdiri. Setiap halaman saya nikmati, hingga tidak terasa Annales telah “dipulangkan”.
Ada dua adegan di novel Bumi Manusia yang membekas amat dalam di ingatan. Pertama, pergolakan pikiran Minke ketika dipaksa menghadap ayahandanya. Saat itu, terjadi gejolak dalam diri Minke terkait perlawanannya terhadap budaya feodalisme. Beginilah pergolakannya: “Aku terdiam. Hanya hati meraung: jadi kau sudah menghina aku, darah raja! suami ibuku! Baik, aku takkan menjawab. Teruskan, ayoh, teruskan, darah raja-raja Jawa! Kemarin kau masih mantri pengairan. Sekarang mendadak jadi bupati, raja kecil. Lecutkan cambukmu, raja, kau yang tak tahu bagaimana ilmu dan pengetahuan telah membuka babak baru di bumi manusia!”
Kedua, dendam kesumat di batin Nyai Ontosoroh ketika dijual oleh ayahnya demi jabatan dan kekayaan. Saya ikut geram dibuatnya. Beginilah gejolak batin sang nyai: “Jadi benar aku diserahkan pada raksasa putih berkulit biawak ini. Aku harus tabah, kubisikkan pada diri sendiri. Takkan ada yang menolong kau! Semua setan dan iblis sudah mengepung aku.”

Satu Pesan
“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Pesan itu berada di bagian belakang sampul novel Bumi Manusia terbitan Lentera Dipantara. Hanya satu kalimat, tetapi dalam sekali maknanya.
Pesan itu merupakan potongan dari percakapan antara Minke dan Jean Marais. Kira-kira beginilah percakapannya: “Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau padanya barang dua-tiga kali lagi, nanti kau akan dapat lebih mengetahui benar-tidaknya pendapat umum itu.”
Perlu diingat, percakapan itu muncul atas kegalauan Minke setelah bertemu Nyai Ontosoroh. Nyai yang dicitrakan buruk, penjilat, dan bodoh di tengah masyarakat kolonial tidak berlaku untuk Ontosoroh. Oleh sebab itu, Jean Marais menasihati Minke untuk datang dan memeriksa fakta sekaligus menarik kesimpulan atas kebenaran tersendiri.
Potongan pesan yang disampaikan Pram melalui secarik percakapan itu membuat saya berintrospeksi. Di era interenet dengan jagat media sosialnya, pesan itu nyatanya kian relevan. Banjir informasi menuntut kita untuk semakin bijak dan adil dalam menentukan sikap dan perbuatan.
Kemauan dan kemampuan untuk memilah informasi yang dibaca atau bahkan yang dibagikan, menjadi semakin penting. Memeriksa kesahihan sumber informasi adalah keharusan. Kebenaran umum yang berkembang di masyarakat belum tentu benar adanya.
Mengingat pesan Pram, saya lebih mawas diri dalam menanggapi isu yang beredar. Saya selalu berusaha untuk menanggapi isu dengan kepala dingin. Argumen-argumen yang saya bangun haruslah berdasarkan sumber yang kredibel dan berdasarkan fakta lapangan.
Demikianlah perkenalan saya dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang mungkin tidak semulus dan tidak seheroik orang-orang lain. Dari film di bioskop, belakangan barulah saya dipertemukan dengan novelnya. Tak mengapa, toh pada akhirnya saya mendapatkan juga ‘oleh-oleh’ nasihat yang berdampak dalam kehidupan saya.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer