Kejahatan Mengoplos Pertamax Bikin Sakit Hati Gen Z, Merugikan Hajat Hidup Rakyat
Orang-orang dengan titel atau kedudukan tinggi tega menipu rakyat sipil, mengoplos Pertamax hanya untuk mengenyangkan isi perut atau berfoya-foya bagai aristokrat.
Penulis Fauzan Rafles 7 Maret 2025
BandungBergerak.id - Di luar ‘sulap’ Research Octane Number (RON 90) menjadi RON 92, masalah Pertamina ternyata jauh lebih kompleks daripada itu. Ini adalah proses kejahatan yang bukan cuma dilakukan sebulan-dua bulan. Tetapi, selama lima tahun.
Praktik kejahatan yang mereka lakukan lengkap, mulai dari bensin oplosan, tender curang, sampai markup biaya impor. Belum lagi dugaan kasus korupsi yang masih diperiksa oleh pihak berwajib.
Mereka awalnya mengatakan kualitas minyak di Indonesia buruk. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara pengekspor minyak. Berdasarkan data Global Fire Power, saat ini Indonesia memproduksi sekitar 845.000 barel minyak per hari, yang menempatkannya di urutan ke-21 dunia dalam hal produksi minyak.
Namun, pejabat-pejabat Pertamina malah menjadi yang sengaja mengatakan minyak dalam negeri tidak layak untuk diolah. Akhirnya, produksi minyak dalam negeri harus dikurangi. Dan apa yang dilakukan bila produksi dalam negeri dikurangi? Tentu saja, impor.
Sistem mengimpor barang baku dari luar adalah gerbang utama para koruptor untuk meraup uang rakyat. Banyak jalan menuju korupsi di tengah pembelian sumber daya dari luar.
Pertama, dari pemilihan vendor yang bisa diajak kerja sama untuk melakukan permainan. Kedua, dengan cara impor, mereka juga bisa menilep biaya ongkos kirim yang mana bisa menaikan keuntungan bagi para tikus-tikus negara ini.
Langkah selanjutnya adalah permainan kualitas bahan bakar. Dalam catatan, mereka mengaku membeli minyak dengan kualitas RON 92. Padahal, yang mereka beli adalah RON 90.
Ibarat membeli nasi bungkus untuk makan siang kantor, harga yang seharusnya dibayarkan adalah seratus ribu rupiah. Namun, pegawai kantor yang curang akan membuat bon palsu dengan menuliskan total harga mencapai 150.000 rupiah. Jadi, ketika dirembes, mereka akan untung 50.000 rupiah.
Tidak perlu menjadi ahli otomotif dalam hal ini. Sudah jelas, kadar RON yang lebih tinggi bisa menjaga ketahanan bahan bakar di dalam mesin lebih stabil. Mesin kendaraan yang didesain untuk bahan bakar kualitas tinggi juga tidak akan maksimal bila diisi oleh bahan bakar RON 90.
Sebenarnya, ini adalah hal dasar yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk merawat kendaraan yang mereka miliki. Dengan kualitas bensin yang bagus, setidaknya mereka bisa memperpanjang umur kendaraan mereka. Namun, hal sesederhana itu saja harus diusik oleh mereka para pejabat korup.
Bagaimana tidak? Para petinggi Pertamina mengoplos bensin kualitas RON 90 dengan RON 92 untuk menghasilkan Pertamax. Proses seperti inilah yang membuat para pelaku untuk menekan harga jual yang jauh lebih tinggi. Hal ini juga menjawab keheranan masyarakat yang mendengar harga minyak dunia sedang turun tapi harga bensin di Indonesia tetap mahal.
Menurut pengakuan mereka sendiri, Pertamax yang beredar tetaplah bahan bakar RON 92. Bagi masyarakat, apa pun hasil akhir dari RON yang disediakan oleh Pertamina, tetap saja ini sudah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Maruknya para pejabat ini membuat masyarakat mengalami setidaknya dua kerugian. Pertama, mereka rugi karena harus membayar mahal. Kedua, risiko rusaknya mesin kendaraan jadi lebih tinggi.
Total sudah ada 9 orang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Mulai dari direktur utama Yoki Firnandi, Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, Agus Purwono, Muhammad Kerry Adrianto Riza, Dimas Werhaspati, Gading Ramadhan Joedo, Maya Kusmaya, dan Edward Corne.
Kesembilan orang itu dengan hebatnya bisa membuat kerugian masyarakat sekitar 190 triliun rupiah per tahun atau bila dijumlahkan selama lima tahun menjadi total 1 kuadriliun rupiah. Fantastis.
Bila diumpamakan, uang sebesar 1 kuadriliun rupiah bisa digunakan untuk menyediakan internet gratis seumur hidup bagi seluruh pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Tidak cuma itu, uang itu juga bisa dipakai untuk dana pensiun seluruh gen Z di Indonesia. Sehingga gen Z tidak perlu khawatir akan masa tua mereka.
Baca Juga: Setumpuk Persoalan Jawa Barat Menanti Kerja Serius Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, dari Pemerataan Pendidikan hingga Pengangguran
Study Tour dan Logika Drama Sang Gubernur
Memahami Status Kepemilikan GSG Arcamanik yang Difungsikan untuk Peribadatan Umat Katolik dan Kegiatan Warga Sekitar
Para Gen Z Berang
Penipuan seperti tentu tidak serta merta cukup diobati dengan berpindah kepada bensin swasta saja. Lebih daripada itu, keyakinan dan kekecewaan masyarakat tentu harus diobati.
Masyarakat yang tinggal di kota besar mungkin dapat dengan mudah beralih ke swasta. Namun, bagi yang tinggal di daerah, mau tidak mau mereka tetap akan menggunakan Pertamina.
Marahnya masyarakat, utamanya Gen Z sangat perlu dielaborasi oleh negara. Bagaimana tidak, orang-orang dengan titel atau kedudukan tinggi tega menipu rakyat sipil hanya untuk mengenyangkan isi perut atau berfoya-foya bagai aristokrat.
BandungBergerak mencoba menanyai pandangan dan kisah para Gen Z yang secara aktif menggunakan Pertamax untuk kendaraannya. Kekesalan pertama dilontarkan oleh Putra (21 tahun).
“Reaksi saya pas tau itu, jujur marah banget. Soalnya, motor saya tuh minimal isi Pertamax dan ketika diisi Pertalite, motor saya rusak di bagian bagian tertentu,” kata Putra.
Sejak saat itu, kepercayaan Putra terhadap pemerintah terutama BUMN menurun. Menurutnya, oknum seperti itu akan selalu ada dan sulit untuk ditumpas bila dari atasnya tidak segera diberi hukuman yang membuat jera.
Gen Z lainnya, Bila (21 tahun) mahasiswa yang juga berjualan online untuk membayar kuliah, sudah menggunakan Pertamax sejak tahun 2018. Kepolosannya membuat dirinya merasa ditipu setelah mengetahui berita ini. Sakit hatinya kian memuncak karena motornya mengalami kendala pada mesin. Ia harus rela membayarkan uang sebesar satu juta rupiah untuk memperbaiki.
“Aku sakit hati banget. Aku kan ngisi Pertamax karena aku tau bakal bikin motor aku awet. Eh, malah ditipu. Ya udah aku juga jadi gak percaya sama banyaknya produk BUMN karena takut ditipu lagi gara-gara ego mereka,” kata Bila melalui Whatsapp.
Dengan kondisi seperti ini dan kehilangan kepercayaan, Bila pun memutuskan untuk pindah kepada produsen bahan bakar swasta yakni Shell. Tujuannya sederhana, hanya untuk mengurangi rasa sakit hati dan risiko kerusakan mesin.
“Ini udah bikin masyarakat sengsara banget. Apalagi aku mahasiswa yang uangnya terbatas. Aku udah ngirit-ngirit karena Pertamax itu mahal, eh malah ditipu kayak gini, sebagai masyarakat aku rugi banget,” tambahnya.
Beralihnya langganan pembelian bensin ke swasta tidak hanya dilakukan oleh Bila. Rayesh (18 tahun), mahasiswa baru Politeknik Negeri Bandung (Polban) juga melakukan hal yang sama.
“Untuk saat ini pindah ke swasta. Tapi kalau Pertaminanya tobat dan gak ngoplos lagi, saya bakal balik lagi (mungkin),” ujarnya.
Satu lagi kekecewaan dari sudut pandang Gen Z adalah Sara mahasiswi berusia 22 tahun. Meski ia terpaksa masih harus membeli bahan bakar di Pertamina, tapi ia juga mengungkapkan pandangannya terkait isu ini.
“Korupsi seperti ini layak disebut sebagai kerugian negara. Namun, kerugian masyarakat juga tak bisa diabaikan, karena pada akhirnya dampak dari penyalahgunaan ini langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga. Dalam banyak hal, kedua istilah ini saling berkaitan,” ujarnya, kecewa.
Para Gen Z mengatakan korupsi di Indonesia sudah lazim terjadi. Bagaimana tidak, sejak lahir mereka sudah terpapar kasus korupsi.
Dewi (23 tahun) memberikan opininya kepada BandungBergerak via Whatsapp. “Gak aneh sih kasus korupsi kek begitu. Dari dulu emang ga pernah percaya sama pemerintahan. Better percaya sama perusahaan swasta. Sekarang kalau udah gini kan yang rugi masyarakat. Yang beli bensin kan kita, yang kendaraannya rusak juga kan kita. Mereka mah enak,” tuturnya, kesal.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain Korupsi Pejabat Negara