• Berita
  • IWD 2025 di Bandung, Mengundang Aksi Nyata Melawan Penindasan terhadap Perempuan

IWD 2025 di Bandung, Mengundang Aksi Nyata Melawan Penindasan terhadap Perempuan

Kaum laki-laki diajak memakai kacamata baru dalam memandang konsep kesetaraan. Laki-laki bisa menjadi feminis di tengah gempuran patriarki.

Perayaan International Womens Day (IWD) di Bandung diperingati di bawah jalan layang Pasupati, Taman Cikapayang, Sabtu, 8 Maret 2025 pukul 15.15 WIB. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam10 Maret 2025


BandungBergerak.id"Perempuan, kehidupan, pembebasan, menerangi Indonesia gelap." Tema besar Hari Perempuan Internasional (International Women's Day (IWD)) 2025 ini bukan sekadar slogan, melainkan cerminan yang dihadapi perempuan Indonesia saat ini.

Nida, koordinator lapangan dari Simpul Puan, menjelaskan penindasan masih dialami perempuan, bahkan di era yang disebut "Indonesia Gelap". Penindasan tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi juga oleh kelompok minoritas gender lainnya dan penyandang disabilitas.

Dia juga menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilainya diskriminatif dan mempengaruhi kehidupan banyak orang. Oleh karena itu, pada perayaan IWD tahun ini mengangkat tema perempuan, kehidupan, dan pembebasan sebagai jawaban atas kondisi tersebut.

"Makanya kita teh akhirnya ingin perempuan kehidupan dan pembebasan sebagai jawaban bahwa kita dapat menerangi Indonesia Gelap," kata Nida, di kolong jalan layang Pasupati, Cikapayang, Bandung, Sabtu, 8 Maret 2025.

Nida menekankan bahwa isu perempuan tidak bisa dilihat hanya dari kacamata perempuan saja. Isu ini bersifat interseksional dan saling berkaitan dengan isu-isu lainnya. "Setiap aspek di kehidupan kita itu sangat berpengaruh dan memang kita sangat mengedepankan isu kesetaraan dan keadilan," tuturnya.

Dalam perayaan IWD tahun ini, Simpul Puan juga memberikan ruang bagi laki-laki untuk berpartisipasi. Nida menjelaskan bahwa isu kesetaraan dan keadilan bukan hanya perjuangan perempuan, tetapi juga laki-laki.

Nida berharap, perayaan IWD ini dapat menjadi ruang bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya untuk saling terhubung dan membangun kekuatan bersama. Bagaimanapun, IWD tetaplah hari untuk perempuan. Oleh karena itu, ruang utama tetap diberikan kepada perempuan untuk menyuarakan keresahan dan pengalaman mereka.

Ezar Al Barra, mahasiswa Unpad yang berorasi dalam perayaan IWD 2025. Ezra mengatakan, laki-laki bisa menjadi feminis di tengah gempuran patriarki. “Sudah saatnya laki-laki berhenti menjadi beban dalam sejarah ini. Dan mulai ikut aktif membongkar sistem patriarki,” ujar Ezra dalam orasinya.

Selain Ezra, mahasiswa lainnya Naufal menegaskan, IWD bukanlah hari untuk mengucapkan selamat atau memberikan bunga yang hanya menjadi simbol kosong. "Hari ini adalah hari kita berteriak keras. Hari kita menunjukkan bahwa perempuan mati, dihina sampai sekarang, dijerumuskan dan dibungkam dalam setiap aspek kehidupan," tegasnya.

Konsep Baru bagi Lelaki dalam Memandang Kesetaraan

“Sudah saatnya laki-laki berhenti menjadi beban dalam sejarah ini. Dan mulai ikut aktif membongkar sistem patriarki. Mari kita semua terus belajar, terus berubah dan terus berjuang,” ujar Ezar Al Barra, mahasiswa Unpad yang berorasi dalam perayaan IWD.

Ezra melakukan monolog dari esai yang dipersiapkan sebelum perayaan IWD ini dimulai. Dia mengenalkan konsep bernama lelaki baru. Di mana, laki-laki bisa menjadi feminis di tengah gempuran patriarki. Kendati menurutnya feminisme laki-laki terdengar paradoks atau bertentangan.

Tetapi dia menjelaskan bahwa konsep ini diusung untuk mendorong kesetaraan gender dan anti kekerasan terhadap perempuan. Prinsipnya ialah berkomitmen terhadap kesetaraan dan keadilan, sampai anti diskriminasi. Tidak hanya itu, konsep ini juga mendobrak konstruksi maskulinitas terhadap kaum laki-laki.

Dengan adanya konsep baru ini, kesetaraan gender akan tercapai. Terlebih dalam membantu gerakan perempuan dalam menciptakan ruang aman dan inklusif. “Yang bisa laki-laki lakukan adalah mengadopsi paham feminisme. (laki-laki) Tidak bisa menjadi bagian dari paham feminisme,” terangnya saat ditemui BandungBergerak seusai orasi.

Dia melanjutkan, dengan pemahaman konsep laki-laki baru ini, sudah seharunya kaum adam segera meninggalkan konsep laki-laki lama yang dinilai partiarkis dan seksis. Mahasiswa berumur 21 tahun itu, mendorong agar laki-laki baru dapat berjuang bersama-sama dengan perempuan dan kelompok marjinal lainnya.

Konsep ini sebetulnya sudah dipraktikkan oleh Ezra semasa sekolah di bangku SMP-SMA. Dulu, katanya, ketika ada teman tongkrongannya membuat lelucon seksis tentang perempuan, Ezra bisa langsung menegur tanpa ragu. Menurutnya hal-hal kebiasaan seperti itu akan membuat budaya partiarkis mengakar.

“Aku menegur dengan kesadaran penuh bahwa aku akan menciptakan lingkungan menjadi tidak nyaman,” terangnya. Akan tetapi, impak yang diterimanya dijauhi teman tongkrongannya.

Setelah Ezra menegur temannya, pasti ada perubahan sikap ketika mengobrol dengannya. “Mereka akan merasa awkward, bakal merasa terganggu,” ungkapnya. “Laki-laki baru adalah yang melawan hal-hal tadi (partiarkis, seksis, misoginis).”

Perayaan International Womens Day (IWD) di Bandung diperingati di bawah jalan layang Pasupati, Taman Cikapayang, Sabtu, 8 Maret 2025 pukul 15.15 WIB. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)
Perayaan International Womens Day (IWD) di Bandung diperingati di bawah jalan layang Pasupati, Taman Cikapayang, Sabtu, 8 Maret 2025 pukul 15.15 WIB. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)

Suara Kaum Adam dalam Solidaritas

Di hari yang semakin larut, peserta aksi bergantian untuk berorasi. Baik perempuan atau laki-laki, mereka meneriakan keresahan atau bahkan sikap kritisnya. Naufal, mahasiswa Unpad menjadi salah satu dari banyak peserta aksi yang juga mengungkapkan uneg-unegnya di perayaan IWD ini.

Dalam orasi selama kurang lebih lima menitan, dia berteriak lantang menyuarakan keresahannya. Dia bilang Hari Perempuan Internasional bukan hari untuk mengucapkan selamat, bukan juga hari untuk memberikan bunga yang hanya jadi simbol kosong.

“Hari ini adalah hari kita berteriak keras. Hari kita menunjukkan bahwa perempuan mati dihina sampai sekarang, dijerumuskan dan dibungkam dalam setiap aspek kehidupan,” ungkapnya dengan suara bergetar.

Menjadi perempuan sangat tertekan. Dipuji saat lahir, dihina saat melawan, dan dibunuh saat berani berbicara, begitu ungkap Naufal. Menurutnya peran perempuan sudah ditentukan hanya untuk melayani kebutuhan saja.

Di hadapan puluhan peserta aksi, Naufal mengkritik pandangan patriarki yang masih kuat di masyarakat. Menurutnya, perempuan seringkali hanya dilihat sebagai pemenuh peran yang sudah ditentukan, seperti ibu yang rela berkorban atau istri yang diam tanpa mengeluh.

"Tapi begitu perempuan mulai melawan, mereka diserang, dihina, bahkan dibunuh. Apa maksudnya ini? Kita yang membangun peradaban, perempuan-perempuan yang hebat ini telah membangun peradaban," kata Naufal.

Naufal juga menyoroti masih adanya anggapan bahwa perempuan seharusnya hanya di rumah saja dan tidak perlu ribut soal haknya. Dia menegaskan, perempuan tidak akan pernah diam dan akan terus melawan ketidakadilan.

Tidak hanya itu, Naufal juga menyinggung pernyataan seorang wakil rakyat yang menyebut perempuan sebagai alat reproduksi. Dia menilai, pernyataan tersebut sangat merendahkan martabat perempuan. Maka dari itu, Naufal menegaskan kepada peserta aksi untuk turut serta melek politik.

"Kedok-kedok tersebut, orang-orang tolol tersebut bisa sampai ke meja parlemen. Kita harus mulai berpolitik. Jangan sampai orang beringas, tolol dengan argumentasi-argumentasi cacat, bisa masuk ke meja parlemen untuk menjadikan perempuan bahan reproduksi," sindirnya.

Naufal mengajak seluruh perempuan untuk terus berjuang dan melawan segala bentuk penindasan. Dia juga mengajak laki-laki untuk ikut serta dalam perjuangan ini. "Dan kalian yang patriarkis, dengarkan ini," pungkasnya.

Baca Juga: IWD 2025: Seruan Kesetaraan bagi Perempuan dan Kelompok Rentan di Bawah Jalan Layang Pasupati
Hari Perempuan Internasional di Bandung, Stop Kekerasan Terhadap Wanoja

Titik Awal Perlawanan

"Aku pengin marah," ucap Nadia, pegiat komunitas Buku Dari Saku, saat ditanya alasan mengikuti aksi Hari Perempuan Internasional. Kemarahan yang sama juga dirasakan Zia, yang hadir bersamanya.

Bagi Nadia, ini adalah IWD pertamanya di jalanan. Biasanya, dia hanya melihat unggahan di media sosial. Namun, ketika melihat negara semakin semerawut, membuatnya tak bisa lagi berdiam diri. "Banyak hal yang bikin marah, kayak gak ada alasan buat diam aja," tegasnya.

Zia pun merasakan keresahan serupa. Isu "Indonesia Gelap" yang belakangan terjadi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, mendorongnya turun ke jalan. "Makin banyak diskriminasi, makin resah," ujarnya.

Salah satu isu yang mereka bawa adalah pendidikan merata. Nadia membawa poster tentang hal ini, keresahannya berawal dari efisiensi anggaran pendidikan. "Pendidikan aja tanpa efisiensi udah gak merata, apalagi sekarang," keluhnya. Dia percaya, pendidikan adalah kunci pemberdayaan perempuan.

Di sisi lain Zia menyoroti pemotongan anggaran Komnas Perempuan sebesar 75 persen. Baginya, ini adalah ancaman nyata bagi perlindungan perempuan, terutama korban kekerasan seksual. "Komnas Perempuan bisa ada, tapi fungsinya enggak jalan," ujarnya.

Keduanya sepakat, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah hal paling mendesak untuk disahkan pemerintah. "Udah 20 tahun lebih dibahas, tapi belum disahkan," keluh Zia.

Ketika ditanya hal yang paling mendesak untuk diselesaikan, Nadia mengatakan, "Urgensi lainnya banyak banget, sampai bingung. Tapi, gimana caranya biar mereka (pemerintah) notice us," katanya.

Untuk menyuarakan tuntutan, mereka percaya bahwa perempuan harus terus belajar dan bersuara. "Belajar bisa dari mana aja, termasuk ikut aksi kayak gini," kata Nadia. "Media sosial juga bisa jadi alat untuk bersuara," timpal Zia.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharamatau tulisan-tulisan menarik lain tentang PEREMPUAN

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//