• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #12: Apa Katamu tentang Indonesia Hari Ini, Pram?

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #12: Apa Katamu tentang Indonesia Hari Ini, Pram?

Kalau hari ini Pram masih ada, apa yang akan dia lakukan? Kalau ia diberikan kesempatan berbicara pada orang muda, apa yang akan ia ceritakan?

Membaca novel Bumi Manusia di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

14 Maret 2025


BandungBergerak – Buku karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama saya baca tidak lain novel yang paling populer dengan kalimat penutup yang bijak sekaligus satir itu: Bumi Manusia. Dan salah satu kalimat yang paling menempel di kepala tentu saja kutipan obrolan Minke dengan seniman asal Prancis, Jean Marais itu: “Seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran.”

Ketika Tetralogi Pulau Buru dicetak ulang dalam perayaan seabad Pram tahun in, seperti juga penggemar yang lain saya sangat ingin membelinya. Paket buku dengan sampul warna #030bf3 itu begitu menggoda. Ada harga untuk satuan, ada juga peket bundling dengan beragam bonus yang ditawarkan toko-toko buku.

Seorang kawan kantor yang sekarang dikenal sebagai duta jomlo sudah membeli paket empat buku Pram itu. Dengan tidak sabar ia menanti kedatangan mereka.

Ndak usah (beli). Itu lho ada di perpus. Ndak usah beli, nabung!” ucap kawan kantorku yang lain lagi ketika dimintai pendapat.

Saya yang masih berada di kelompok mendang-mending ini menghitung dengan matematika sederhana. Harga satu buku 180 ribu rupiah, sedangkan harga empat buku mencapai 720 ribu rupiah belum termasuk ongkos kirim. Biaya itu bisa setara biaya transportasi bulanan saya untuk berkeliling Bandung, kota termacet di Indonesia, begitu versi TomTom Traffic Index 2024, dengan sepeda motor. Maklum, pekerjaan sebagai jurnalis foto mengharuskan saya datang ke tiap lokasi.

Akhir cerita bisa ditebak. Saya tidak membeli buku, memilih menabung, dan tetap membaca koleksi Pram di Perpustakaan Bunga di Tembok yang ada di satu gedung sama dengan ruang kerja redaksi.

Anggaplah ini cara saya menafsirkan nasihat legendaris Pram via Jean Marais itu: adil sejak dalam pikirian. Anggaplah ini cara saya, sebagai bagian dari Generasi Z, untuk tidak nimbrung sebatas FOMO (Fear of Missing Out).

Keinginan mengoleksi Tetralogi itu tentu tidak lenyap. Tapi pemenuhannya barangkali lain kali.

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #11: Bioskop Dulu, Baru Buku
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #10: Bersama Perempuan-perempuan yang Membebaskan Diri dari Belenggu Ragam Penindasan

Koleksi buku karya Pramoedya Ananta Toer di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Koleksi buku karya Pramoedya Ananta Toer di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Pram Hari ini

Pekan pertama Februari 2025 lalu saya, sebagai pembaca pemula Pramoedya, diajak untuk berbagi cerita tentang Annelies di sebuah diskusi di Toko Buku Pelagia. Ada kawan-kawan lain yang menyoroti tokoh-tokoh perempuan lain dalam karya Pram. Diskusi yang hangat dengan kudapan telur gulung sebagai penutupnya.

Membaca novel Pram setelah menamatkan rincian kronologi dalam Metode Jakarta-nya Vincent Bevins, memunculkan sekian banyak pertanyaan di kepala. Menghubungkannya dengan kondisi negeri hari ini, membuat pertanyaan itu beranak pinak.

Kalau hari ini Pram masih ada, apa yang akan dia lakukan? Kalau ia diberikan kesempatan berbicara pada orang muda, apa yang akan ia ceritakan? Tentu bukan anjuran untuk melakukan retreat di kompleks militer kan? Atau efisiensi anggaran pilih kasih!

Sulit membayangkan kita diminta untuk bisa setegar dan setenang tokoh dalam Bukan Pasar Malam. Di tengah negeri yang sedang berantakan, rasanya emosi dan umpatan di batin ini dapat membuncah setiap saat. Apalagi untuk jadi ‘adil sejak dalam pikiran’, bukan main beratnya!

Namun apa boleh buat. Kata ibunda Minke, ketika masalah datang, kita harus menghadapinya. ‘Dengan sehormat-hormatnya’, tentu saja. Tak peduli mereka yang ada di lingkaran oligarki menganggap saya ataupun masyarakat lainnya menjadi instrumen satu negara.

Ada begitu banyak perayaan untukmu, Pram. Jawablah, ceritalah! Negeri kelahiranmu ini sedang tidak baik-baik saja. Apa katamu?

Pada Senin, 17 Februari 2025, hari ketika catatan ini ditulis, beberapa poster seruan aksi muncul di beranda media sosial saya. Ada juga video singkat di salah satu akun memberikan kabar bahwa siswa-siswa SMA di Papua menggelar aksi menolak makan siang gratis. Kawan kantor mengirimkan foto yang menunjukkan mahasiswa salah satu kampus di Bandung sedang menyiapkan aksi protes. 

Protes muncul di mana-mana. Suara lantang warga dan orang muda ditumpahkan di jalanan dan di media. Saya tidak ingin menuduh wakil-wakil kita di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak bekerja. Mana mungkin mereka yang setiap bulannya membawa pulang upah 54 juta rupiah malas bekerja?

Namun, jika iya, cukupkan bercerita. Tolong kirimkan Darsam segera!

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//